Advertorial

Fallschirmjager, Pasukan Payung Paling Tangguh di Dunia yang Terbentuk Secara Tak Sengaja

Ade Sulaeman

Editor

Inggris dan Amerika memutuskan meniru taktik tempur pasukan payung Nazi itu setelah secara diam-diam mempelajari operasi-operasi Fallschirmjager di tahun sebelumnya.
Inggris dan Amerika memutuskan meniru taktik tempur pasukan payung Nazi itu setelah secara diam-diam mempelajari operasi-operasi Fallschirmjager di tahun sebelumnya.

Intisari-Online.com - Pada tahun 1918 Jerman merupakan pihak yang kalah dalam Perang Dunia I dan mendapat sanksi berupa larangan keras untuk memiliki pasukan tempur serta sekaligus persenjataannya.

Larangan keras itu dituangkan melalui perjanjian yang membuat “lumpuh” Jerman secara militer, yakni Threaty of Versailles.

Dengan dikeluarkannya Threaty of Versailles pada tanggal 7 Mei 1919 itu, Jerman dilarang memiliki AU dan hanya diperbolehkan memiliki 100.000 tentara pertahanan negara (Reichswehr).

Meskipun ada larangan, secara cerdik di akhir 1920-an Jerman diam-diam bekerjasama dengan Rusia.

(Baca juga: Perang Enam Hari, Mengingat Kembali Sejarah Jatuhnya Yerusalem ke Tangan Israel)

Mereka membuat area uji coba dan latihan menerbangkan pesawat layang tanpa mesin (glider) yang terletak di dalam perbatasan Rusia di Lupesk.

Di waktu yang sama olahraga menerbangkan pesawat layang (gliding) memang lagi ngetren di Jerman.

Karena hanya sekedar kegiatan olah raga, gliding yang sebenarnya secara teknis sama dengan menerbangkan pesawat bermesin itu ternyata l dilegalkan oleh para pengawas Threaty of Versailles.

Namun kenyataannya, kegiatan gliding itu justru menjadi cikal bakal berdiriya Angkatan Udara Jerman (Luftwaffe) secara ilegal.

Dari asosiasi gliding yang kemudian terbentuk, secara diam-diam dan tidak sengaja muncul rencana berdirinya Luftwaffe masa depan.

Kegiatan gliding Inilah yang kemudian menyediakan alat untuk AU Jerman yang baru.

Januari 1933 Adolf Hitler diangkat menjadi Kanselir Jerman. Pengangkatan ini disusul penolakan Jerman atas Treaty of Versailles pada Maret 1935.

Lalu dikeluarkanlah perintah wajib militer yang berarti mengganti Reinchswehr dengan Wehrmacht (Angkatan Bersenjata).

(Baca juga: Centang Biru WhatsApp Dimatikan, Begini Cara Mudah Tahu Pesan Kita Telah Dibaca)

Tahun berikutnya (1936), Jerman mengirim pasukan untuk mengambil kembali Rheinland.

Peristiwa ini menjadi peluang bagi tokoh Nazi yang juga tangan kanan Hitler, Herman Goring, untuk mengembangkan Luftwaffe termasuk membentuk pasukan payungnya (Fallschirmjager).

Pada 11 Mei 1936, Mayor Bruno Oswald Brauer melakukan penerjunan dari sayap pesawat olahraga Klemm KL25.

Brauer menjadi Fallschirmijager pertama yang mendapatkan izin terjun dengan nama Fallschirmschutzenschein (paracuting lisence).

Selama PD II, Luftwaffe melahirkan berbagai unit Fallschirmjager.

Berawal dari kumpulan kecil batalyon Fallschirmjager di awal perang, Luftwaffe kemudian membentuk unit seukuran divisi yang merupakan tiga resimen Fallschirmijager.

Divisi ini dilengkapi senjata pendukung dan aset udara yang dikenal sebagai 7th Air Division.

Target setiap unit Fallschirmijager adalah melakukan lima hari penerjunan dan sekali di malam hari menggunakan parasut RZI.

Ketika terjun menggunakan pesawat bermesin Junker Ju-52 dari ketinggian terjun sekitar 120 m.

Sementara latihannya terdiri dari dua kali terjun tunggal dan empat kali dalam rangkaian.

Demonstrasi terjun payung untuk pertama kali dilakukan di hadapan publik pada 4 Oktober 1936.

Penerjunan dilakukan di Buckeberg. Sebanyak 36 Fallschirmjager di bawah komando Oberleutnant Kroh, terjun dari tiga pesawat Ju-52.

Berbeda dengan kebanyakan negara seperti Persemakmuran Inggris dan AS, Fallschirmijager sebagai unit infanteri merupakan bagian dari AU bukan AD.

Konsepnya pun berbeda dengan pasukan payung Heeres (AD). Konsep Luftwaffe adalah pasukan payung dengan kemampuan komando.

Beroperasi dalam skala kecil dengan target-target strategis.

Kemampuan komando Fallschirmjager sudah terbukti dalam serangan di Norwegia/Denmark, benteng Eben Emael, Canal Corinth, Gran Sasso, Monte Rotondo, pulau Dodecanese dan lainnya.

Selama PD II peralatan yang dimiliki Nazi Jerman sebenarnya minim.

Seperti kurangnya pesawat angkut pasukan payung untuk menunjang operasi skala besar dan bahan bakar yang juga minim.

Hal ini membuat Fallschirmjager tetap sebagai pasukan infanteri elit seperti pada pertempuran di Leningrad, Monte Cassino, Normandy, Ardennes, dan pada sektor-sektor operasi darat lainnya.

Sampai akhir PD II, Fallschirmjager tumbuh menjadi 11 divisi.

Walaupun terdapat perbedaan konsep antara Luftwaffe dengan Heeres, namun keduanya dipraktikan secara nyata oleh Nazi Jerman.

Karena terbukti ampuh Fallschrimjger bahkan menjadi acuan negara-negara lain termasuk Inggris dan Amerika yang baru mengembangkannya di tahun 1941.

Mereka memutuskan meniru taktik tempur pasukan payung Nazi yang hebat itu setelah secara diam-diam mempelajari operasi-operasi Fallschirmjager di tahun sebelumnya.

(Baca juga: (Foto) Kisah Memilukan dari Jasad-jasad 'Abadi' para Pendaki Everest)

Artikel Terkait