Kolonel Dokter Suwondo yang merawat Pak Dirman selama gerilya dan sebelumnya, mengatakan bahwa Pak Dirman gemeter ketika terpilih. Suatu pertanda bahwa beliau menyadari sungguh-sungguh betapa berat tugas yang akan dipikulnya.
“Pak Dirman terpilih terutama juga karena dipandang oleh rekananya sebagai tokoh yang mampu menjadi tenaga pemersatu,” demikian kata Pak Wondo sambil minum kopi pagi di Wisma Tani, Pasar Minggu, dalam bulan Juni yang baru lalu.
Antara tugas dan cinta
Ketika terpilih itu Pak Dirman berusia 35 tahun. Jadi dapatlah dikatakan sedang berada pada puncak perkembangan tenaganya. Akan tetapi rupanya tugas yang dipikulnya dengan penuh tanggung jawab banyak menghisap kekuatannya.
Dan akhirnya Pak Dirman jatuh sakit, sehingga sebuah paru-parunya terpaksa dinon-aktifkan, tetapi tidak diambil seperti kata kebanyakan orang. Bu Dirman juga mengatakan, bahwa Pak Dirman kerapkali minta kepadanya, supaja membetulkan kekhilafan orang dalam hal ini.
Belum sepenuhnya sembuh, Pak Dirman sudah harus mengembangkan kekuatan istimewa dalam keadaan serba susah, sulit dan kekurangan selama bergerilya.
“Menurut Prof. Asikin, jika Pak Dirman tahan sampai bulan Februari 1950, maka kemungkinan besar beliau akan dapat terus mengatasi penjakitnya. Akan tetapi sebelum bulan Januari habis . . . ", demikian kata Bu Dirman tanpa menjelesaikan kalimatnya.
Inilah korban keluarga Sudirman yang terbesar demi kejayaan bangsa dan negara. Betapa tidak? “Pak Dirman adalah seorang ayah dan kepala keluarga yang selalu memperhatikan keluarganya. Dan perhatian ini tidak pernah terbengkelai oleh tugas kenegaraannya. Cintanya kepada keluarga semakin lama justru semakin mendalam,” demikian persaksian Bu Dirman sendiri dengan kesahajaan.
Memang, seandainya Pak Dirman seorang yang sembarangan, yang tidak pernah menghadapi tugas-tugasnya yang pokok dengan penuh kesungguhan, maka mustahillah beliau akan dapat menaiki tangga jabatan yang begitu tinggi dan gawat: Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia.
Beliau semula guru di Sekolah Dasar Muhammadiyah Cilacap. Pendidikannya yang tertinggi MULO, juga di Cilacap. Ketika itu beliau menjadi teman sesekolah Bu Dirman.
Pada zaman Jepang menjadi pegawai pemerintahan, kemudian masuk PETA dan menjadi Daidanco. Setelah Proklamasi menjabat Panglima Divisi V di Purwokerto, yang membuka jalan bagi jabatannja yang bersejarah dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
(Ditulis oleh P. Swantoro. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1964)
(Baca juga: Situs Gunung Padang: Asal Usulnya Misterius, Keindahannya Membius)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR