Advertorial
Intisari-Online.com – Perang Dunia II ternyata tak cuma meninggalkan catatan sejarah yang memporakporandakan kehidupan dunia.
Tak sedikit pula harta karun hasil jarahan yang kini jadi rebutan para pemburu keberuntungan.
Setiap kali satuan tentara tertentu menginyasi suatu wilayah, sudah pasti banyak barang jarahan yang bisa diharapkan, tak terkecuali ketika Nazi menguasai hampir seluruh Eropa tahun 1940.
Dengan begitu banyak pusat kebudayaan tinggi di Eropa berada di genggaman mereka, pemimpin Nazi mulai melakukanoperasi perampasan sistematis, yang skalanya hanya tertandingi oleh penjarahan yang dilakukan suku bangsa barbar ketika menyerbu Romawi.
(Baca juga:Kisah Paranormal ‘Pengambil’ Harta Karun: Perang Batin Jika Harta Itu Tidak Boleh Diambil oleh Si Penunggu)
Ditenggelamkan di danau
Kepala Staf Angkatan Udara Nazi Herman Goring, misalnya, memenuhi tanahnya yang luas di Karinhall dengan barang rampasan yang berupa lukisan, patung, dan permadani dari wilayah pendudukannya.
Di awal tahun 1945, di bawah ancaman serbuan tentara Rusia ia mengangkut kumpulan barang jarahah itu dengan konvoi motor yang selanjutnya menuju Selatan, ke daerah Bavaria yang lebih amah. Di tempat ini pula, kelak tentara Amerika berhasil mengambil alih barang jarahan itu.
Demikian pula dengan nasib sebagian besar rampasan Nazi lainnya, yang berhasil direbut kembali dan dipulangkan pada pemilik sahnya.
Namun masih ada saja isu yang bertahan hingga saat ini, tentang sejumlah besar timbunan harta karun, sebagian besar emas lantakan, yang konon disembunyikan di dasar satu atau beberapa danau di Austria. Menurut cerita yang beredar, pelakunya komandan batalion SS Otto Skorzeny.
Skorzeny inilah yang memimpin operasi pembebasan diktator Italia Benito Mussolini pada September 1943. Ketika sekutu menginvasi Italia, Benito Mussolini berhasil digulingkan dan ditawan di sebuah hotel di puneak Gran Sasso d'ltalia, pegunungan tertinggi di Abruzzi Apennines.
(Baca juga:Untuk Apa Jufri Rela Menghabiskan Miliaran Rupiah Buat Melelang Barang-barang Rampasan KPK?)
Dengan pesawat terbang layang, Skorzeny dan anak buahnya mengalahkan penjagaan hotel itu, dan membawa kabur Mussolini dengan pesawat ultraringan.
Skorzeny juga mengomandani unit-unit satuan khusus Jerman yang membuntut di belakang barisan Sekutu dengan menyamar sebagai tentara AS selama penyerangan Ardennes pada musim dingin tahun 1944 - 1945.
Tidak diragukan lagi selama perang berlangsung, Skorzeny berhasil mengumpulkan kekayaan pribadi yang tak terukur nilainya. Apalagi ketika beberapa tahun kemudian muncul publikasi besar-besaran tentang mantan anak buahnya yang berani bersumpah melihat sendiri ketika kumpulan batang emas itu disembunyikan.
Sejak saat itu dilakukan berbagai usaha untuk menentukan lokasi harta karun PD II hasil rampasan Skorzeny. Sayang, perburuan itu tak memberikan hasil.
Penyebabnya barangkali sederhana saja. Menjelang perang usai Skorzeny berhasil ditangkap oleh tentara AS, untuk selanjutnya diajukan ke pengadilan sebagai penjahat perang AS di Dachau tahun 1947.
Namun entah karena apa, akhirnya Skorzeny dibebaskan dan menghabiskan beberapa tahun di Spanyol. Dari Spanyol ia pindah ke Amerika Selatan untuk kemudian menjalankan bisnis semen yang sukses.
Menurut dugaan, ketika di Spanyol itulah ia dengan berbagai akalnya berhasil mondar-mandir secara sembunyi-sembunyi ke Austria untuk mengumpulkan barang rampasannya, sebelum difemukan dan diambil orang lain.
Harta itu pulalah yang kemudian digunakannya sebagai modal untuk terjun ke dunia bisnis.
(Baca juga:22 Manusia Diselundupkan dalam Truk Pengaduk Semen, tapi Petugas Bea Cukai Berhasil Menggagalkannya)
Ditemukan tak sengaja
Selain “harta" Skorzeny, masih ada lagi kumpulan harta Nazi lainnya yang juga ditemukan pada akhir perang oleh tentara Amerika.
Di lubang bekas tambang Quedlinburg ditemukan setumpuk karya seni Abad Pertengahan, termasuk salib emas dan perak, botol-botol kristal, sebuah wadah ibadat dari perak bertatahkan batu-batu permata dan email, sisir ibadat dari gading, dan berbagai cendera mata tak ternilai harganya yang mungkln dulu dipersembahkan kepada para panglima perang yang pernah memerintah pelbagai kerajaan kecil di wilayah Jerman abad IX dan X.
Satu bendq yang dinilai paling berharga adalah Kitab Perjanjian Baru versi abad IX, dengan ilustrasi indah dan jilidan terbuat dari emas dan perak yang bertatahkan emas dan permata.
Secara tak sengaja harta karun itu ditemukan ketika seorang tentara yang mabuk terperosok ke dalam lubang tambang. Kesatuan di bawah komando Letnan Joe T.Meador ditugasi menjaga tambang itu sampai harta karun itu bisa diidentifikasl dan dicatat dengan benar.
Meador sendiri cukup ambil bagian dalam serangan Normandia pada Juni 1944. Bersama kesatuan artilerinya pula ia bertempur di Prancis, hingga akhirnya menduduki Quedlinburg. Di tempat pendudukan baru ini ia bertugas dalam salah satu dari tiga tim pelacak sisa-sisa senjata, radio komunikasi, dan peralatan tentara Nazi.
Meador yang sangat memahami karya seni memiliki gagasan lain. Bukannya, sekadar menjaga, diam-diam satu demi satu harta karun itu ia selundupkan ke AS. Pengirimannya pun hanya dengan jasa pos. Herannya, tak satu orang pun memergoki tindakannya itu.
Sampai akhirnya tentara AS tahu-tahu menemukan tak satu barang pun tersisa. AS segera melancarkan penyelidikan sampai tahun 1949 ketika Quedlinburg menjadi bagian Jerman Timur.
Pada saat yang sama Joe T. Meador, yang telah kembali ke kehidupan sipil, membuka toko alat-alat pertukangan di kota pertanian kecil Whitewright, Texas.
Ia pun terus melanjutkan kesenangannya akan seni, dan bertanam anggrek sebelum meninggal dunia tahun 1980 pada usia 64 tahun. Baru setelah kematiannya itulah terbit desas-desus di antara peddgang benda seni Abad Pertengahan di New York, Munich, dan Zurich bahwa "sesuatu yang menakjubkan" akan segera muncul di pasaran.
Namun baru bulan April 1990, sebuah organisasi swasta dari Jerman Barat mengumumkan telah dikembalikannya salah satu karya seni yang hilang selama perang – Kitab Perjanjian Baru - setelah membayar "biaya penemuan" sebesar AS $ 3 juta pada seorang pengacara yang bertindak mewakili seorang mantan tentara AS dari Texas.
Transaksi itu secara rahasia dilakukan di Swis oleh seorang pedagang benda seni Bavaria. Ia pun mengaku memiliki barang lainnya dari kumpulan harta karun PD II berupa haskah dari tahun 1513 yang ditaksir bernilai AS $ 500.000.
(Baca juga:Pantas Saja Kita Jarang Paham, Ternyata Pilot Punya Kode Rahasia Saat Berkomunikasi Selama Penerbangan!)
Usut punya usut, ternyata Kota Whitewright merupakan tempat penyimpanan semua harta karun Quedlinburg. Penyimpanannya pun tersebar beberapa ditemukan di kantor toko Meador, beberapa di rumahnya, dan ada lagi yang disimpan di kotak-kotak safe deposit.
Menurut hitungan kasar, semua itu merupakan dua pertiga dari harta karun Quedlinburg dan semua dalam kondisi memuaskan.
Jadi, setelah sekian tahun misteri harta karun PD II yang hilang mulai terbuka sebagian. Meski bukan berarti kisah lalu berhenti sampai di situ, karena banyak usaha terus dilakukan untuk melacak sepertiga bagian lainnya harta karun Quedlinburg.
