Intisari-Online.com – Kedengarannya biasa, wong sekadar nguras gentong. Tapi karena gentong-gentong yang akan dikuras itu milik Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, yang biasa pun jadi tidak biasa.
Misalnya, siwur (gayung) yang akan dipakai menguras mesti diarak dulu. Prosesinya pun dilakukan di lokasi makam raja-raja Mataram. Unik dan terasa sakralnya.
Entah kenapa, hari itu, kebetulan Jumat Kliwon, tiba-tiba saja saya tertarik menonton ritual "Nguras Gentong", dalam bahasa lokal disebut Nguras Enceh di Makam Raja-Raja Mataram Imogiri, sekitar 17 km ke arah selatan dari Yogyakarta.
Tinggal di sana, saya sering mendengar tentang ritual yang diselenggarakan setahun sekali, saban Bulan Suro itu. Namun baru kali ini berniat menontonnya secara (istilah para penyiar teve) live.
Tak hanya mereka yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya yang berkunjung, tapi ada juga rombongan yang sengaja datang dari Jepara, Demak, Kudus, Dlingo, dan kota-kota lainnya di Jawa Tengah. Membludak, tak kalah dengan massa kampanye partai politik.
Baca juga: Merah Putih Pernah Disebut Gula Kelapa Pada Masa Kerajaan Mataram, Apa Sebabnya?
Hadiah negara sahabat
Empat tempayan yang akan dikuras ada di balik gerbang Supit Urang. Karena berukuran jumbo, keberadaannya sangat mencolok mata.
Tak mungkin tak terlihat oleh siapa pun yang melintasi gerbang masuk ke kompleks makam Sultan Agung itu. Di beberapa tempat, di samping kaki tangga menuju ke gapura terdapat pendopo, tempat para peziarah beristirahat.
Yang menarik, fenomena personifikasi, sebagaimana orang Jawa biasa lakukan terhadap benda-benda keramat bernilai sakral, melekat juga pada gentong-gentong – kabarnya hadiah dari empat negara sahabat terkemuka Mataram pada waktu itu.
Mari kita kenali gentong-gentong yang bakal dicuci ini satu per satu. Gentong pertama dan kedua, dijuluki "Kyai Mendung" (hadiah dari Ngerum, kini Turki) dan "Nyai Siyem" (mungkin dari Thailand atau Myanmar). Keduanya dimiliki oleh Keraton Surakarta.
Sementara gentong ketiga dan keempat, "Kyai Danumaya" dari Aceh dan "Nyai Danumurti" dari Palembang dimiliki Keraton Yogyakarta.
Baca juga: Diboikot Mataram, Kompeni di Batavia Terancam Kelaparan, Tapi Malah Selamat Berkat Sulap
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR