Advertorial
Intisari-Online.com --Ia punya sifat tahan banting, ringkas, mudah dioperasikan namun mematikan.
Itulah peluncur granat yang merupakan predikat bagi pelontar granat yang awalnya merupakan produk Rusia dan dinamai RPG-7 (Rocket Propeled Granate-7).
Tahan banting lantaran senjata ini tak dilengkapi peranti sensor maupun penuntun (guided system) sensitif yang butuh kerja ekstra untuk merawatnya.
Bentuknya ringkas apalagi mudah didapat dan dibawa ke mana saja.
Dengan bentuk seperti itu RPG menjadi salah satu senjata berklasifikasi tinggi dan gampang diselundupkan.
Dalam berbagai pertempuran, satuan lapis baja AS sudah merasakan keganasan RPG.
Tank M1A1 Abrams milik marinir AS yang dikenal tak terkalahkan, dibuat tak berdaya akibat tembakan sejumlah RPG.
Demikian pula ranpur beroda andalan AD AS, Stryker, juga mengalami nasib serupa.
Awalnya RPG ditemukan ketika sejumlah senjata pembunuh tank milik Nazi Jerman, Panzerfaust berhasil disita Rusia.
Lalu Rusia menyontek kinerja senjata ini dan menerapkan pada generasi awal RPG, yaitu RPG-2/3. Tahun 1961 muncul versi yang lebih modern RPD-4.
Secara teknis untuk menghantam target ada beberapa tipikal hulu ledak yang bisa dilontarkan.
Di antaranya PG-7, PG-7M, PG-7N dengan tingkat efektifitas penembakan antara 300 meter (target gerak) hingga 500 meter (target diam).
Di luar itu masih ada lagi varian penjebol baja, PG-7VL. Ia bisa menembus lapisan hingga setebal 600 milimeter dari jarak 920 meter.
Jenis yang paling mutakhir adalah OG-7/M dengan fungsi sebagai pembasmi infantri lawan pda jarak tembak 1.100 meter.
Hulu ledak milik RPG memang bervariasi, demikian pula soal taktik tempur yang diterapkan.
Di negeri asalnya, setiap unit senapan bermotor (motorized riffle squad) dilengkapi satu unit RPG. Dalam perang Irak-Iran setiap regu pasukan Iran (11 orang) punya dua petembak RPG-7.
Taktik seperti itu juga diterapkan gerilyawan Mujahidin pada 1987.
Bahkan untuk melawan satuan lapis baja Soviet, Mujahidin sengaja membentuk tim pemburu-pembunuh tank (hunter-killer team).
Sebanyak 50 hingga 80 persen anggota dari satuan tersebut membawa RPG. Ini artinya setiap tim bisa berkekuatan hingga 15 pucuk hulu ledak.
Cara tak lazim untuk mengoperasikan RPG juga banyak ditemui di lapangan.
Dalam keadaan terdesak misalnya, Mujahidin terkadang memakai RPG sebagai mortir dengan mengatur posisi penembakan agar lintasan granat menjadi parabolik.
Sebaliknya pasukan Soviet pun menemukan resep mujarab menghantam gerilyawan yang bersembunyi dibalik bebatuan.
Mereka umumnya menembakan roket pada dinding terjal yang berada di belakang tempat perlindungan.
Dengan cara ini diharapkan lawan akan berlarian keluar untuk menghindar dari pecahan tebing yang rontok lalu dihabisi pakai tembakan senapan mesin.
Taktik lain yang cukup manjur adalah dengan menembakkan RPG dari jarak maksimal.
Lantaran punya kapabilitas meledak secara otomatis pada jarak paling jauh maka pecahan-pecahan metal hulu ledak bisa menjelma jadi senjata mematikan dan efektif.
Ketika berhadapan dengan tank berlapis reactive armour tapi tak punya RPG berhulu ledak ganda juga tak perlu khawatir.
Gerilyawan Tajikistan punya jalan keluarnya. Dalam sebuah pertempuran yang terjadi tahun 1992, mereka berhasil melumpuhkan sebuah MBTT-72 Soviet yang telah dilengkapi dengan reactive armour.
Caranya, cukup sediakan tiga petembak RPG untuk satu titik pada satu target.
Petembak pertama bertugas melumpuhkan lapisan reactivearmour, sementara sisanya dipakai menjebol lapisan baja.
Trik semacam itu selanjutnya diadopsi pula oleh gerilyawan Irak buat menghadang laju tank Abrams Marinir AS di pinggiran kota Baghdad.
Kabarnya tank ini berantakan setelah mendapatkan RPG bertubi-tubi.
Tembakan tersebut rupaannya berhasil merobek tangki bahan bakar sehingga menimbulkan kebakaran.
Selain itu RPG juga ampuh menghadap target udara.
Kasus jatuhnya heli UH-60 Blackhawk AS di Mogadishu, Somalia, Oktober 1994, bisa jadi contoh aksi spektakuler RPG-7.
Kedua heli berharga jutaan dolar itu rontok setelah bagian rotor belakang terhantam hulu ledak RPG.
Pada akhir era 70-an Soviet mempoduksi generasi penerus, yaitu RPG-16.
Secara teknis senjata ini bisa merobek lapisan baja setebal 375 milimeter dari jarak lebih dari 800 meter.
(Baca juga:Senjata Ilegal: Belajar dari Equatorial Guinea, Negara yang Hampir Dikudeta oleh Pemasok Senjata)
Jika dibandingkan dengan senjata peluncur granat Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) yang dibeli oleh Polri dengan RPG, kedua senjata itu sama-sama mematikan karena sifatnya yang menghancurkan.
Keduanya juga bisa digunakan untuk menghancurkan ranpur lapis baja dan bungker musuh.
Cuma bedanya, SAGL lebih ringan dan ruang pelurunya bisa diisi dengan sejumlah granat luncur,
Sedangkan RPG hanya mampu memuat satu granat luncur dan harus diisi lagi ketika akan ditembakkan.
Jadi untuk digunakan dalam pertempuran SAGL memang lebih efektif karena satu SAGL bisa menembakkan sejumlah granat luncur.