Tak berhasil dengan sergapan ini, tentara Belanda mencoba sekali lagi, dengan menerjunkan pasukan payung di sekitar Wonogiri.
Tetapi sekali lagi, Pak Dirman lolos, karena sudah berada di Dukuh Sobo, ±80 km timur Wonosari.
Tanggal 31 Maret 1949, romongan Panglima tiba di rumah Kebayan Karsosemito di Dukuh Sobo.
"Dukuh ini tidak pernah dikenal orang, dari dulu sampai sekarang," tulis Tjokropranolo.
"Tetapi tempat itu paling ideal untuk memimpin perang gerilya. Di dukuh itulah Panglima menetap paling lama, karena paling aman dibanding dengan tempat lain."
Kurir dikirim ke berbagai daerah untuk menyampaikan perintah militer dan mendapatkan berita perkembangan situasi di lapangan.
Banyak sekali komandan pasukan dan pejabat pemerintah dalam pengasingan yang meminta petunjuk, apa yang harus dilakukan untuk menjalankan pemerintahan di daerah yang terpisah dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Presiden Syafruddin Prawiranegara di Sumatera.
(Sesaat sebelum ditawan Belanda, Presiden Soekarno memang telah menyerah-terimakan kekuasaan RI kepada Syafruddin Prawiranegara.)
Hari-hari terakhir
Tanggal 7 Mei 1949 ditandatangani pernyataan bersama Roem – van Royen untuk menyelesaikan konflik bersenjata di meja perundingan.
Usai sudah perang antara Republik Indonesia dan Belanda.
Panglima Soedirman memasuki Kota Yogya lagi dari Desa Ponjong tanggal 9 Juli 1949, setelah berfoto bersama dengan pembawa tandu terakhir yang dipakai menyeberangi Kali Opak dekat Piyungan.
Pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia.
Sayang, Pak Dirman tidak dapat menyaksikan hasil perjuangannya lebih lanjut.
Kuman tuberkulosis yang semakin menggerogoti paru-parunya selama ia berbulan-bulan masuk keluar hutan akhirnya mengalahkan dia.
Pada tanggal 29 Januari 1950 ia meninggal dunia di Rumah Peristirahatan Tentara Badakan, Magelang.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Oktober 2000 dengan judul "Soedirman Sang Guru yang Jadi Panglima" dan ditulis ulang oleh Moh Habib Asyhad.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR