Advertorial

Perjanjian Giyanti, Perebutan Kekuasaan Kerajaan Mataram yang Melahirkan Kesultanan Yogyakarta

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com – Pada tanggal 13 Pebruari tahun 1970 (saat tulisan ini dibuat), genap 215 tahun usia Kesultanan Yogyakarta dilihat dari segi formalnya, yakni penandatanganan Persetujuan Giyanti oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Nicolaas Hartingh selaku utusan Kompeni Belanda.

Itu artinya di tahun 2018 ini Kesultanan Yogyakarta genap berusia 263 tahun.

Persetujuan itu menurut rumusan di dalamnya sendiri, merupakan suatu "tractaat van reconciliatie, vreede, vriend-en bondgenootschap tusschen de dooriuchtige Nederlandsch Oost-Indische Compagnie ter eenre, en, den Sulthan Haming Coboeana Senopatty Ingalaga Abdul Rachman Sahidin Panata-gama kalifattolach ter andere zijde", jadi merupakan suatu perjanjin kerukunan-kembali, perdamaian dan persekutuan antara Sri Sultan dengan pihak Kompeni.

Dan memang, persetujuan itu ditandatangani pada akhir suatu perang yang cukup sengit dan lama, suatu perang yang oleh Rakjat Jawa Tengah sendiri disebut "Perang Palihan Nagari" atau Perang Pembagian Negara, dalam hal ini negara Mataram yang dibagi dua atas kesunanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta.

(Baca juga: Wanita Ini Usir Anak dan Menantunya yang Baru Menikah, Tapi Malah Disebut Mertua Idaman. Kok, Bisa?)

Situasi sebelum perang pembagian negara

Pada akhir abad ke 17, situasi di Indonesia pada umumnya dan di pulau Jawa pada khususnya sudah sangat buruk bagi kemerdekaan kerajaan-kerajaan kita. Di pulau Jawa, kerajaan Mataram yang pernah mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, telah diinfiltrasi oleh intrik-intrik pihak Kompeni Belanda, sehingga pemilihan raja yang baru sudah mulai dicampuri oleh mereka.

Seorang raja atau susuhunan yang baru haruslah seseorang yang disaksi oleh Kompeni, jika tidak, ia akan dirongrong dengan seorang calon tandingan.

Intrik-intrik itu menyebabkan dua kali Perang Intervensi yang oleh sejarawan Belanda disebut “De eerste en de tweede Javaanse Successieooriogen”.

Perang Intervensi I timbul ketika Amangkurat III yang dikenal dengan sebutan Sunan Mas menaiki tahta kerajaan Mataram. Karena ia terkenal sebagai seseorang yang sangat anti-Belanda, maka pihak Kompeni menyokong calon susuhunan yang Iain, yakni Pangeran Puger, seorang pamanda daripada Sunan Mas.

Pangeran Puger dinaikkan diatas tahta Mataram dengan kekuatan senjata Kompeni dan mengambil gelar Paku Buwono I. Sunan Mas ditangkap dan diasingkan ke Sailan.

Perang Intervensi II pecah ketika susuhunan Paku Buwono I mangkat. Kompeni mencalonkan seorang putranya yang menaiki tahta dengan nama Amangkurat IV, sedangkan para bangsawan mencalonkan seorang putra lain.

Sekali lagi susuhuhan Mataram menaiki tahta dengan dukungan senjata Kompeni. Amangkurat IV tidak lama menduduki tahta karena mangkat dan Kompeni segera menobatkan putranya keatas tahta dengan nama Paku Buwono II.

(Baca juga: Saking Terisolasinya, Keluarga yang Tinggal di Wilayah Ini Tidak Tahu Jika Pernah Terjadi Perang Dunia II)

Untuk mengamankan penobatan itu Kompeni merasa perlu menduduki Sitihinggil dengan pasukan-pasukan bersenjata! Sejak itu kerajaan Mataram dalam kenyataannya sudah menjadi vasal Kompeni.

Paku Buwono II mempunyai kepribadian yang lemah, sehingga tidak tetap pendiriannya. Ketika Kompeni kewalahan menghadapi pemberontakan Cina, para bangsawan Mataram mendesak kepada Paku Buwono II untuk membebaskan diri dari Kompeni.

Sebagai ungkapan daripada sikap itu, garnisun Belanda di ibukota Kartasura diserbu dan diduduki. Tetapi ketika pemberontakan Cina berhasil dipadamkan, Paku Buwono II membalik lagi dan minta maaf kepada Kompeni.

Karena sikapnya itu, para bangsawan yang pro kemerdekaan dari pihak Kompeni, berusaha menyingkirkan Paku Buwono II dan mengangkat seorang susuhunan lain yang dikenal dengan sebutan Sunan Kuning, yakni seorang cucu daripada Sunan Mas.

Sekali lagi senjata-senjata Kompeni bicara dan Sunan Kuning dikalahkan serta kemudian dibuang ke Sailan.

Demikianlah situasi kerajaan Mataram pada akhir abad 17. Susuhunan tidak mempunyai kewibawaan terhadap para bangsawan. Kerabatnya yang terdekat sekalipun banyak yang menentangnya, bahkan ada yang terang-terangan memberontak.

Wilayah kerajaannya terus-menerus digerogoti oleh Kompeni sebagai pembayaran atas bantuan bersenjata mereka.

Pecahnya perang pembagian negara

P«ran utama dalam Perang Pembagian Negara dimainkan oleh Pangeran Mangkubumi, seorang saudara Paku Buwono II dari lain ibu.

Sebab langsung daripada pecahnya perang itu ialah sakit hati Pangeran Mangkubumi terhadap sikap susuhunan maupun sikap daripada Gubernur Jenderal Belanda van Imhoff.

Terhadap susuhunan Paku Buwono II, Mangkubumi sakit hati karena susuhunan tidak menepati janjinya. Seperti telah disebutkan, ada beberapa pangeran yang berontak, diantaranya yang terpenting adalah Raden Mas Said, yang kemudian akan menjadi Mangkunagoro I.

Susuhunan berjanji akan memberikan daerah Sokowati kepada barangsiapa yang dapat menyingkirkan R.M. Said dari daerah itu. Pangeran Mangkubwni ternyata berhasil melakukanya, akan tetapi ternyata ia tidak diberi daerah Sokowati.

Baginya tidak dapat diterima, bahwa seorang raja mengingkari janji.

Sakit hati terhadap Gubernur Jenderal van Imhoff timbul, karena van Imhoff di depan umum pernah memberi peringatan kepada Mangkubumi mengenai sikapnya yang dianggap tidak mendukung susuhunan.

Rupa-rupanya Pangeran Mangkubumi merasa "kehilangan muka" karena peringatan yang dilemparkan di depan umum ita. Dan karena dua sebab itu pada tanggal 19 Mei 1746.

Pangeran meninggalkah kraton untuk memulai perlawanan yang kemudian berkembang menjadi Perang Pembagian Negara.

Jalannya perang

Jalannya Perang Pembagian Negara dapat kita bagi atas tiga fase. Fase awal berlangsung antara 1746-1749, fase tengah antara 1749-1752, dan fase akhir antara tahun 1752-1755.

Baik bagi Mangkubumi, maupun bagi Kompeni, fase pertama merupakan fase konsolidasi. Kedua belah pihak pada waktu itu seolah-olah saling mengukur kekuatan serta menambah dan meningkatkan pasukan masing-masing.

Namun, dalam fase pertama itu reputasi Mangkubumi sebagai seorang panglima perang telah dapat terbina dengan teguh. Dalam tahun 1746 ia berhasil memperoleh kemenangan dalam pertempuran besar di Demak, pada tahun 1747, ia membinasakan sepasukan Kompeni di Grobogan dan pada tahun 1748 merebut dan menduduki Juwana untuk beberapa lamanya.

Dalam pelaksanaan Perang Pembagian Negara, perlu disebutkan kerja sama dan persekutuan antara Pangeran Mangkubumi dengan R.M Said. Hubungan antara keduanya mula-mula sangat baik, sedemikian rupa sehingga Said diambil sebagai menantu oleh Mangkubumi.

Tetapi sayang, karena sifat penaik darah R.M. Said, hubungan itu berakhir dalam suatu perpecahan yang menjadi sebab utama bagi kegagalan mereka berdua untuk memperoleh kemenangan total terhadap Kompeni.

Pada tanggal 1 Desember 1749, Paku Buwono II dalam menghadapi ayahnya, menyerahkan kerajaan Mataram kepada Kompeni. Latar belakang dan sebab daripada tindakan susuhunan itu tidak begitu jelas.

Ada dugaan , bahwa penyerahan itu adalah hasil daripada "permalnan" wakil Kompeni van Hohendorff yang pengaruhnya sangat besar didalam kalangan kraton. Pada hari mangkatnya Paku Buwono II, Pangeran Mangkubumi memaklumkan dirinya sebagai susuhunan dan mengadakan pendekatan kepada von Hohendorff untuk mengajak berunding.

Pendekatan itu ditolak oleh pihak Belanda dan berkobarlah Iagi pertempuran-pertempuran dengan sengitnya. Pada akhir tahun I749 situasi medan perang memang telah agak sunyi.

Mangkubumi mengadakan ofensif dan melancarkan suatu perang mobil yang mula-mula tidak mampu Kompeni menanggulanginya. Dengan demikian dimulailah fase kedua daripada Perang Pembagian Negara.

Fase kedua ini ditandai oleh kemenangan-kemenangan taktis pada pihak Mangkubumi. Pasukan-pasukan Kompeni di daerah Yogyakarta diceraiberaikan, dan pada tanggal 12 Desember 1751 terjadinya ""Pertemparan ditepi kali Bogowonto" yang terkenal itu, di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan-pasukan Kompeni serta menewaskan komandannya.

Kemudian ia bergerak kentara dan memasuki daerah pendudukan Belanda. Pekalongan berhasil direbut dan para bupati Pekatongan, Batang, Wiradasa dan Pemalang bergabung kepada Mangkubumi.

Tetapi sayang, serangan terhadap Tegal mengalami kegagalan dan Mangkubumi ke daerah Mataram.

Fase ketiga daripada Perang ditandai oleh perpecahan antara Mangkubumi dan Said. Meskipun demikian, pasukan-pasukan Kompeni tidak berhasil membinasakan tentara Mangkubumi maupun pasukan-pasukan Said.

Dalam perang segitiga itu semua pihak tidak berhasil memaksakan suatu keputusan. Maka timbullah semacam "statemate" yang menyebabkan van Hohendorff berputus-asa dan meminta berhenti sebagai Gubernur dan Direktur urusan Jawa.

Ia diganti oleh Nicolaas Hartingh yang kemudian menandatangani Persetujuan Giyanti.

Menuju suatu kompromi

Tatkala Mankubumi meninggalkan kraton Surakarta, maka resminya ia berontak terhadap susuhunan Paku Buwono II. Tetapi susuhunan Mataram dan Kompeni terikat oleh suatu pakta yang antar lain mengandung suatu pasaI mengenai saling bantu dalam keadaan ada perang.

Lagi pula, susuhunan Mataram sejak Paku Buwono I adalah pilihan Kompeni yang dianggap menjamin kepentingan Kompeni di Mataram. Apalagi setelah Paku Buwono II secara resmi menyerahkan kerajaan Mataram kepada Kompeni, maka susuhunan Mataram dan Kompeni telah menjadi satu; artinya Kompenilah yang merupakan sata-satunya pihak yang berdaulat.

Karena ita wajarlah apabila Persetujuan Giyanti ditandatangani oleh Mangkubumi dengan pihak Kompeni dan bukan dengan pihak susuhunan Mataram.

Sesudah Perang menginjak fase kedua, masing-masing pihak telah mengetahui, bahwa tidak ada yang dapat mencapai suatu kemenangan total. Karena itu dimulailah mencari jalan keluar dari sengketa itu secara yang tidak terlalu merugikan bagi masing-masing pihak.

Nicolaas Hartingh, Gubernur dan Direktur urusan Jawa dari pihak Kompeni beruntung karena ia menghadapi Mangkubumi yang telah pecah dengan Said dan telah mengalami Perang selama bertahun-tahun.

Lagipula Hartingh rupa-rupanya lebih mengenal watak orang Jawa, sehingga pendekatannya lebih halus daripada von Hohendorff. Karena itu ialah yang dapat mengakhiri Perang itu bagi Kompeni.

Selama fase ketiga, antara Mangkubumi dan Hartingh telah dilakukan diplomasi rahasia yang berisi pertukaran usul-usul perdamaian. Pada akhirnya Mangkubumi mundur dari tuntutannya semula, yakni seluruh kerajaan Mataram.

Kini ia bersedia menerima separuh daripada kerajan Mataram. Atas dasar itulah persetujuan Giyanti dirumuskan.

Pembentukan kesultanan Yogyakarta

Dengan menandatangani Persetujuan Giyanti itu Kompeni mengakui Pangeran Mangkubumi (yang kemudian mengambii nama Hamengku Buwono I) selaku sultan atas separuh daerah pedalaman kerajaan Mataram dengan gelar dan hak mengganti bagi anak-keturunannya.

Sebaliknja Mangkubumi mengakui Kompeni sebagai pedaulat atau "souverein"-nya atau "leenheer"-nya.

Dua hari sebelum penandatanganan Persetujuan Giyanti, dimulailah pembagian wilayah Mataram atas dua bagian. Dari pihak Yogyakarta bertindak sebagai anggota panitia pembagian: Raden Tumenggung Judonegoro, Pangeran Pakudiningrat, dan Kapten Donkel.

Dari pihak Surakarta tampil kemuka: Raden Adipati Pringgoloyo, Nhabehi Tirtonegoro dan Kapten Abrahams. Keesokan harinya pembagian wilayah telah selesai.

Sehari kemudian Persetujuan Giyanti ditandatangani dan dengan demikian secara resmi kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri. Sejak saat itu Sultan Hamengku Buwono I mulai memikirkan pembangunan kraton dan ibukotanya.

Tempat kraton dan ibukota itu akhirnya diputuskan di sebuah hutan yang bernama hutan Bringan. Selama pembangunan kraton dilakukan, Sri Sultan berdiam di sebuah istana sementara di Gamping.

Baru setahun kemudian kraton baru selesai. Menurut kapujanggan kraton Yogyakarta, selesainya kraton adalah pada hari Kemis Pahing, tanggal 13 Sura-Jimakir 1682 atau 7 Oktober 1756.

Peristiwa itu diperingati dengan candrasengkala: "Dwi Naga Rasa Tunggal". Tanggal itulah yang secara resmi diakui sebagai hari lahir kota Yogyakarta.

Demikianlah setjara singkat kisah pembentukan kesultanan Yogyakarta.

Ditulis oeh Nugroho Notosusanto. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1970)

(Baca juga: Bikin Ngakak! Editan Photoshop Terhadap Pasangan Ini Sungguh Kelewat Batas!)

Artikel Terkait