Di luar itu pengacara Jerman dan Amerika masih menemukan kumpulan karya senilain, yang sama sekali tidak berhubungan dengan Quedlinburg. Malah nampaknya harta yang satu ini diangkut dari Prancis dan Jerman.
Peninggalan Harimau Malaya
Di belahan lain dunia, seorang jenderal Jepang diduga sempat mengumpulkan harta karun yang luar biasa banyaknya. Adalah Jenderal Tomozuki Yamashita, yang tentaranya menguasai Filipina dengan brutal selama 3 tahun sebelum akhirnya kepulauan itu direbut oleh Amerika.
Nama Yamashita selanjutnya tak pernah lepas dari penjarahan dan penyiksaan. Berbeda dengan umumnya perwira tinggi Jepang, sang Jenderal, yang dijuluki Harimau Malaya karena serbuan kilatnya di Semenanjung Malaya di permulaan perang berhasil ditangkap hidup-hidup oleh sekutu.
Yamashita pun dituding sebagai penjahat perang dan menjalani hukuman gantung pada Februari 1946. Nama Yamashita tak dilupakan sampai di situ saja, karena dengan kematiannya ia membawa serta rahasia harta yang sampai sekarang masih membuat para petualang dan pemburu harta penasaran.
Di manakah timbunan harta yang disebut-sebut sebagai kekayaan terbesar di dunia ini? Dalam kekisruhan perang ia justru mampu mengumpulkan kekayaan, yang konon terdiri atas batangan emas dan perak, serta batu-batu berharga dari kuil-kuil di seluruh Asia Tenggara.
Sebelum menyerahkan pada sekutu tahun 1945, Yamashita diperkirakan telah menyembunyikan kekayaannya di Pulau Lubang, Kepulauan Filipina.
Ketika perang berakhir, tak hanya puluhan mantan tentara Jepang yang berusaha mencarinya, begitu juga tim penyelidik resmi pemerintah Filipina. Malah tahun 1972, Ferdinand Marcos, mantan presiden Filipina, memerintahkan dibentuknya komando tentara khusus untuk mencari harta itu di Lubang dan pulau-pulau sekitarnya.
Namun hanya laporan kosong yang diterimanya, sama nihilnya dengan pemburu harta lainnya.
Barulah tahun 1974, muncul harapan ketika tiba-tiba dari hutan Lubang keluar seorang pria Jepang yang konon mengaku sebagai tentara terakhir Jepang. Letnan Hiru Onada pria Jepang itu, menghabiskan 29 tahun hidupnya di dalam hutan, karena yakin perang masih terus berlangsung.
Tangannya telah merenggut 39 nyawa baik dalam pertempuran kecil dengan patroli polisi Filipina, maupun saat menggarong rumah penduduk kampung pulau itu saat mencari makan.
(Baca juga:Kisah Polisi Hoegeng: Mulai dari Bikin Panas Pantat para Gembong Hingga Pernah Diburu Penculik)
Meskipun Onada tidak pernah mengakuinya, ada indikasi kuat bahwa ia orang terakhir pasukan tentara elite Jepang yang mampu bertahan. Konon pasukan ini dikirim ke Filipina oleh Yamashita dalam fase perang terakhir dengan tujuan tunggal menjaga harta itu.
Menurut catatan tahun 1944 ia dikirim mengikuti pelatihan di Nakaho Gekko, sekolah militer rahasia Jepang. Ini biasanya prosedur rutin bagi semua tentara Jepang yang akan mengemban misi khusus.
Hampir setiap tentara yang lulus dari pelatihan itu yang selamat dari medan pertempuran, melakukan bunuh diri ketika Jepang mengalami kekalahan.
Namun Onada tidak. Mungkin karena ia secara khusus diperintahkan untuk bertahan, meskipun tentara Jepang sudah kalah.
Menurut, beberapa pejabat Filipina, sang letnan menyerahkan diri bukan karena putus asa, melainkan karena takut suatu hari ia tanpa sengaja justru akan menuntun patroli pemerintah ke tempat penyimpanan harta itu.
Setelah penyerahan diri Onada, Ferdinand Marcos menerapkan pengawasan yang ketat terhadap arus wisatawan yang mengunjungi Pulau Lubang. Marcos telah tiada, namun pengawasan itu tetap berlaku.
Jika harta itu benar ada di sana, pemerintah Filipina bertekad menjadi penemunya. (UMWW II/sht)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1995)