Advertorial
Intisari-Online.com -Siapa yang tak mengenal Pablo Picasso (1881-1973)?
Bagi yang mengenal nama itu dan karyanya, tentu ingat lukisannya yang paling kesohor, Guernica, yang berwarna putih, hitam, dan abu-abu.
Pelukis Spanyol beraliran kubisme itu memperoleh inspirasi lukisan tersebut dari tragedi hancurnya kota Guernica yang dibom oleh Jerman Nazi ketika mendukung Jenderal Fransisco Franco.
Matinya kota dan penduduknya begitu menyentuh Picasso, yang tidak dapat menerima kebrutalan Franco dalam perang saudara itu.
Karena itu dengan penuh semangat, ia menyelesaikan lukisan itu di studionya di Paris. Dimulai dari sketsa pada 1 Mei 1937 dan dituangkan dalam kanvas yang harus ditempel pada dinding karena ukurannya yang besar.
Guernica yang tak pernah dia beri tanggal atau tanda tangan, awal Juni tahun it juga langsung menjadi pusat perhatian di paviliun Spanyol dalam World’s Fair di Paris.
Guernica adalah sebuah kota kecil, terletak sekitar 25 km timur Bilbao, ibukota Provinsi Vizcaya, yang masih dikuasai kaum Loyalis atau Republik.
Di pinggir kota berpenduduk 5.500-an jiwa plus beberapa ribu pegungsi itu, terdapat Jembatan Renteria yang melintasi Sungai Mundaca.
Di tepi barat kota terdapat pula pabrik senjata Astra-Unceta, berupa gedung-gedung panjang berlantai dua.
Pemimpin kaum Nasionalis Jenderal Franco sangat menginginkan merebut Bilbao dan sekitarnya yang merupakan pusat industri.
Letkol Wolfram von Richthofen sebagai Kepala Staf Legiun Condor yang dikirim Adolf Hitler dan Hermann Goering untuk membantu Franco dalam perang saudara Spanyol, merencanakan untuk menghancurkan jembatan di Guernica.
Tujuannya untuk menjebak pasukan Loyalis yang mengundurkan diri. Ia menentukan serangan udara akan dilancarkan pada 26 April 1937.
Wolfram adalah sepupu dari pilot legendaris Jerman dalam PD I, Manfred von Richthofen yang tersohor sebagai The Red Baron.
“Dort muss zugemacht werden, di situlah kita harus menuntaskannya.” Begitu cacatan hariannya mengenai rencana serangan terhadap Guernica.
Kepada seluruh anggota Luftwaffe yang akan melaksanakan serangan, Richthofen mengingatkan ‘peraturan emas’ Legiun Condor.
“Apabila karena alasan apa pun sasaran tidak berhasil diserang, maka muatan bom harus dijatuhkan di mana pun di wilayah musuh tanpa peduli penduduk sipil.Serangan terhadap jembatan akan diawali dengan pengeboman solo oleh pemimpin skadron “Bubb” von Moreau, yang terkenal karena ketepatannya dalam mengebom--sekaligus untuk memancing pertahanan udara kubu Loyalis.“Apa pun yang tampak bergerak di jembatan dan jalanan sekitarnya, harus dianggap sebagai musuh dan harus diserang!”
Serangan udara menjelang sore hari, akan dilakukan dengan 23 pesawat Junker Ju-52, 10 Heinkel He-111, empat He-111 yang baru tiba dari Jerman, serta enam pesawat pemburu Messerschmitt Bf-109 yang masih baru sebagai pelindung.
Pesawat penyerang membawa 100 ribu pon bom, sepertiganya adalah bom bakar EC.B.1 yang belum pernah dipakai terhadap sasaran urban.
Hari itu adalah hari pasar di Guernica. Selain penduduk lokal, banyak orang dari desa sekitar yang datang untuk berjual-beli.
