Lalu di tahun yang sama adapula rumah pelacuran milik Valdero. Ia memelihara budak-budak perempuan. Setiap hari para budak disuruh melacur. Penghasilannya sehari sekitar setengah riall. Atau paling tidak 3/8 riall.
Bahkan, masih dalam bukunya, Leonard Blusse menulis bahwa pada 1642 VOC mengeluarkan peraturan soal pelacuran. Tapi peraturannya tak jelas.
Dalam aturan itu disebut setiap keluarga Kristen dilarang mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu. Lalu melarang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Tapi tak dijelaskan siapa perempuan baik-baik itu.
Semenjak aturan pelacuran muncul, rumah-rumah lacur pun menjamur. Hendrik E Niemeijer menjelaskan ini dalam bukunya berjudul Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII.
Dalam bukunya Hendrik menulis beberapa rumah lacur terkenal, seperti In den Applaboom (Pohon Apel).
Pemiliknya seorang Jerman bernama Jan van Dansijcq. Lalu De Berebijt (Gigitan Beruang) milik Hubertt Yselstein. Selain itu ada juga rumah pelacuran yang dikelola perempuan Asia. Seperti rumah lacur milik Sara van Lamay dan Sara van Bali.
Di awal abad XVII, muncul pula nama pelacur terkenal, yakni Adriana Augustijn, Anna de Rommer, Dominga Metayeel, dan Lysbeth Jansz. Dari namanya pelacur ternama ini adalah Mestizo, separuh Portugis.
Tapi Hendrik tak menjelaskan itu dalam bukunya secara gamblang. Namun, portugis memang sudah masuk ke Nusantara satu abad sebelum VOC masuk, abad XVI.
Makanya di abad XVII, tak heran apabila anak-anak keturunan portugis sudah banyak.
Begitupula budak-budak yang kemudian dibaptis memakai nama Portugis pun pasti sudah banyak jumlahnya di Abad XVII. Makanya jangan heran kemudian banyak nama wanita Portugis jadi pelacur.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR