Apa yang tergambar pada air muka ini kadang-kadang terwujud juga dalam peristiwa. Dalam perjalanannya menuju Yogya setelah gencatan senjata, Pak Dirman nampak berwajah rawan ketika menginjak perbatasan Solo-Yogya.
Para pemikul tandu lekas-lekas meletakkan tandunya di tanah, karena para pengiring khawatir jangan-jangan Pak Dirman terserang sakit.
(Baca juga: Misteri Kubah Batu Yerusalem: Sumur Jiwa, Pusat Dunia, dan Tempat Disimpannya Tabut Perjanjian)
Ternyata beliau menangis, bersedih hati, karena terpaksa meninggalkan anak-anaknya, yang pada waktu itu masih berada di daerah pertempuran.
Terhadap anak buahnya Pak Dirman memang seorang Bapa dan teman seperjuangan yang penuh tanggung jawab.
Meskipun belum sama sekali sembuh dan sampai saat itu sudah berbaring selama tiga bulan, namun ketika mendapat laporan bahwa suasana genting (sehari sebelum Belanda menjerang Yogya), Pak Dirman seketika mengeluarkan pengumuman resmi memegang kembali pimpinan, dan hari berikutnya mulai naik turun gunung, menyusup desa-desa dan hutan tujuh bulan lamanya sebagai pemimpin tertinggi pasukan gerilya.
Kepala keluarga dengan banyak tanggungan
Pak Dirman bukan saja Bapa Angkatan Perang, Bapa Gerilya, akan tetapi juga Bapa Keluarga. Tentu berat sekali juga rasanya ketika beliau harus meninggalkan keluargaya selama waktu yang tak tertentu dalam keadaan yang tak menentu.
“Di mana bu, ibu sekeluarga pada waktu itu?" tanya kami kepada Ibu Sudirman, yang kini tinggal di Jalan I Dewa Nyoman Oka (Batanawarsa) 30A, Yogyakarta, tidak jauh dari mesjid Syuhada.
“Oleh Sri Sultan, ibu sekeluarga diperkenankan bertempat tinggal di Mangkubumen, itu rumah yang sekarang ditempati Fakultas Kedokteran. Di tempat itu juga si bungsu lahir. Jadi Pak Dirman sendiri tidak dapat menyaksikan kelahiran puteranya yang terakhir. Ya, yang terakhir karena sembilan bulan kemudian Pak Dirman wafat. Beliau hanya dapat menimangnya selama tujuh bulan. Kini ia duduk di kelas dua Sekolah Menengah. Wajah ayahnya hanya dikenalnya betul dari foto dan patung-patung.”
Ketika itu pandangan penulis hinggap di patung dada yang sedang besarnya berwarna putih kekuning-kuningan di ruangan kamar tamu tidak jauh dari tempat duduknya: Pak Dirman sebagai gerilyawan.
Keluarga Pak Dirman termasuk keluarga cukup besar. Puteranya tiga orang, dan puterinya empat: semua masih kecil ketika ayah mereka berpulang. Yang sulung, laki, dan kini bekerja di Yayasan Sudirman di Jakarta, waktu itu baru duduk di kelas lima Sekolah Dasar.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR