Advertorial
Intisari-Online.com -Tepatnya tanggal 23 April 1975, pasukanVietnam Utara (North Vietnam Army/NVA) dan gerilyawan Viet Cong yang tidak bisa dibendung oleh pasukan Vietnam Selatan (Army of The Republic of Vietnam/ARVN) memasuki pusat Saigon.
Sekitar 30 ribu tentara ARVN yang masih berada di dalam kota karena tak memiliki pimpinan dan komando yang jelas hanya bisa kebingungan.
Ketika tank-tank NVA mulai menembak, kepanikan dan situasi kaos segera menyergap pusat kota tersebut.
Pangkalan udara Tan Son Nhut dan kedutaan besar AS dipenuhi oleh warga AS dan Vietnam keturunan AS yang sedang terburu-buru untuk dievakuasi.
Sejumlah helikopter yang penuh sesak oleh warga berseliweran di udara untuk kemudian terbang tergesa-gesa menuju kapal transportasi yang menunggu di pelabuhan.
(Baca juga:Viet Cong Terapkan Taktik Perang Gerilya dan Taktik Serangan Umum, Pasukan AS pun Lari Tunggang Langgang)
Situasi genting makin menjadi-jadi saat peluru meriam NVA berjatuhan di pangkalan udara Tan Son Nhut dan menewaskan dua anggota marinir AS.
Situasi di kedubes AS sendiri tak kalah genting. Ribuan orang berjubel dan berusaha keras memasuki helikopter Huey yang hanya bisa mendarat di atap bangunan.
Sama-sama berjuang untuk memasuki helikopter, mereka yang punya kartu pas dan yang tidak berkerumun seperti ribuan semut yang kebingungan.
Puluhan orang berusaha menaiki dinding atau melompati pagar dalam upaya mendekati helikopter yang sudah penuh sesak oleh puluhan orang yang panik.
Orang-orang yang beruntung naik ke heli kemudian diterbangkan menuju Laut China Selatan, tempat kapal-kapal AS, baik trasnportasi maupun perang, berlabuh dalam kondisi mesin menyala serta siap kabur menuju AS.
Ketika mendarat di kapal, sejumlah helikopter yang penuh orang itu, yang satu unitnya berharga 250 ribu dolar AS, ramai-ramai didorong ke Laut China Selatan.
Hal ini dilakukan agara terdapat ruang di geladak yang bisa didarati helikopter berikutnya.
Proses evakuasi yang berlangsung secara tergesa-gesa itu sendiri mencerminkan pemerintah AS yang tak mampu memprediksi pergerakan pasukan Vietnam Utara.
Banyak sekali orang yang seharusnya bisa diterbangkan menuju kapal trasnportasi AS, gagal diangkut dan akhirnya menjadi tawanan.
(Baca juga:Perang Teluk, saat Tentara Amerika Menjadi Kaya karena Dimanjakan oleh ‘Perang’ Sponsor)
Pemandangan seorang anak atau bayi yang diserahkan kepada orang yang berada di pesawat atau kapal tetapi terpisah dari kedua orang tuanya terjadi di mana-mana.
Peristiwa seperti itu pun berlagsung di kedubes AS, lokasi yang seharusnya paling aman untuk melaksanakan proses evakuasi.
Evakuasi di Kedubes AS baru berakhir setelah 10 pasukan marinir yang bertugas di kedubes berhasil dievakuasi.
Sementara itu, bersamaan dengan kedubes AS yang sudah kosong (30 april 1975) tank-tank T-54 NVA mulai melaju ke pusat kota dan menuju lokasi gedung Istana Presiden Vietnam Selatan.
Presiden Minh hanya bisa berdiri mematung menyaksikan sendiri gerakan tank-tank VNA dari balik jendela.
Klimaks gerakan tank-tank NVA adalah ketika berhasil mendobrak pagar pintu gerbang istana dan komandan pasukan tank kemudian memerintahkan seluruh pasukan ARVN yang masih tersisa untuk menyerah.
Jatuhnya Saigon dan menyerahnya pasukan ARVN tanpa syarat akhirnya menyudahi Perang Vietnam yang telah memakan korban jutaan nyawa itu.
Jatuhnya Saigon juga merupakan kemenangan mutlak bagi kubu komunis yang dari awal perjuangannya memang bercita-cita menjadikan negara satu Vietnam di bawah ideologi komunis.
(Baca juga:(Foto) Perkenalkan Dog, Kucing Menggemaskan 'Penjual Ikan' di Pasar Lokal Vietnam)
Selain itu, secara politik dan militer AS telah dikalahkan dalam Perang Vietnam yang telah meminta korban lebih dari 60 ribu prajurit-prajurit muda AS.
Perang Vietnam sekaligus membuktikan bahwa teknologi dan persenjataan modern masih bisa dilawan dengan taktik perang gerilya yang terorganisir ala pasukan gerilya RI dan terus memelihara semangat juang yang tinggi.