Advertorial

Hari Bhakti Postel ke-72: Sedikit Suka dan Tak Terhitung Duka Berkirim Surat Sebelum Adanya Jalur Daendels

Ade Sulaeman

Penulis

Jalannya becek sekali dan harus melalui sawah atau menerobos hutan-hutan.
Jalannya becek sekali dan harus melalui sawah atau menerobos hutan-hutan.

Intisari-Online.com – Tanggal 27 September adalah Hari Pos Telekomunikasi Telegraf atau Hari Bhakti Postel.

Kami menurunkan tulisan yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1968 tentang suka duka dinas pos pertama kali.

--

Di dalam Majalah Intisari bulan sebelumnya telah diceriterakan bahwa ketika dinas kereta pos sudah berjalan baik, surat dari Jakarta ke Surabaya bisa sampai dalam tujuh hari.

Memang benar bahwa jalan yang dibuat oleh Daendels tersebut lebih memperlancar jalannya surat-surat di pulau Jawa.

Tetapi sebetulnya Jawatan Pos sendiri sudah ada semenjak sebelum dibuatnya Jalan Raya itu.

Kantor Pos yang paling tua didirikan di Jakarta pada tahun 1746. Semua surat yang dikirimkan pada waktu itu berupa surat tercatat.

Dengan demikian keamanan surat tadi sangat terjamin. Bagi surat yang dikirimkan ke luar negeri harus terlebih dahulu melalui kantor Raad van Justice.

Sebab ada larangan untuk mengirimkan kabar-kabar mengenai perdagangan kecuali bagi pegawai V.O.C. sendiri.

Oleh karena itu semua surat ke luar negeri harus terlebih dahulu melalui badan sensor, yang sangat tajam sensornya.

Maklumlah ketika itu V.O.C. yang memegang monopoli perdagangan di seluruh Indonesia. Surat dari luar negeri juga tidak luput penyelidikan ini.

Para penerima surat harus menghadap sendiri ke kantor Raad van Justice guna menerima surat itu.

Di pulau Jawa sendiri, dinas pos sudah mulai berjalan sejak tahun 1754.

Pada permulaannya belum menempuh jalan darat. Masih dibawa dengan kapal-kapal. Jadi berupa pos laut.

Setiap dua minggu sekali surat-surat pos dikirimkan, dengan singgah di kota Jakarta, Cirebon, Tegal, dan Semarang.

Mula pertama belum sampai di Surabaya, karena perdagangan V.O.C. juga belum sampai ke sana. Memang siapa lagi yang berkirim surat masa itu kecuali orang-orang Belanda sendiri.

Dinas pos yang paling ramai adalah di antara kota Jakarta dengan Bogor.

Untuk kota-kota yang lain di dalam satu minggu hanya ada dua kali dinas pos.

Para pengantar pos darat ini mempunyai cerita suka-dukanya sendiri.

Dari Jakarta, mereka berangkat pada jam 9 malam. Surat pos yang dibawa berkereta tadi setiap 6 paal (± 9 km) dioperkan kepada pegawai lain yang menunggu di situ.

Demikian berturut-turut secara beranting surat disampaikan.

Tetapi seandainya sampai di Bogor kedahuluan dengan terbitnya Matahari, maka semua pegawai yang berdinas malam itu mendapat hukuman semuanya.

Dengan sanksi seperti di atas tidak ada pegawai pos yang akan lalai di dalam pekerjaannya.

Sebelum jalan besar Anyer-Banyuwangi selesai, menempuh jalan darat di pulau Jawa sukar sekali.

Jalan besar hanya ada dari Semarang lewat Ungaran dan Salatiga menuju ke Mataram dekat Yogya.

Sehingga ketika Gubernur Jenderal van Imhoff pada tahun 1746 akan pergi ke Gresik dari Surabaya saja sampai tidak jadi. Sedangkan jaraknya begitu dekat.

Akhirnya van Imhoff hanya dapat meninjau Jawa Tengah saja.

Dari Semarang ke Surakarta dapat dijalani dengan kereta. Tetapi selewat Surakarta harus mempergunakan tandu atau naik kuda.

Jalannya becek sekali dan harus melalui sawah atau menerobos hutan-hutan.

Mulai dari Delanggu, terus sampai Yogyakarta, Brosot, Gombong, Banyumas, Margasari, Tegal sepanjang jalan masih harus menebangi pohon-pohon.

Jalannya terlalu sempit, tidak muat untuk tandu, walaupun hanya tandu kursi saja.

Seandainya bukan Gubernur Jenderal yang akan lewat, pasti sudah tidak jadi.

Sampai Tegal dihitung lama perjalanan 86 jam. Tetapi dengan waktu istirahatnya menjadi 12 hari.

Jalan milik para Sultan Cirebon, mulai dari Cirebon, sampai Indramayu terawat baik, sehingga disini van Imhoff dapat naik kereta kembali.

Dari Indramayu sampai Jakarta kembali mempergunakan kuda, karena di daerah kekuasaan V.O.C. sendiri jalan-jalan tidak begitu baik perawatannya.

Jalan Jakarta-Bogor rumputnya sangat tinggi dan lebar. Sampai kadang-kadang sukar sekali ditempuh apalagi dengan kereta.

Kalau kita saat ini kadang-kadang sangat malu melihat keadaan kondisi jalan-jalan rayanya sendiri, dahulu keadaan adalah terbalik.

Pada waktu jalan raya Daendels telah selesai jalan ini merupakan yang terbaik di seluruh Asia.

Malahan mengalahkan sementara jalan raya di Eropa sendiri.

Walaupun untuk mencapai keadaan itu pengorbanan rakyat sangat besar sekali.

Pada tahun 1809, antara Jakarta dengan Surabaya sudah ada perhubungan tetap dengan mempergunakan kereta.

Nama kereta kuda tersebut “Postwagen”. Di samping membawa penumpang kereta tadi juga melakukan pengiriman surat-surat pos.

Di samping Bogor masih ada 11 tempat lagi yang mempunyai hotel-hotel kecil yang disebut Herberg. Hotel-hotel tersebut mempunyai 5 sampai 8 buah kamar.

Para tamu membayar 2,55 gulden termasuk makan satu kali.

Hotel didirikan untuk menampung para tamu yang melakukan perjalanan dengan kereta kuda itu.

Dengan demikian hotel-hotel tadi juga merupakan stasiun-stasiun pemberangkatan.

Persis sama dengan Bis Malam sekarang ini yang berangkatnya juga dari hotel-hotel tertentu. Sewa kereta kuda tadi buat seorang, 5 ketip untuk satu paalnya (± 1,5 km).

Jadi tinggal menghitung saja berapa paa yang dilalui. Setiap 6 paal, kudanya diganti dengan kuda segar yang telah disediakan.

Bagi mereka yang tidak suka naik kereta ini, disediakan kereta lain dengan sewa yang lebih murah.

Tetapi terang perjalanan akan memakan waktu lama sekali, karena kereta ini hanya ditarik oleh lembu.

(Ditulis oleh Anastasia Sri Gati. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1968)

Artikel Terkait