Advertorial
Intisari-Online.com – Peristiwa di bawah ini terjadi 8 bulan yang lalu. Waktu itu Jenderal Yani mau mengadakan inspeksi ke Yogyakarta.
Menurut rencana kapal terbang akan berangkat dari Kemayoran jam 2 siang. Tapi telah lewat pukul 2 awak pesawat belum juga lengkap.
Baru ada satu penerbang yaitu kapten pilot Rustamaji dan seorang teknikus sedangkan pilot pembantu dan navigator belum datang.
Mengadakan penerbangan tanpa navigator dan kopilot tentulah amat berbahaya. Tapi Pak Yani tetap berpegang pada rencana semula agar datang di Yogyakarta tepat pada waktunya.
Maka Pak Yani berkata pada kapten Rustamaji, "Bagaimana, berani berangkat sekarang juga?"
Dijawab, “Sanggup.” Tatapan Pak Yani dan kepribadiannya yang tenang, penuh kepercayaan, ketegasan dan optimisme berjangkit pada seluruh rombongan yang tadinya merasa takut dan was-was.
Kapal terbang jadi berangkat dengan awak pesawat yang tidak lengkap. Salah seorang ajudan Pak Yani duduk dicockpit untuk sekedar menolong kapten pilot - sekedar, sebab sang ajudan sama sekali tak tahu menahu tentang soal penerbangan dan hanya sekedar melakukan hal kecil-kecil atas instruksi kapten pilot.
"Petualangan" ini berhasil baik. Kapal terbang mendarat dengan selamat di lapangan terbang Adisucipto.
Tegas, tenang, penuh kepercayaan diri, dan optimisme yang menular ke seluruh staf dan anak buahnya – itulah antara lain sifat-sifat Pak Yani yang sangat mengesan pada rekan-rekan dan bawahannya.
Salah seorang bekas ajudan Pak Yani bercerita, "Entah bagaimana, saja merasa penuh gairah kerja sejak saja dekat dengan Pak Yani. Instruksi beliau jelas, tegas dan hanya diberikan dalam garis-garis besarnya saja. Selebihnya diserahkan penuh kepada inisiatif dan pemikiran saya. Saya merasa mendapat kepercayaan penuh dan karenanya selalu berusaha untuk tidak mengecewakan harapannya.”
Bekas ajudan menambahkan, ketika untuk pertama kali berkenalan dengan Pak Yani kira-kira enam tahun yang lalu, ia hanya seorang "kroco", seorang kapten yang selamanya berada di medan pertempuran, tak tahu menahu tentang seluk-beluk pekerjaan staf dengan segala urusan, perencanaan dan administrasinya.
"Dalam waktu singkat saya merasa dijadikan "orang" oleh Pak Yani", tambahnya.
Tegas, cepat, dan tepat mengambil keputusan, kepercayaan diri yang penuh optimisnie – sifat-sifat itu pulalah yang merupakan kunci kecemerlangan Pak Yani di medan pertempuran.
Berada di bawah komandonya para anak buah merasa aman dan kuat. Pandangan atas pertempuran yang dihadapi, menjadi cerah sekalipun perlengkapan dan persenjataan tak memadai.
Misalnya ketika ia sebagai letkol komandan Brigade Magelang memimpin operasi menumpas pengacauan yang dilakukan oleh "Angkatan Ummat Islam" ' (AUI) di sekitar Magelang, yaitu pada tahun 1950-an.
Pada suatu hari ia menerima kabar bahwa gerakan AUI sedang mengganas di daerah Kebumen. Dengan segera ia memutuskan berangkat ke tempat yang genting itu.
Hanya naik jeep dengan kawalan satu kendaraan "Bren Carrier". Lewat Kutoardjo jalanan sepi. Seorang pembantu letnan merasa takut "Bagaimana Pak, ini sangat gawat!"
Dengan tenang letkol Yani menjawab "Tidak apa-apa. Terus saja!"
Konvoi kecil jalan terus. Mendekati sebuah jembatan. Tiba-tiba terdengar tembakan gencar. Ternyata dari seberang jembatan tersebut.
Si pembantu letnan bertanya, "Bagaimana Pak, serang saja?".
"Ya,” jawab Pak Yani, “terus serang". Yani langsung memimpin "pasukan"nya. Bren Carrier naik tanggul untuk mengambil posisi yang baik.
Dan Yani dengan beberapa gelintir anak buahnya berhasil mengocar-ngacirkan lawan yang berkekuatan lebih kurang 100 orang.
Hal yang sama terjadi di Pingit di perbatasan antara Semarang dan Kedu pada zaman clash I tahun 1947.
Ketika itu Major Yani bersama anak buah, antara lain Sarwo Eddy (kini komandan "macan" RPKAD) dan Surachmad, dengan perlengkapan sederhana berhasil membuyarkan serangan kilat pasukan Belanda yang datang menyerbu lengkap dengan kendaraan-kendaraan berlapis baja.
Masih banjak contoh-contoh semacam itu. Misalnya ketika Yani – di zaman Jepang Shodantjo – melucuti pasukan Jenderal Nakamura di Magelang.
Atau lagi ketika pada akhir tahun 1945 ia menghajar pasukan Gurkha alat Nica, di Magelang, yang ia kejar sampai Ambarawa.
Perlengkapan militer Gurkha ini berhasil ia rampas seluruhnya di Magelang, hingga setelah itu persenjataan batalyon Yani yang terbaik di antara pasukan-pasukan lainnya.
Pada zaman clash II "Wehrkreis hitam" (lingkungan militer hitam) di bawah Yani sangat ditakuti oleh Belanda.
Bakat-bakat kemiliteran dan kepemimpinan Yani rupanya sudah nampak ketika ia masih pemuda umur 19-an tahun. Waktu itu zaman pendudukan Jepang.
Datang perintah kepada Kotapraja-kotapraja untuk mengirimkan calon-calon yang akan dididik menjadi Cuyaku (juru bahasa).
Pemuda Yani dikirim oleh Kotapraja Purworejo (tempat kelahirannya) untuk menjalani didikan tersebut.
Pilihan ini tidak tanpa alasan. Latar belakang pendidikan Yani cukup luas untuk menjadi juru bahasa. Ia telah mendjalani HIS, MULO dan AMS B pada zaman Belanda.
Tapi seorang opsir Jepang bernama Obata yang mengenal Yani dari dekat, berpendapat lain. Ia sarankan kepada Yani agar mengikuti pendidikan Rensitai di Magelang, yaitu untuk menjadi opsir Jepang. Spontah Yani menerima anjuran ini.
Pengamatan Obata ternyata tajam. Di pendidikan Rensitai Yani lulus nomor satu. Karenanya langsung dikirim ke Bogor untuk mengikuti pendidikan Shodanco.
Juga di sini hasilnya gemilang: lulus sangat luar biasa hingga diberi tanda penghargaan berupa pedang Samurai dengan bentuk khusus.
Praktek-praktek di medan pertempuran - baik pada awal kemerdekaan maupun pada zaman clash dan sesudahnya – berkali-kali memperlihatkan kecakapan Yani sebagai pemimpin.
Tahun 1955 dikirim oleh Departemen Angkatan Darat ke Amerika untuk menjalani "Command and General Staff College" Fort Leaven Worth.
Mata kuliah: kerja sama antara angkatan darat dan angkatan udara. Juga pada kursus yang diikuti oleh peserta-peserta dari berbagai negara ini, Yani lulus dengan nilai terbaik.
Sesudah itu meneruskan kursus itu di Inggris. Sepulangnya di tanah air, ia menjadi Assisten II Kepala Staf Angkatan Darat.
Macam-macam jenis orang-orang berbakat. Ada yang mempunyai tenaga kerja luar biasa, sehari dapat bekerja 16 jam secara non-stop, tapi majunya lamban.
Kadang-kadang dengan susah-payah harus mengerahkan segala energi dan daya pikirnya untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Namun tekun dan tabah, hingga akhirnya tercapai juga hasil-hasil yang mengagumkan. Tapi disamping itu ada pula orang berbakat tipe lain.
Ia mempunyai kemampuan untuk memecahkan problem-problem yang paling sulit, seolah-olah dengan cara "seenaknya" saja. Kecerdasan pandangan dan pengamatannya seketika menangkap inti persoalan dan sekaligus menemukan pemecahannya.
Putusan serba cepat, tepat, cermat dan seolah-olah “sambil bermain-main" saja. Mereka disebut orang yang "brilian" – cemerlang dan mereka itu jarang ditemukan.
Rupanja Pak Yani termasuk kategori bakat terakhir. Suatu peristiwa kecil melukiskan hal ini. Waktu itu ia sedang bertugas di daerah GBN.
Pada suatu hari Pak Yani sedang melepaskan lelah main tenis (Ia terkenal gemar olahraga, dulu tenis, akhir-akhir ini golf, yang dilakukan setiap hari dari jam 2.30 sampai jam kira-kira jam 6.00. sore).
Seorang anak buah, datang mengabarkan bahwa ada perembesan pasukan Darul Islam. Seketika Pak Yani menghentikan permainannya, berpikir sejenak, lantas memberikan instruksi-instruksi tentang strategi yang harus ditempuh. Ternyata kemudian bahwa taktik yang diberikan dengan tiba-tiba itu, berhasil baik.
Setiap hari jam 9 pagi Jenderal Yani masuk halaman gedung Departemen Angkatan Darat. Segera ia naik ke tingkat satu dan masuk ruang kerjanya, diam tapi dengan roman muka ramah.
Sambil menanggalkan peci menuju kapstok sambil merogoh sisir disakunya. Setelah menggantungkan peci di kapstok, langsung ia menuju tempat cuci tangan (lavabo) yang dari luar nampaknya seperti almari dalam dinding ruang kerjanya.
Lebih dulu sisir rambut dengan rapi sebelum duduk di belakang meja kerja. Memang Pak Yani sifatnya serba korek, cermat, saksama.
Pakaian selalu bersih dan rapi seperti juga Bung Karno. Kata seorang yang sering mengikutinya inspeksi keliling daerah, sebelum turun dari kapal terbang Pak Yani selalu lebih dulu memperhatikan celananya, apakah lipatan telah rapi.
Jika masuk ruang kerja, kerap kali sambil lalu menyentuh permukaan beberapa mebel untuk melihat apakah semuanya serba bersih.
Selesai sisir rambut Pak Yani menempatkan diri di belakang meja, dimana oleh ajudan telah disiapkan surat-surat yang harus ditandatangani serta dokumen-dokumen yang harus dikerjakan.
Tanpa bicara Pak Yani mulai bekerja. Susunan meja demikian rupa hingga Pak Yani langsung menghadap pintu masuk.
Di ruang kerja selain foto Presiden Sukarno tergantung foto Jenderal Nasution dan para bekas Menteri Panglima Angkatan Darat - berderet-deret pada dinding di belakang Pak Yani yang sedang bekerja.
Di kanan Pak Yani berdiri tegak Sang Merah Putih dan Panji-panji Angkatan Darat dalam lemari berdinding kaca.
Pada dinding sebelah kiri Pak Yani, deretan tanda-tanda kenang-kenangan dari pelbagai negeri untuk Angkatan Darat Indonesia.
Sudut antara dinding sebelah kanan dan depan (patokan masih selalu Pak Yani di belakang meja kerjanya) adalah tempat duduk bagi para tamu. Mebel-mebel itu baik, tapi modelnya sederhana.
Di sinilah Jenderal Yani bekerja setiap hari, rata-rata tiga setengah minggu setiap bulannya; sedangkan yang satu minggu dipergunakah untuk inspeksi ke daerah.
Di belakang meja itu Jenderal Yani mengerjakan surat-surat masuk, membuat keputusan-keputusan dan surat-surat perintah, diselingi kunjungan tetamu atau rapat-rapat di ruang kerja itu juga dengan anggota-anggota staf.
Diantara surat masuk kadang-kadang ada surat permohonan dari prajurit tak dikenal yang minta banyuan misalnya untuk khitanan anaknya.
Diberikan juga sekadar bantuan berupa uang barang 5-10 ribu. Sifat Pak Yani tidak dapat menolak permintaan sampai dari calon mahasiswa yang minta tanda tangannya dalam masa prabakti.
Tamu-tamu asing yang menemui Pak Yani terkesan oleh kelancarannya dalam bahasa Inggris disamping bahasa Belanda. Juga oleh ketepatannya dalam hal waktu.
Hanya terhadap tamu-tamu bangsa sendiri Pak Yani menyesuaikan diri dan lebih bebas dalam hal waktu.
Sebelum duduk di belakang meja, sejak dari rumah Pak Yani telah mempunyai gambaran tentang persoalan-persoalan dan keputusan-keputusan yang akan diambilnya.
la mempunyai kebiasaan yang "aneh" seperti halnya dengan sementara orang berbakat tinggi. Bangun tiduf kira-kira jam 6 pagi, Pak Yani terus minum kopi.
Kemudian sambil membawa catatan dan bolpen masuk kamar kecil yang selalu bersih sekali – kadang-kadang kopi dibawa. Disitu Pak Yani memikirkan hal-hal yang akan ia kerjakan hari itu. Setelah itu makan pagi sambil membaca koran.
Menjelang jam 9 berangkat ke kantor. Pulang sekitar jam setengah dua. Sampai di rumah tukar pakaian sport, makan, lalu pergi main golf (dulu tenis) di lapangan Rawamangun.
Sekitar jam 6 sore pulang mandi, menerima tamu-tamu sampai kira-kira jam 9. Sekitar jam 10 tidur dengan didahului baca-baca, jika tak ada acara resmi.
Seperti dikatakan, Jenderal Yani secara teratur meninjau daerah-daerah. "Sampai kini almarhum adalah satu-satunya Menteri Panglima Angkatan Darat yang sudah mengadakan inspeksi di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Irian Barat", demikian salah seorang pembantu dekat Pak Yani.
Banyak kisah tentang peninjauan ke daerah ini. Sekali waktu Pak Yani ke Tawoti, Makasar, menilik pasukan yang beroperasi disana.
la melihat pasukan RPKAD di daerah Sulawesi Selatan itu telah koyak-koyak pakaiannya, sepatu tidak keruan. Pak Yani bertanya pada salah seorang dari mereka, "Mengapa pakaianmu begitu?" Dijawab, "Dengan pakaian inipun kita dapat menghancurkan lawan, Pak.”
Ucapan ini membanggakan Pak Yani, tapi ia toh berkata marah, "Pakaian dan sepatu untukmu bisa kita beli dimana saja. Tapi kesehatanmu tak dapat dibeli."
Dan diperintahkannya agar pakaian dan sepatu RPKAD disitu diganti.
Seorang pengawal terkesan oleh ketahanan fisiknya dalam menyelesaikan acara-acara yang serba berat dan padat di daerah yang dikunjungi.
Usul-usul ajudan untuk meringankan acara, ia tolak. Katanya, "Bagi daerah, kunjungan semacam ini 'kan sesuatu yang jarang terjadi".
Kerap kali lewat tengah malam acara baru selesai, dengan segala pesta dan pertunjukan-pertunjukan yang kadang-kadang menjemukan.
Kemudian menyusul acara keesokan harinya di tempat yang sama atau di daerah berikutnya.
Untung Pak Yani mempunyai kemampuan dapat tidur disembarang waktu dan tempat. Pada tahun 1959 ketika masih Deputy II Kepala Staf Angkatan Darat merangkap Deputy wilayah Indonesia Timur, pernah Pak Yani - waktu itu berpangkat Brigadir Djendral - meninjau Palopo, Sulawesi Selatan.
Dari Rante Pao naik jeep. Jalan jelek sekali, banyak batu-batuan. Pak Yani toh masih dapat tidur sambil tangannya berpegang pada besi penopang tenda jeep.
Salah satu kenang-kenangan terakhir dari kunjungannya kedaerah adalah "peristiwa peniup trompet" di Ambon - tepat 40 hari menjelang gugurnya.
Dengan penuh perhatian ketika itu Pak Yani menatap setiap prajurit yang lewat didepannya dalam acara defile. Selesai upacara ia suruh panggil seorang peniup trompet dalam rombongan musik.
Kepada trompetis yang ternyata namanja Lupis ini, Pak Yani bertanja, "Apakah kamu pernah kenal atau melihat saja?" Dijawab, "Tidak Jenderal.” "Ya sudah, kamu boleh pulang."
Dengan penuh tanda tanya Lupis pulang kerumahnya. Lebih heran lagi ketika ia disusul oleh polisi militer dan diperintahkan untuk kembali menghadap Jenderal Yani.
Ia ditanya, "Pada zaman Belanda kamu kerja dimana?"
"Di Semarang Jenderal sebagai anggota militer Belanda."
Tanya Pak Yani lebih lanjut, "Coba ingat-ingatlah baik-baik apakah kamu ingat seorang anak kecil yang menyusul ajahnya yang bekerja sebagai supir."
Lupis masih ingat, sekali waktu ada supir yang sedang dimarahi oleh militer Belanda. Seorang anak laki-laki kecil tiba-tiba datang menyusulnya.
Tutur Lupis kepada Jenderal Yani, "Melihat ayahnya dimaki-maki Belanda, anak kecil itu berontak dan memaki-maki Belanda itu habis-habisan. Karena marahnya si Belanda menempeleng anak kecil itu sampai jatuh. Saya tidak tahan melihat kekejaman Belanda itu dan ia saya serang habis-habisan. Akibatnya saya dihukum penjara dua bulan dan pangkat saya diturunkan dua tingkat. Sampai kini saya masih ingat nama anak itu: Achmad."
Kata Pak Yani, "Sayalah anak kecil itu."
Lupis sejenak tertegun tak dapat berkata apa-apa. Suasana sepi. Kemudian meledaklah Lupis ala militer Belanda: "Godverdomme, jij bent de kleine Achmad" (Perdom kamu Achmad si ketjil itu), sambil merangkul dan bersujud di hadapan Jenderal Yani.
Karena tak bawa apa-apa, Pak Yani menganugerahkan jam tangan rolexnya dan jaket yang selalu dipakainya pada setiap pertemuan menumpas PRRI/Permesta.
"Terimalah, ini nyawa saya", tambahnya. Lupis yang sesudah itu pindah ke Jakarta dan dekat dengan keluarga Yani, tak terhibur ketika Pak Yani gugur. Ia bersumpah untuk menuntut bela.
Sambil lalu dapat dicatat, daya ingat luar biasa dari Pak Yani, yang masih menyimpan wajah orang yang dilihatnya paling sedikit 24 tahun yang lalu.
Seorang ajudan Pak Yani mengatakan, bahwa setelah dua tiga tahun ia masih ingat presis isi semua surat-surat keputusan yang begitu banyak dan menyangkut begitu banyak persoalan di berbagai daerah.
Menjelang gugurnya, sementara ucjapan Pak Yani memberikan kesan seolah-olah ia telah mempunyai firasat tentang apa yang akan terjadi pada dirinya.
Seorang kepala sekolah, yang dipercayakan Pak Yani untuk mendidik puteri-puterinya, menceritakan percakapannya terakhir dengan Pak Yani beberapa minggu sebelum ia gugur.
"Saya masih ingat betul. Jenderal Yani ketika itu berkata: PKI tidak akan membuat Republik Indonesia menjadi negara komunis, kecuali melalui mayat saya."
Sekitar waktu itu, tepatnya pada tanggal 29 Juli 1965 dalam ceramahnya di depan karyawan perminyakan Pak Yani menandaskan, "Di dalam soal ideologi kita tidak mengenal kompromi, soal ideologi adalah soal yang prinsipiil, tidak bisa dibeleid, tidak bisa diambil kebijaksanaan lain."
Perjuangan Pak Yani selama 20 tahun membuktikan tidak hampanya kata-kata itu. Bekas Shodanco Yani bertempur pada zaman revolusi fisik 1945 yang memproklamirkan Republik Indonesia yang berideologi Pancasila.
Mayor Yani aktif dalam penumpasan pemberontakan PKI Madiun yang mau menyelewengkan Pancasila. Letkol Yani menumpas "Angkatan Ummat Islah" dan "Darul Islam" yang juga bermaksud mengubah ideologi negara.
Juga kenang-kenanganan yang paling akhir sekali lagi memberi kesan seolah-olah Pahlawan Yani telah mempunyai firasat tentang petualangan kontrarevolusi "Gerakan 30 September" yang pada saat menggeloranya Dwikora secara diam-diam menyiapkan tusukan maut kepada Republik Indonesia.
Kenang-kenangan terakhir itu berupa amanat untuk hari Angkatan Bersenjata tanggal 5 Oktober 1965 - amanat yang ia persiapkan menjelang gugurnya dan bahkan telah ia ditandatangani.
Dalam bagian pertama amanat itu, Pahlawan Yani berkata: "Sangat disesalkan bahwa didalam suasana ketegangan dan kesiapsiagaan menghadapi agresi militer Belanda, timbullah apa yang dinamakan peristiwa Madiun pada bulan September 1948 yang merupakan tikaman di punggung Republik Indonesia. Dengan kekuatan TNI dibantu oleh rakyat peristiwa ini dapat diatasi."
Pahlawan Yani gugur. Penggantinya, Menteri/Pangad yang baru Major Jenderal Suharto menandaskan, bagi ABRI berlaku pepatah "Patah tumbuh hilang berganti".
Semangat Yani yangberkata, "Di dalam soal ideologi kita tidak kenal kompromi" tetap berkobar dalam hati penggantinya, dalam setiap anggota ABRI.
Mereka bertekad membela mati-matian dasar ideologi negara Pancasila. Kita kutip sekali lagi ucapan Pahlawan Yani dalam amanatnya untuk Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965 dengan sedikit perobahan: Dengan kekuatan ABRI dibantu oleh rakyat peristiwa "G-30-S" pasti dapat diatasi.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1965)