Advertorial

Istri Jenderal Sudirman: 7 Bulan Kami Ditinggalkan, Baru 7 Bulan Berkumpul, Beliau Justru Pergi Selamanya

Ade Sulaeman

Editor

Keluarga Pak Dirman termasuk keluarga cukup besar. Puteranya tiga orang, dan puterinya empat: semua masih kecil ketika ayah mereka berpulang.
Keluarga Pak Dirman termasuk keluarga cukup besar. Puteranya tiga orang, dan puterinya empat: semua masih kecil ketika ayah mereka berpulang.

Intisari-Online.com – Di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terletak di Jalan Malioboro, pusat kota, didirikan patung Jenderal Sudirman.

Tidak dalam pakaian kebesaran Panglima Besar, melainkan dalam pakaian yang dikenakan Pak Dirman dalam perang gerilya.

Ciri khas pakaian ini adalah “iketwulung" (ikat kepala hitam) dan mantol tebal hijau keabu-abuan.

Dengan mengenakan mantol ini, Pembantu Letnan Herukeser, salah seorang pengawal Pak Dirman berhasil menipu Belanda di desa Karangnongko daerah Kediri.

(Baca juga: Perang Enam Hari, Mengingat Kembali Sejarah Jatuhnya Yerusalem ke Tangan Israel)

Menurut catatan Kapten Suparjo, ajudan Pak Dirman, ketika Bapak Panglima Besar dengan rombongannya sedang istirahat di sebuah rumah di desa Karangnongko, datanglah pada waktu malam seorang yang tak dikenal pura-pura mencarinya.

Karena curiga, maka jam lima pagi Pak Dirman dan Kolonel Bambang Supeno masuk ke hutan berjalan kaki.

Setelah matahari terbit Kapten Suparjo menyuruh Pembantu Letnan Heru, yang bentuk badannya sama dengan Pak Dirman, supaya mengenakan mantol yang selalu dipakai oleh Bapak Pangiima Besar.

Dan dengan disaksikan orang banyak “Pak Dirman" ditandu menuju ke arah selatan dan berhenti di sebuah rumah, kemudian dengan diam-diam Kapten Suparjo dan Letnan Heru meninggalkan rumah ini, yang sorenya ternyata diserang oleh tiga buah pesawat pemburu Belanda dengan memuntahkan peluru senapan mesin.

Dengan mengenakan pakaian gerilyanya dan memegang tongkat, Pak Dirman tidak beda tampaknya dengan bapak-bapak pensiunan, yang sedang berjalan-jalan menghirup udara sejuk di pagi hari.

Akan tetapi air mukanya bukanlah air muka seorang tua yang sudah merasa lega karena sudah tidak mempunyai beban dan tanggungan Iagi, melainkan wajah seorang bapa yang sedang tenggelam di dalam suasana prihatin, namun penuh keyakinan akan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang menjadi sumber keprihatinan itu.

Apa yang tergambar pada air muka ini kadang-kadang terwujud juga dalam peristiwa. Dalam perjalanannya menuju Yogya setelah gencatan senjata, Pak Dirman nampak berwajah rawan ketika menginjak perbatasan Solo-Yogya.

Para pemikul tandu lekas-lekas meletakkan tandunya di tanah, karena para pengiring khawatir jangan-jangan Pak Dirman terserang sakit.

(Baca juga: Misteri Kubah Batu Yerusalem: Sumur Jiwa, Pusat Dunia, dan Tempat Disimpannya Tabut Perjanjian)

Ternyata beliau menangis, bersedih hati, karena terpaksa meninggalkan anak-anaknya, yang pada waktu itu masih berada di daerah pertempuran.

Terhadap anak buahnya Pak Dirman memang seorang Bapa dan teman seperjuangan yang penuh tanggung jawab.

Meskipun belum sama sekali sembuh dan sampai saat itu sudah berbaring selama tiga bulan, namun ketika mendapat laporan bahwa suasana genting (sehari sebelum Belanda menjerang Yogya), Pak Dirman seketika mengeluarkan pengumuman resmi memegang kembali pimpinan, dan hari berikutnya mulai naik turun gunung, menyusup desa-desa dan hutan tujuh bulan lamanya sebagai pemimpin tertinggi pasukan gerilya.

Kepala keluarga dengan banyak tanggungan

Pak Dirman bukan saja Bapa Angkatan Perang, Bapa Gerilya, akan tetapi juga Bapa Keluarga. Tentu berat sekali juga rasanya ketika beliau harus meninggalkan keluargaya selama waktu yang tak tertentu dalam keadaan yang tak menentu.

“Di mana bu, ibu sekeluarga pada waktu itu?" tanya kami kepada Ibu Sudirman, yang kini tinggal di Jalan I Dewa Nyoman Oka (Batanawarsa) 30A, Yogyakarta, tidak jauh dari mesjid Syuhada.

“Oleh Sri Sultan, ibu sekeluarga diperkenankan bertempat tinggal di Mangkubumen, itu rumah yang sekarang ditempati Fakultas Kedokteran. Di tempat itu juga si bungsu lahir. Jadi Pak Dirman sendiri tidak dapat menyaksikan kelahiran puteranya yang terakhir. Ya, yang terakhir karena sembilan bulan kemudian Pak Dirman wafat. Beliau hanya dapat menimangnya selama tujuh bulan. Kini ia duduk di kelas dua Sekolah Menengah. Wajah ayahnya hanya dikenalnya betul dari foto dan patung-patung.”

Ketika itu pandangan penulis hinggap di patung dada yang sedang besarnya berwarna putih kekuning-kuningan di ruangan kamar tamu tidak jauh dari tempat duduknya: Pak Dirman sebagai gerilyawan.

Keluarga Pak Dirman termasuk keluarga cukup besar. Puteranya tiga orang, dan puterinya empat: semua masih kecil ketika ayah mereka berpulang. Yang sulung, laki, dan kini bekerja di Yayasan Sudirman di Jakarta, waktu itu baru duduk di kelas lima Sekolah Dasar.

“Anak dapat membayangkan sendiri, bagaimana perasaan ibu pada waktu itu: seorang janda dengan tujuh orang anak, semuanya masih kecil. Untunglah, bahwa anak-anak dari Angkatan Perang selalu memberi bantuan kepada ibu, karena juga baru dua tahun kemudian ibu dapat menerima pensiun. Maklum, keadaan masih serba belum teratur . . . " Bu Dirman terdiam sejurus.

Teringat ia rupanya akan suasana sedih beberapa tahun yang telah silam. Kepindahan Bu Dirman dari rumah di Jalan Widoro, yang disediakan oleh Pemermtah bagi keluarga Jenderal Sudirman sesudah clash II, antara lain memang juga untuk mengurangi kenangan pahit itu.

“Baru saja kami ditinggalkan tujuh bulan lamanya, dan baru saja dapat berkumpul kembali kurang dari tujuh bulan kemudian sudah harus berpisah lagi untuk selama-lamanya."

Pak Dirman tidak wafat di rumahnya di Jalan Widoro, Yogya, melainkan di rumah peristirahatan Magelang.

“Ketika itu hari Minggu. Pak Dirman nampak seperti biasa; malahan bersenda-gurau dengan anak-anak. Hanya disela-sela itu terlontar kata-kata: 'Aku wis rila yen dipundut Sing Kagungan . . . . ! (Aku telah rela jika Tuhan memanggilku). Sesudah beberapa lama omong-omong dan bersenda-gurau dengan bapanya, anak-anak mengajak ibu keluar sebentar jalan-jalan. Tetapi tidak lama kemudian ada susulan dari dokter Malyo supaya ibu masuk ke kamar Pak Dirman. Hari itu juga beliau wafat dengan tenang: 29 Januari 1950."

Tokoh pemersatu

Dalam tahun itu genap 14 tahun Pak Dirman membangun keluarga, dan sebenarnya dapat memperingati genap lima tahun mendapat kedudukan Panglima Besar. Pak Dirman dipilih menjadi Panglima Besar pada tanggal 12 Nopember 1945.

Biarlah Pak Nas saja kami persilahkan menceriterakan pemilihan itu disini dengan kata-katanya yang bersahaja tanpa emosi; “Kemudian tanggal 12 November 1945 dilakukan pemilihan Panglima Besar di Yogya oleh komandan-komandan TKR. Hanya karena keadaan, maka komandan-komandan yang hadlr kebanyakan adalah dari Jawa Tengah, karena Jawa Timur sedang bertempur, Jawa Barat sebagian besar tak dapat datang, apalagi komandan-komandan Sumatera.

Pemilihan ini menghasilkan pemilihan kolonel Sudirman, Panglima divisi V dari Banyumas. Hasil pemilihan ini disahkan oleh Kabinet Syahrir tanggal 18 Desember 1945.

Jenderal Sudirman terkenal, karena cara perebutan kekuasaan (dari tangan Jepang) adalah salah satu teladan kesempurnaan dan oleh beliau alat-alat ini, yang lebih daripada kecukupan satu resimen, dibagi-bagikan kepada pelbagai medan pertempuran.

Dan pasukan-pasukan Banyuman dengan pimpinan kolonel Gatot Subroto mempunyai bagian yang penting dalam perebutan Banyubiru dan Ambarawa kemudian. Dewasa itu belum dikenal oleh Pemerintah bagaimana keahlian dan pengaruh para perwira, maklum tentara baru lahir dan dilahirkan secara setempat. Pemimpin yang diperlukan adalah pertama yang terkenal dan dihormati. Dan cara memilih ini dipraktekkan di kebanyakan daerah . . . "

Demikian tulis Jenderal Nasution dalam bukunya Catatan-catatan sekitar politik militer di Indonesia.

Kolonel Dokter Suwondo yang merawat Pak Dirman selama gerilya dan sebelumnya, mengatakan bahwa Pak Dirman gemeter ketika terpilih. Suatu pertanda bahwa beliau menyadari sungguh-sungguh betapa berat tugas yang akan dipikulnya.

“Pak Dirman terpilih terutama juga karena dipandang oleh rekananya sebagai tokoh yang mampu menjadi tenaga pemersatu,” demikian kata Pak Wondo sambil minum kopi pagi di Wisma Tani, Pasar Minggu, dalam bulan Juni yang baru lalu.

Antara tugas dan cinta

Ketika terpilih itu Pak Dirman berusia 35 tahun. Jadi dapatlah dikatakan sedang berada pada puncak perkembangan tenaganya. Akan tetapi rupanya tugas yang dipikulnya dengan penuh tanggung jawab banyak menghisap kekuatannya.

Dan akhirnya Pak Dirman jatuh sakit, sehingga sebuah paru-parunya terpaksa dinon-aktifkan, tetapi tidak diambil seperti kata kebanyakan orang. Bu Dirman juga mengatakan, bahwa Pak Dirman kerapkali minta kepadanya, supaja membetulkan kekhilafan orang dalam hal ini.

Belum sepenuhnya sembuh, Pak Dirman sudah harus mengembangkan kekuatan istimewa dalam keadaan serba susah, sulit dan kekurangan selama bergerilya.

“Menurut Prof. Asikin, jika Pak Dirman tahan sampai bulan Februari 1950, maka kemungkinan besar beliau akan dapat terus mengatasi penjakitnya. Akan tetapi sebelum bulan Januari habis . . . ", demikian kata Bu Dirman tanpa menjelesaikan kalimatnya.

Inilah korban keluarga Sudirman yang terbesar demi kejayaan bangsa dan negara. Betapa tidak? “Pak Dirman adalah seorang ayah dan kepala keluarga yang selalu memperhatikan keluarganya. Dan perhatian ini tidak pernah terbengkelai oleh tugas kenegaraannya. Cintanya kepada keluarga semakin lama justru semakin mendalam,” demikian persaksian Bu Dirman sendiri dengan kesahajaan.

Memang, seandainya Pak Dirman seorang yang sembarangan, yang tidak pernah menghadapi tugas-tugasnya yang pokok dengan penuh kesungguhan, maka mustahillah beliau akan dapat menaiki tangga jabatan yang begitu tinggi dan gawat: Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia.

Beliau semula guru di Sekolah Dasar Muhammadiyah Cilacap. Pendidikannya yang tertinggi MULO, juga di Cilacap. Ketika itu beliau menjadi teman sesekolah Bu Dirman.

Pada zaman Jepang menjadi pegawai pemerintahan, kemudian masuk PETA dan menjadi Daidanco. Setelah Proklamasi menjabat Panglima Divisi V di Purwokerto, yang membuka jalan bagi jabatannja yang bersejarah dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

(Ditulis oleh P. Swantoro. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1964)

(Baca juga: Situs Gunung Padang: Asal Usulnya Misterius, Keindahannya Membius)

Artikel Terkait