Advertorial
Intisari-Online.com - “(Produk) organik sekarang mulus-mulus. Dulu memang yang daunnya bolong-bolong dimakan ulat disukai konsumen karena terbukti tidak menggunakan pestisida. Namun sekarang yang dicari justru yang mulus,” kata Harjanto, pemilik pertanian organik di wilayah Serpong, Tangerang Selatan, Banten, di suatu siang akhir Mei 2018.
Di lahan seluas sekitar 3.000 m2 itu, Harjanto membangun tiga “rumah kaca” untuk menanam beberapa sayuran.
Sebelum masuk ke ruang tanaman, ada pintu antara untuk mencegah serangga masuk. Toh masih saja ada tanaman yang daunnya dimangsa serangga.
Terhadap tanaman yang diserang itu, Harjanto pun mencabutnya.
“Namun ada beberapa yang dibiarkan. Dikorbankan agar hama tak meluas.”
Bergesernya tampilan fisik produk organik dari yang bekas gigitan hama ke bentuk yang mulus tak lepas dari meluasnya label organik pada kemasan produk organik.
Jeda tiga tahun
Namun, memperoleh sertifikat label organik tak semudah mencabut tanaman yang daunnya dimakan ulat dan memanen sayuran berdaun mulus. Menurut Harjanto, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan jika ingin memperoleh sertifikasi organik.
Pertama sumber air. Untuk bisa dibilang organik, sumber air mesti terbebas dari cemaran, utamanya pestisida.
Paling aman tentu menggunakan air tanah yang kita upayakan sendiri pengangkatannya. Bisa saja mengandalkan irigasi umum, tapi lebih susah menjaga “kemurniannya” sebab kita tidak tahu bagaimana kondisi di hulu aliran.
“Agak susah kalau bertanam organik di persawahan, sementara sekitar kita belum organik. Pasti kita akan tercemar dengan pestisida dari sawah tetangga,” kata Harjanto yang pada 2013 ikut menjadi salah satu narasumber pembentukan soal Undang-Undang Organik.
Itulah pentingnya syarat yang kedua. Pagar atau pembatas. Harjanto sendiri membangun tembok setinggi sekitar tiga meter di kebun organiknya.
Salah satunya untuk menangkal cemaran pestisida jika kebun sebelah masih menjalankan pola pertanian konvensional. Di samping itu, pagar dimaksudkan untuk melindungi, “Tikus berkaki dua,” kelakar Harjanto.
Dengan maksud mencegah cemaran pula, lokasi penanaman setidaknya 1 – 2 km dari jalan raya. Lalu lalang kendaraan bermotor menyemburkan asap yang bisa mencemari tanaman. Akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi tak maksimal. Ditandai dengan beberapa gejala seperti rusaknya daun – dan bahkan sampai gugur. Padahal daun menjadi “dapur” bagi tumbuhan.
Baca Juga : Organik Belum Tentu Lebih Baik
Di luar itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan soal lahannya. Tujuannya untuk memastikan cara mendapat lahan sesuai standar organik. Standar ini pun beragam.
Misalnya untuk tanaman keras seperti kopi. Lahan baru siap mendapat sebutan organik jika ada jeda selama tiga tahun sejak penanaman lahan secara konvensional.
Jika yang diajukan lahan tidur, pemohon bisa meminta surat pernyataan dari pejabat setempat yang menyebutkan tentang sejarah lahan.
Jika ingin menanam kopi, maka pemohon bisa meminta surat keterangan ke dinas perkebunan setempat.
Prosesnya panjang
Sertifikat itu memang menjadi penting ketika produk organik diperdagangkan, terutama untuk pasar ekspor yang sangat ketat aturannya. Seperti yang dialami Gapoktan Simpatik tadi.
Seperti diwartakan Republika.co.id, Ketua Gapoktan Simpatik Tasikmalaya Uu Saiful Bahri, sistem budi daya dan produksi beras organik yang dikembangkan Gapoktan Simpatik sudah berlangsung sejak 2006 dan sekarang produknya sudah menjadi andalan ekspor Kabupaten Tasikmalaya.
Beras yang diproduksi petani Gapoktan Simpatik itu telah men
embus pasar mancanegara seperti Amerika, Belgia, Jerman, Italia, dan sejumlah negara lainnya. Dengan label organik, harga jual beras lebih tinggi dibandingkan beras pada umumnya.
Uu menyebutkan, nilai jual beras organik rata-rata untuk beras warna putih seharga Rp21 ribu per kilogram dan beras warna merah pada kisaran Rp22 ribu sampai Rp25 ribu per kilogram.
"Di Amerika Serikat harga per kilogramnya meningkat menjadi sekitar Rp50 ribu per kilogramnya," katanya.
Baca Juga : Kisah Helianti Hilman yang Membuat Tanaman Liar Menjadi Bahan Makanan Organik
Ia menjelaskan, faktor beras organik yang memiliki nilai jual tinggi itu karena dalam produksinya harus melewati beberapa tahapan, termasuk harus mendapatkan sertifikasi dari lembaga khusus pangan kemudian memperoleh sertifikat organik.
"Dengan begitu, tidak bisa mengklaim bahwa beras yang diproduksi adalah beras organik karena ada proses dan tahapan sertifikasinya," kata Uu.
Masalahnya, untuk memperoleh label kemasan organik butuh proses panjang dan biaya cukup mahal. Berkisar puluhan juta.
Juga harus melalui lembaga independen yang ditunjuk pemerintah. Para petani yang mau memperoleh sertifikat harus mengisi beberapa formulir pendaftaran produk pangannya. Selanjutnya, akan ada proses pengecekan mulai dari proses budidaya hingga penyimpanan benih.
Menurut Aliansi Organis Indonesia (AOI) butuh 60—90 hari untuk melakukan pengecekan organik. Selama waktu itu akan ada pengecekan eksternal di lapangan mengenai penerapan pertanian organik yang dilakukan petani.
Siapa saja boleh memiliki sertifikat organik ini. Petani,supplier, maupun supermarket. Begitu pula dengan setiap bahan pangan. Tidak ada perbedaan sertifikat, baik untuk nabati (buah-buahan dan sayur) maupun hewani (daging, telur, dan susu).
Akan tetapi, menurutUS Department of Agriculture(USDA) sertifikat organik berbeda di tiap tingkatannya. Pertama, 100 persen organik, yaitu bahan pangan yang seluruh proses dan bahan bakunya dibudidayakan dengan organik.
Kedua, 95 persen organik atau lebih, artinya 95% proses budidayanya dilakukan secara organik. Pada tingkatan kedua ini, label kemasan yang tertulis hanya ‘organik’. Ketiga, level bahan organik, maksudnya hanya terdapat beberapa bahan yang organik.
Nah, sertifikat ini menjamin ke-organik-an sebuah produk pertanian. Tak lagi daun berlobang akibat dimangsa ulat.