Beranjak SMA, ia hanya menjadi reseller sehingga tidak membutuhkan modal uang untuk menjalankan usahanya, seperti berjualan buku, burger, pulsa, roti, dan lain-lain.
Saat duduk di kelas 1 SMA, ia mencoba berjualan buku dan membuka gerai pulsa. Namun usahanya bangkrut dalam tiga bulan.
Tak selalu mujur memang. Kadang dia merugi karena tertipu rekan bisnisnya. Namun ini tak lantas membuatnya kapok.
Kali lain, putra sulung dari tiga bersaudara pasangan Faqih Munandar- Sri Rakhmawati ini juga menjajal bisnis katering. Peluang itu diendusnya saat sekolahnya di SMAN 21 Jakarta mengadakan buka puasa bersama dengan menawarkan nasi kotak.
Dari satu nasi kotak ia mendapat laba Rp1.000. Walhasil, dari satu sekolah ia bisa meraup untung sekitar Rp720 ribu.
Menginjak kelas 2 SMA, Hamzah ditawari salah seorang mentor seminarnya untuk mengakuisisi sebuah unit usaha lembaga bimbingan belajar (bimbel). Lembaga bimbel yang terletak di bilangan Johar Baru, Jakarta Pusat, dibanderol Rp175 juta.
Kala itu Hamzah hanya mempunyai uang Rp5 juta. Ia pinjam ke orangtuanya dan mendapat tambahan Rp70 juta dari hasil jual tanah yang semula akan dipergunakan untuk membeli mobil.
Ia bertekad melunasi Rp100 juta sisanya dengan cara mencicil dari keuntungan usaha bimbingan belajar tersebut.
“Daripada uangnya dipakai untuk membeli mobil dan masih harus mengangsur cicilannya, lebih baik saya pinjam agar diputar sebagai modal bisnis,” kenang Hamzah saat melobi orangtuanya.
Fase inilah yang menjadi titik balik perjalanan karier Hamzah dalam berwirausaha sampai sekarang.
Saat itu ia sama sekali belum berpikir untuk menjadi pengusaha. Seperti anak-anak sebayanya, Hamzah bercita-cita menjadi seorang profesional, macam pilot atau tentara. Ia juga sempat ingin menjadi seorang ekonom atau akuntan.
Cukup beralasan karena secara akademik Hamzah memang tergolong menonjol. Ia pernah mewakili Provinsi DKI Jakarta di Olimpiade Ekonomi SMA tingkat nasional di Medan.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR