Advertorial

Jonghyun SHINee Bunuh Diri: Ternyata Ada Ya, Gangguan Mental Karena Perubahan Iklim

Yoyok Prima Maulana

Editor

Jonghyun mengaku mengidap Seasonal Affective Disorder (SAD), sebuah gangguan mental yang dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Jonghyun mengaku mengidap Seasonal Affective Disorder (SAD), sebuah gangguan mental yang dipengaruhi oleh perubahan iklim.

Intisari-online.com - Kepergian anggota boy band SHINee, Kim Jonghyun, menjadi duka mendalam bagi penggemarnya di seluruh dunia.

Sebelum memilih jalan kematian dengan menghisap briket batubara pada Senin (18/12/2017) sekitar pukul 18.00 waktu Seoul, Korea Selatan, rupanya Jonghyun sudah lama merasakan depresi.

Hal itu diketahui dari surat wasiat Jonghyun yang dimuat dalam akun Instagram sahabatnya, Nine, seorang anggota band rock Dear Cloud.

Rupanya, depresi ini bukan hal yang baru bagi Jonghyun. Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Blue Night Radio 2015 silam, Jonghyun mengaku mengidap Seasonal Affective Disorder (SAD), sebuah gangguan mental yang dipengaruhi oleh perubahan iklim.

BACA JUGA:Miris! Inilah Surat Jonghyun SHINee Sebelum Bunuh Diri, Terlihat Sangat Depresi

"Perasaan atau mood-ku mudah dipengaruhi oleh musim. Aku merasa bersyukur ketika orang-orang di sekitarku berusaha untuk menyemangati daripada mengkritik diriku di waktu yang sulit," ujar Jonghyun.

"Aku semakin merasa depresi selama musim gugur dan musim dingin sejak aku kecil, ibuku akan selalu perhatian dengan cara membuatkan makanan kesukaanku daripada bertanya apa yang terjadi padaku saat itu," lanjutnya.

Terkait masalah ini, psikiater Ika Widyawati, SpKJ, yang mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia berkata bahwa depresi ini umumnya terjadi di negara yang memiliki empat musim.

"Kalau di negara seperti Indonesia hampir jarang terjadi," kata Ika yang dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (19/12/2017).

Dia mengatakan, keadaan iklim dan lingkungan yang dilihat manusia sehari-hari dapat sangat berpengaruh pada keadaan mental. Sebagai contoh, di negara empat musim yang memiliki musim salju, tidak ada hal lain yang bisa dipandang selain warna putih dari salju.

"Hal-hal ini bisa membuat depresi, atau saat musim-musim tertentu muncul depresi," katanya.

"Melihat putih, semua itu tertekan, enggak happy. Saat muncul musim semi, lihat daun, langsung senang banget. Saya pun mengalami sendiri," ujarnya tertawa. Dia mengatakan, jika depresi ini masih ringan, penanganan terbaik adalah dengan berkomunikasi dengan keluarga.

BACA JUGA:Rumah Ini Dari Luar Tampak Bobrok, Padahal Dalamnya Bikin Melongo Karena Takjub

"Kalau ringan, (depresi) bisa hilang. Tetapi kalau sudah berat, yang salah satunya ditandai dengan halusinasi yang tidak realistis, perlu penanganan profesional seperti psikiater," jelasnya.

Dilansir dari Fox News, ada beberapa gejala yang ditunjukkan saat seseorang mengalami SAD. Misalnya lesu di pagi hari, sulit tidur, suasana hati tertekan, perasaan antisosial, mudah marah, atau mudah tersinggung.

Salah satu cara terbaik untuk menangani SAD, selain berkomunikasi dengan keluarga, adalah melakukan terapi cahaya. Hal ini direkomendasikan mengingat SAD lebih banyak muncul saat musim gugur dan musim salju, kemudian hilang ketika musim semi dan musim panas tiba.

Perlu dicatat, SAD dapat berkembang menjadi depresi yang parah. Apabila sudah begini, SAD akan mempengaruhi kesehatan secara menyeluruh dan memengaruhi kondisi normal otak. Semakin lama seseorang tertekan, maka semakin sulit untuk tidak merasa tertekan.

SAD juga disebut sebagai ketidakseimbangan kimia dalam otak yang dipicu oleh hilangnya matahari.

Penelitian terbaru yang sudah dilaporkan di NIH juga berkata bahwa kekurangan vitamin D juga dapat memicu gejala depresi. Setidaknya, manusia perlu mendapat suplemen vitamin D atau terpapar sinar matahari minimal selama satu jam agar terhindar dari SAD.

BACA JUGA:'Saya Operasi Keperawanan untuk Menikah, Namun Menyesal Setelah Tahu Siapa Suami Saya'

"Orang dengan SAD juga memiliki ketidakmampuan untuk mengatur neurotransmitter yang bertanggung jawab atas mood, serotonin dan kelebihan produksi hormon melatonin, yang mengatur siklus tidur. Ini menjelaskan mengapa orang dengan SAD sering lelah," kata Dr Sanam Hafeez PsyD, psikolog klinis berlisensi berbasis di New York, dilansir dari Fox News, Selasa (19/12/2017).

SAD ini disebut memiliki dampak buruk dan mempengaruhi hubungan sosial, hubungan pribadi, dan kesehatan secara menyeluruh. Oleh sebab itu, Sanam menyarankan untuk tidak menyepelekan penyakit ini. (Gloria Setyvani Putri/Kompas.com)

BACA JUGA:Bangga! Inilah 12 Universitas Terbaik di Indonesia Tahun 2017, Adakah Kampus Anda?

Artikel Terkait