Salah satunya untuk menangkal cemaran pestisida jika kebun sebelah masih menjalankan pola pertanian konvensional. Di samping itu, pagar dimaksudkan untuk melindungi, “Tikus berkaki dua,” kelakar Harjanto.
Dengan maksud mencegah cemaran pula, lokasi penanaman setidaknya 1 – 2 km dari jalan raya. Lalu lalang kendaraan bermotor menyemburkan asap yang bisa mencemari tanaman. Akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi tak maksimal. Ditandai dengan beberapa gejala seperti rusaknya daun – dan bahkan sampai gugur. Padahal daun menjadi “dapur” bagi tumbuhan.
Baca Juga : Organik Belum Tentu Lebih Baik
Di luar itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan soal lahannya. Tujuannya untuk memastikan cara mendapat lahan sesuai standar organik. Standar ini pun beragam.
Misalnya untuk tanaman keras seperti kopi. Lahan baru siap mendapat sebutan organik jika ada jeda selama tiga tahun sejak penanaman lahan secara konvensional.
Jika yang diajukan lahan tidur, pemohon bisa meminta surat pernyataan dari pejabat setempat yang menyebutkan tentang sejarah lahan.
Jika ingin menanam kopi, maka pemohon bisa meminta surat keterangan ke dinas perkebunan setempat.
Prosesnya panjang
Sertifikat itu memang menjadi penting ketika produk organik diperdagangkan, terutama untuk pasar ekspor yang sangat ketat aturannya. Seperti yang dialami Gapoktan Simpatik tadi.
Seperti diwartakan Republika.co.id, Ketua Gapoktan Simpatik Tasikmalaya Uu Saiful Bahri, sistem budi daya dan produksi beras organik yang dikembangkan Gapoktan Simpatik sudah berlangsung sejak 2006 dan sekarang produknya sudah menjadi andalan ekspor Kabupaten Tasikmalaya.
Beras yang diproduksi petani Gapoktan Simpatik itu telah men
embus pasar mancanegara seperti Amerika, Belgia, Jerman, Italia, dan sejumlah negara lainnya. Dengan label organik, harga jual beras lebih tinggi dibandingkan beras pada umumnya.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR