Ketika itu Major Yani bersama anak buah, antara lain Sarwo Eddy (kini komandan "macan" RPKAD) dan Surachmad, dengan perlengkapan sederhana berhasil membuyarkan serangan kilat pasukan Belanda yang datang menyerbu lengkap dengan kendaraan-kendaraan berlapis baja.
Masih banjak contoh-contoh semacam itu. Misalnya ketika Yani – di zaman Jepang Shodantjo – melucuti pasukan Jenderal Nakamura di Magelang.
Atau lagi ketika pada akhir tahun 1945 ia menghajar pasukan Gurkha alat Nica, di Magelang, yang ia kejar sampai Ambarawa.
Perlengkapan militer Gurkha ini berhasil ia rampas seluruhnya di Magelang, hingga setelah itu persenjataan batalyon Yani yang terbaik di antara pasukan-pasukan lainnya.
Pada zaman clash II "Wehrkreis hitam" (lingkungan militer hitam) di bawah Yani sangat ditakuti oleh Belanda.
Bakat-bakat kemiliteran dan kepemimpinan Yani rupanya sudah nampak ketika ia masih pemuda umur 19-an tahun. Waktu itu zaman pendudukan Jepang.
Datang perintah kepada Kotapraja-kotapraja untuk mengirimkan calon-calon yang akan dididik menjadi Cuyaku (juru bahasa).
Pemuda Yani dikirim oleh Kotapraja Purworejo (tempat kelahirannya) untuk menjalani didikan tersebut.
Pilihan ini tidak tanpa alasan. Latar belakang pendidikan Yani cukup luas untuk menjadi juru bahasa. Ia telah mendjalani HIS, MULO dan AMS B pada zaman Belanda.
Tapi seorang opsir Jepang bernama Obata yang mengenal Yani dari dekat, berpendapat lain. Ia sarankan kepada Yani agar mengikuti pendidikan Rensitai di Magelang, yaitu untuk menjadi opsir Jepang. Spontah Yani menerima anjuran ini.
Pengamatan Obata ternyata tajam. Di pendidikan Rensitai Yani lulus nomor satu. Karenanya langsung dikirim ke Bogor untuk mengikuti pendidikan Shodanco.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR