Advertorial
Intisari-Online.com – Yang dimaksud ialah kutu Nyai dan Kiai Slamet, keluarga kerbau yang dianggap sakti.
Intisari mencari apa yang mungkin menjadi latar belakang kepercayaan yang sekarang masih hidup di Surakarta itu.
Ada berita duka dari Solo. Selasa, 3 Januari 1989 yang lalu, tepat pukul 12.00 tengah hari, telah mati Nyai Slamet.
la memang tak usah disebut wafat atau meninggal. Nyai Slamet uma seekor kerbau.
Kalau saja ia bukan kerbau klangenan keraton, tentu kematiannya tak akan jadi berita, setidaknya bagi koran-koran lokal.
Menurut Suara Merdeka, harian terbitan Semarang yang ikut membuat peristiwa ini jadi berita, kematian kerbau bule itu disebabkan karena ia terserang masuk angin dan demam.
Sukirman, abdi dalem keraton penjaga kerbau, menyebutkan ia jelas mati karena masuk angin. Tubuhnya kaku dan ada kotoran yang menyumpal di pantat.
Menurut pengalamannya, bila demikian keadaan seekor kerbau pada waktu mati, berarti perutnya penuh angin, yang membuatnya susah berak, kentut atau menguap.
Beberapa jam setelah kematiannya, Nyai Slamet dikuburkan di tepi alun-alun selatan keraton, tak jauh dari kandangnya.
Penjaga pusaka
Nyai Slamet hanya salah seekor dari tujuh kerbau yang termasuk pusaka Keraton Kasunanan Surakarta. Ketujuh kerbau albino ini keturunan sepasang kerbau bernama Kiai Slamet dan Nyai Slamet, yang hidup pada zaman Kerajaan Kartasura yang diperintah Sri Sunan Paku Buwono I, awal abad 16.
(Baca juga: Kesulitan Perbaiki Jet Tempur Kiriman Isreal, Para Teknisi TNI AU Terpaksa Gunakan Kepala Kerbau)
Menurut cerita, pasangan kerbau ini hadiah dari seorang sesepuh sebuah keraton di Jawa Timur. Oleh PB I mereka lalu dijadikan emban, dayang pengasuh dan penjaga, bagi tombak pusaka Kiai Slamet, warisan Kerajaan Majapahit, andalan Keraton Kartasura.
Konon, sebelumnya PB I mendapat wangsit yang mengatakan tombak Kiai Slamet harus didampingi emban berupa sepasang kerbau bule.
Waktu sedang berpikir bagaimana memenuhi perintah wangsit ini, tiba-tiba datanglah hadiah tersebut, sepasang kerbau bule, persis seperti yang diperlukan. Merasa permohonan dalam semedinya terkabul, PB I lalu memberi nama pasangan kerbau tersebut Kiai dan Nyai Slamet.
Karena menjadi peliharaan keraton dan bertugas mengawal pusaka keraton yang keramat, maka pasangan kerbau ini juga dianggap sebagai pusaka keraton yang keramat dan sakti.
Mereka dianggap tak pernah mati. Kalau mati, mereka selalu menitis pada keturunan-keturunannya. Karenanya, walau sudah puluhan generasi berlalu sejak Kiai dan Nyai Slamet yang pertama, mereka tetap ada.
Menurut Sukirman, yang mewarisi pekerjaan sebagai penjaga kerbau keraton dari mertuanya, pada keturunan yang mana Kiai dan Nyai Slamet menitis, mimpilah yang menentukannya. Yang bermimpi bisa siapa saja, ia sendiri atau orang lain.
Kutunya pun dicari
Bagi yang tak tahu, kawanan kerbau keraton ini bisa disangka kerbau biasa saja. Kecuali kulit yang bule atau belang-belang putih-kelabu, mereka juga doyan rumput dan gemar berkubang di lumpur, persis seperti kerbau-kerbau lainnya.
Namun, menurut Mas Sukirman, kalau diperhatikan benar-benar, Kiai Slamet dan keluarganya lain dari kerbau yang lain. Kerbau-kerbau ini, terutama Kiai Slamet, penampilannya lebih berwibawa. Entah apa maksudnya.
Seperti mengerti akan status istimewa mereka, kerbau-kerbau keraton yang betina hanya mau dikawini oleh kerbau jantan dalam kelompok mereka saja. Mereka ogah bercinta dengan kerbau jantan kampung biasa.
Sebaliknya, kerbau-kerbau jantannya, yang jumlahnya dua ekor, mau saja kawin dengan betina kampung. Karena dianggap bisa membawa berkah, para pemilik kerbau betina senang saja kalau peliharaan mereka dikawini Kiai Slamet.
Meski sehari-hari diumbar begitu saja dan berkelana seenaknya di seputar Kota Solo, rombongan Kiai Slamet tak pernah diganggu atau hilang dicuri orang.
Memang pernah sekali waktu seorang abdi dalem keraton mencoba menggiring Kiai Slamet ke Pasar Pedan untuk dijual, tapi gagal karena keburu ada yang mengenalinya.
Umumnya orang Solo memang kenal dengan rombongan Kiai Slamet ini. Pedagang sayur dan buah dengan senang hati mengempani mereka sisa-sisa dagangan yang tak habis terjual. Sekalian minta berkah agar besok-besok bisa dapat untung lebih banyak.
Kadang terjadi, mungkin karena sudah lapar berat, tanpa permisi lagi Kiai Slamet langsung menyambar dagangan orang yang kebetulan dilaluinya di jalanan. Namun, ini bukannya membuat si pedagang jadi berang, tapi malah merasa senang.
Para petani pun gembira kalau kawanan kerbau bule ini berkubang di sawah mereka, meski sebagian padi yang ditanam jadi rusak karenanya.
Orang percaya tuah Kiai Slamet bisa didapat pula lewat kutunya, yang dipercaya manjur untuk menyembuhkan sakit batuk dan paru-paru. Bahkan kotorannya juga penuh khasiat.
Seperti diberi pupuk dan disemprot insektisida, sawah yang ditaburi tahi kerbau ini konon akan subur dan bebas hama.
Bisa membawa bencana
Sebagai emban tombak Kiai Slamet, tugas utama rombongan Kiai Slamet adalah mengiringi pusaka keraton ini pada upacara kirab, mengarak, pusaka.
Menurut tradisi, upacara ini harus dilakukan dua kali sebulan, setiap malam Jumat Kliwon dan Pahing, di samping upacara kirab besar tahunan setiap malam 1 Suro.
Dulu upacara kirab hanya dilakukan di seputar baluarti, tembok keraton, tapi sejak tahun 1970-an rute arak-arakan ini diperluas, melewati jalan-jalan besar di sekeliling kompleks keraton.
Dianggap sudah jadi sejoli, tombak Kiai Slamet tidak mungkin dikirabkan tanpa kawalan Kiai Slamet yang kerbau. Dengan kata lain, tanpa Kiai Slamet dan anak bininya, bagaimanapun kirab tak bisa dilaksanakan.
Beberapa kali pernah terjadi, upacara kirab terpaksa batal gara-gara Kiai Slamet ngadat, mendadak tak mau ikut arak-arakan.
Anehnya, setiap kali hal ini terjadi, ada saja musibah yang menimpa keraton. Pernah suatu kali kirab tak bisa dilaksanakan, tahu-tahu Sri Sunan PB XII mendapat kecelakaan lalu-lintas dalam perjalannya ke tempat bermain boling.
Konon, kebakaran besar yang menghanguskan Keraton Solo beberapa tahun yang lalu juga terjadi pada hari yang sama dengan gagalnya upacara kirab yang seharusnya dilaksanakan.
Raja-raja Jawa keturunan petani
Bukan hal yang aneh kalau orang menganggap kerbau milik keraton bisa membawa berkah. Dalam kebudayaan Jawa tradisional, semua hal yang punya hubungan dengan raja, entah itu orang, binatang ataupun barang, diyakini punya kesaktian dan bertuah.
Yang mungkin menarik untuk dipertanyakan mungkin adalah mengapa Keraton Solo sampai memelihara kerbau, jenis hewan yang sesungguhnya jauh dari citra kekuasaan dan keagungan sebuah keraton.
Kerbau 'kan selalu dianggap hewan berharkat rendah, perlambang kebodohan. Ia lebih lazim dipelihara kaum tani ketimbang para raja.
Budayawan Solo, KRT Hardjonagoro alias Go Tik Swan, punya hipotesis menarik tentang asal-muasal dipeliharanya kerbau di Keraton Solo. Menurutnya, kebudayaan keraton-keraton di Jawa sesungguhnya berakar pada kebudayaan petani.
Nenek moyang yang menurunkan dinasti-dinasti raja Mataram, seperti Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Selo dan sebagainya, adalah kaum petani.
Begitu keturunan para petani ini berkuasa dan menjadi raja, dengan sendirinya kebudayaan petani yang terwarisi ikut terbawa masuk ke dalam lingkungan keraton.
Hanya saja lalu diperhalus dan diperindah, disesuaikan dengan citra raja dan keraton.
Kerbau Kiai dan Nyai Slamet, misalnya, yang tadinya hanya penarik bajak biasa dari Ki Ageng Selo, kemudian diangkat statusnya menjadi semacam maskot penjaga benda-benda pusaka.
(Ditulis oleh Muljawan Karim. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1989)
(Baca juga: (Foto) Operasi Plastik Tidak Seinstan yang Dibayangkan, Wanita Ini Menderita 3 Bulan Setelah Jalani Operasi)