Kelompok pesawat penyerang datang melewati sebuah biara Karmelit, yang telah diubah untuk merawat ratusan orang korban perang saudara.
Belum sempat pihak biara menelepon ke Guernica mengenai datangnya pesawat, lonceng gereja di kota ini telah berdentangan sebagai peringatan adanya serangan udara.
Penduduk yang tengah berada di pasar pun buyar mencari perlindungan.
Pesawat Jerman ternyata tidak menemui perlawanan dari bawah. Artinya kota Guernica tidak dipertahankan, sehingga mereka pun leluasa terbang lebih rendah untuk menyerang.
Jembatan Renteria merupakan sasaran pertama yang dibom. Namun sesudah itu, seperti kehilangan kendali gelombng demi gelombang pesawat Luftwaffe mengebom dan menembaki setiap sasaran bergerak maupun bangunan di kota kecil ini.
Ironisnya, jembatan yang jadi sasaran utama malah luput dari bom, sementara ledakan dan kebakaran hebat akibat bom bakar melalap kota.
Tubuh-tubuh beterbangan tinggi terkena ledakan. Mayat terpotong-potong dan terbakar hangus, bertebaran di mana-mana, sementara bangunan pada runtuh menimpa mereka yang coba berlindung di dalamnya.
Dalam situasi kebinasaan itu, pesawat Legiun Condor terus menyambar dan menembaki apa saja.
Pesawat penyerang yang berikut tidak dapat melihat kota itu lagi karena tebalnya asap yang menyelimuti, sehingga mereka pun asal-asalan membuangi muatan bomnya, menambah panasnya nerakaGuernica.
Sewaktu para penyerang meninggalkan Guernica, maka yang mereka tinggalkan hanyalah kehancuran dan kematian.
Dari jarak belasan kilometer, refleksi semburatnya api terlihat jelas.
Wartawan Inggris Noel Monks dari Daily Express yang pertama tiba di Guernica dari Bilbao, dipaksa oleh tentara Loyalis untuk membantu mengumpulkan mayat, yang kebanyakan sudah gosong.
Tetapi banyak pula mayat yang bolong oleh peluru senapan mesin dari pesawat Jerman yang menembaki apa pun yang terlihat.
Ketika asap mulai buyar, ternyata jembatan, pabrik senjata, dan pohon jati eropa atau oak besar yang telah berumur ratusan tahun, ternyata masih tegak berdiri.
Pohon yang jadi kebanggaan kota ini pernah rusak pada perang Napoleon, namun hidup dan berkembang lagi.
Hanya saja pada musim semi 1937 itu, daunnya terlambat bersemi sehingga penduduk menganggapnya sebagai bad omen, pertanda buruk.
Jumlah korban penduduk Guernica tak pernah dapat dipastikan, namun sedikitnya antara 1.000 hingga 1.600 yang mati, ditambah sekitar 1.000 lainnya terluka.
Dari sekitar 300 bangunan atau gedung di kota ini, 271 buah tercatat hancur.
Kabar pembinasaan Guernica dan seluruh isinya, dengan cepat menyebar ke seantero negeri, bahkan dunia.
Banyak berita menyebutkan, serangan terhadap Guernica ini tak ada bandingannya dalam sejarah militer.
Guernica bukanlah sasaran militer, karena pabrik yang membuat material perang terletak di luar kota.
Ketika itu memang PD II belum terjadi, dan pengeboman dahsyat terhadap kota-kota seperti Coventry, Dresden, dan Hiroshima yang skalanya jauh lebih besar, belum dapat dijadikan pembanding.
Apa pun yang jadi motif penghancuran Guernica, hingga kini masih tetap menjadi bahan perdebatan.
Namun apa pun yang jadi motif, Picasso telah mengabadikan kebinasaan kota kecil ini dengan Guernica-nya, salah satu lukisan paling terkenal dalam sejarah.
Guernica kini memperoleh tempat terhormat di Museum Nasional di Madrid.