Find Us On Social Media :

Kisah Belahan Kuali dan Armada Semut Berember dalam Pembangunan Gedung DPR/MPR

By Ade Sulaeman, Jumat, 8 September 2017 | 10:30 WIB

Intisari-Online.com – Awalnya, gedung ini tidak disiapkan sebagai gedung parlemen negara tetapi dibangun sebagai gedung pertemuan Conefo, badan dunia tandingan Perserikatan Bangsa Bangsa.

Uniknya kubah gedung yang laksana kepakan sayap burung itu ditemukan secara kebetulan, seperti laporan wartawan lntisari, Anglingsari Saptono dan G. Sujayanto.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia Gedung MPR/DPR dikenal karena bentuk atapnya yang unik.

Meski di kompleks ini banyak terdapat bangunan pendukung lain, tetap saja gedung utama dengan atap kubahlah yang lebih dikenal.

Anehnya, kubah raksasa itu tidak disangga pilar-pilar atau dinding, tapi oleh dua busur pada bagian tengahnya, sehingga menyerupai kepakan sayap burung.

Di bawah atap inilah sebenarnya sebagian besar nasib bangsa Indonesia ditentukan.

Simak saja, tiap lima tahun Sidang Umum MPR digelar untuk menetapkan GBHN.

Seandainya bisa berbicara, atap dan dinding tentu akan bercerita pahit manis kisah perjalanan kehidupan demokrasi Indonesia.

Modal awal, jual mobil

Siapa sangka gedung penyangga pilar-pilar demokrasi ini dulu dibangun untuk tempat dilangsungkannya Conference of The New Emerging Forces (Conefo), sebuah badan tandingan PBB.

Bung Karno sebagai pencetus ide, berkeinginan bangunan ini kelak lebih megah daripada  Gedung PBB di New York, AS.

Prakarsa itu segera dijawab dengan diadakannya sayembara terbatas untuk prarancangan.

Presiden  mengimbau supaya pengikutnya bukan dari kelompok yang sudah dikenal sebelumnya,  semisal pakar teknik ternama Roosseno atau arsitek kondang Friedrich Silaban, tapi berasal dari generasi baru.

Bagai tunas disiram air muncul kelompok baru, tenaga muda yang penuh inovatif, di antaranya kelompok Ir. Soejoedi Wirjoatmodjo.

Keikutsertaan kelompok ini tak lepas dari peran serta Menteri PUTL  D. Suprayogi yang mengusulkan Soejoedi dan rekan-rekannya berpartisipasi di saat akhir menjelang penutupan.

"Usulan mendadak dari Pak Suprayogi ini membuat kami bekerja terburu-buru. Bayangkan,  dalam waktu 2 minggu gambar-gambar dan maket harus sudah siap," ungkap Ir. Nurpontjo, salah seorang tenaga yang direkrut mendadak oleh Soejoedi.

"Saat itu kami tidak memikirkan imbalan. Pak Soejoedi sendiri sampai menjual mobil untuk menutup biayanya dulu," kenang Brodjonegoro.

Waktu dua minggu untuk merampungkan gambar dan segenap tetek bengeknya, terasa makin  sempit saja.

Mulanya, bentuk gedung dengan atap kubah yang menjadi pilihan. Namun, membuat maket berbentuk kubah itu bukan hal yang gampang.

Dalam beberapa kali pengecoran, kubah pecah atau retak.

Ditemukan bukan diciptakan

Berbagai usaha untuk mendapatkan bentuk kubah yang benar diupayakan.

Nurpontjo yang saat itu baru lulus setahun dari ITB, mencoba menggergaji dan memotong cetakan yang berasal dari kuali untuk serabi menjadi dua bagian.

Maksudnya, untuk menghasilkan bentuk kubah yang tidak retak. Namun, ketika Soejoedi melihatnya, malah timbul ide baru.

Dua potongan kubah direka-reka menjadi seperti busur.

"Wah bagus ini! Saya akan tanyakan pada Pak Sutami sebagai pelaksana teknisnya, apakah bentuk seperti ini bisa terealisasi!" ujar Soejoedi yang juga dikenal sebagai arsitek Gedung ASEAN dan kedutaan besar kita di Kuala Lumpur.

Menurut Sutami, rancangan yang diusulkan oleh Soejoedi dan kawan-kawan itu bisa diwujudkan dan cukup kuat.

"Jadi, bentuk atap yang seperti sayap garuda itu tidak diciptakan, tetapi ditemukan tanpa sengaja," kata Nurpontjo lagi.

Soejoedi menang dalam komposisi massa. Artinya, antara bangunan yang satu dengan bangunan yang lain, bentuknya serasi.

Bung Karno menilai rancangan kelompok Soejoedi memiliki beberapa keunggulan.

Antara lain, bentuknya inovatif dan untuk kondisi saat itu, bangunan itu bisa dibanggakan di forum internasional.

Dalam kesempatan itu Bung Karno segera menanyakan kesanggupan Sutami, sebagai pelaksana teknis untuk merampungkan seluruh bangunan dalam satu tahun.

Tantangan ini dijawab dengan kesediaan Sutami. Kesanggupan itu bukan tanpa alasan.

Pengalamannya segudang dalam pekerjaan proyek borongan, ditambah belasan tahun memimpin Perusahaan Negara Hutama Karya mendasari kesanggupannya.

Dalam pengerjaannya, gedung ini menghendaki persyaratan khusus seperti adanya ruangan kedap suara, jaminan keamanan dan alat penerjemah.

Para arsiteknya berkeinginan menjadikan ruang sidang utama menjadi titik sentral perhatian.

Tanpa bermaksud meninggalkan ruang sekretariat, banquet hall dan auditorium. Yang jelas, gedung ini berbeda dengan Gedung PBB yang lebih menonjolkan gedung sekretariat jenderalnya.

Pada awalnya Gedung Conefo direncanakan berkapasitas 100 negara, tapi akhirnya diputuskan hanya 70 negara.

Armada semut dengan ember

Untuk mempercepat pembangunan, dibentuklah Komando Proyek New Emerging Forces (Kopronef) yang dipimpin oleh Menteri PUTL D. Suprayogi.

Kopronef membawahi empat tim kerja. Tim pertama dikomandani DipL Ing. Soejoedi, bertugas menyiapkan gambar.

Tim kedua dipimpin Jusuf Muda Dalam, bertugas di bidang dana dan administrasi. Tim ketiga diketuai Ir. S. Danugoro, bertugas di bidang logistik dan perbekalan.

Sedang tim keempat dibawahi Ir. Sutami yang bertugas di bidang pelaksanaan teknis lapangan dibantu oleh Ir. Thung L.P. dan D. Tangkudung.

Sejak tiang pancang I dipancangkan tanggal 19 April 1965 mulailah dilakukan pembangunan besar-besaran melibatkan semua instansi pemerintah maupun nonpemerintah.

Untuk mencapai target, pembangunan dilakukan 24 jam penuh. Tiga kelompok bergantian tiap 8 jam. Meski peralatan sangat terbatas toh pembangunannya berjalan juga.

Bahan apa pun yang bisa digunakan dipakai. Bahkan sisa pembangunan kompleks Senayan dan rel-rel kereta api, dipakai sebagai ganti besi baja yang sulit didapat.

Ketika pengecoran atap, tak kurang dari 27.000 orang terlibat langsung siang-malam. Tak pelak pembangunan ini menimbulkan decak kekaguman.

"Kok bisa ya memimpin orang sebanyak itu sampai sedetil-detilnya. Padahal kita hanya menggunakan ember untuk memindahkan adonan semen," kenang Nurpontjo.

Kerja siang-malam ini membuahkan hasil luar biasa. Dalam kurun waktu delapan bulan (November '65) secara struktur bangunan itu selesai.

Itu sesuai dengan waktu yang sudah direncanakan. "Bisa dikatakan pekerjaan ini ditangani oleh armada semut!"

Kendati rencana pendirian gedung terwujud, namun keinginan Bung Kamo untuk menyelenggarakan pertemuan Conefo kandas.

Soalnya, terjadi peristiwa G30S/PKI. Pemerintahan Orde Lama jatuh, digantikan oleh pemerintahan Orde Baru.

Pembangunan gedung ini pun sempat terbengkalai, akhirnya Presiden Soeharto dan pimpinan DPR-GR memutuskan melanjutkan pembangunan gedung ini menjadi proyek Gedung MPR/DPR.

Sejak tahun 1967 pembangunannya dilakukan bertahap, sesuai dengan kemampuan anggaran. Gedung utama MPR/DPR selesai dibangun dan digunakan untuk Sidang Umum MPRS 1968.

Gedung utama yang disebut "gedung konferensi induk" itu, hanyalah satu dari lima gedung yang terdapat dalam kompleks MPR/DPR.

Empat lainnya adalah gedung sekretariat, banquet hall dan dapurnya, auditorium serta mechanical building.

Pembangunan keseluruhan kompleks itu selesai tahun 1975, meski upacara peresmiannya belum pemah terdengar.

Pekerjakan tukang

Kini, pengelola Gedung MPR/DPR menyangga beban berat dalam pemeliharaannya. Tak heran bila di beberapa bagian terasa kurang terawat.

Ruangan dengan dinding kusam nampak di beberapa tempat. Sedangkan sisa-sisa daun yang tak pernah tersentuh sapu, terlihat bertebaran di mana-mana.

"Kami harus merawat gedung dan taman seluas 28 ha dari luas keseluruhan 60 ha. Padahal, anggarannya cukup terbatas, Rp 500 juta per tahun," kata Ruslan Salamun, B.A, Kepala Biro Pemeliharaan.

Untuk biaya rekening listrik, air dan telepon disediakan anggaran tetap.  Sedangkan untuk rehabilitasi dan renovasi harus dibuatkan anggaran proyek.

"Seperti coating kubah yang dilakukan lima tahun sekali, harus diusulkan dulu ke Bappenas karena membutuhkan biaya yang tidak kecil. Per meter perseginya sekitar Rp 25.000,00."

Terbatasnya anggaran bisa saja menjadi kendala, tapi masih banyak yang bisa dilakukan pengelola untuk merawat Gedung MPR/DPR.

"Ada baiknya jika lembaga itu mempunyai tukang listrik, tukang kayu, tukang air sendiri. Sewaktu-waktu ada kerusakan, mereka bisa langsung memperbaiki. Tidak perlu mencatat kerusakan dulu, melaporkan, baru kalau disetujui akan dipanggilkan tukang. Ini tentu memakan banyak waktu. Sementara perbaikan sebenarnya tidak bisa ditunda-tunda lagi," saran Pak Nurpontjo yang pemah ikut dalam proyek pengendalian kompleks MPR/DPR.

Masalah lain adalah penataan lingkungan Gedung MPR/DPR itu sendiri. Pembangunan sekitar gedung kebanggaan itu terasa berjalan sendiri-sendiri.

"Gedung Pemuda terlihat sangat keras, sehingga tidak memberi latar belakang yang baik buat Gedung MPR/DPR. Sedangkan danau di Taman Ria tertutup pemandangannya oleh pagar-pagar."

Agaknya, sudah saatnya gedung yang menyimpan riwayat unik ini diberi perhatian lebih. Soalnya, setidaknya kita juga hams menjaga citra sebagai gedung parlemen di tanah air tercinta.

Cukup buat seribu orang

K alau Anda sekali-sekali lewat gedung MPR/DPR, maka Anda akan melihat kolam air mancur menghiasi jalan masuk.

Di sisi kiri kolam, 35 tiang bendera berjajar. Sedang di ujung kolam terdapat elemen estetik, kemudian sebuah taman dengan dua buah tiang bendera.

Setelah itu ada tangga besar sebagai jalan masuk gedung utama yang disebut Grahatama.

Bangunan di kompleks MPR/DPR kita ini terdiri atas gedung utama (Grahatama), gedung anggota (Lokawirasabha), gedung komisi (Ganagraha), gedung sekretariat (Kamania Sasanagraha), gedung perpustakaan (Pustakaloka) dan gedung poliklinik.

Gedung utama inilah yang memberi ciri khusus bagi gedung parlemen kita. Gedung ini sendiri tidak mempunyai tiang dan terbuat dari beton baja yang kokoh.

Di gedung utama ini terdapat ruang rapat yang berdaya tampung 1.000 orang di balkon bawah dan 500 orang di balkon atas.

Biasanya, yang duduk di balkon bawah adalah para anggota MPR/DPR, para duta besar negara jiran, para pejabat eselon I.

Sedangkan di balkon atas diperuntukkan bagi para wartawan, para undangan eselon E. Di atas mimbar terdapat meja-kursi untuk pimpinan rapat, kursi untuk Presiden di sebelah kanan dan kursi untuk Wakil Presiden di sebelah kiri beserta para ajudannya.

Gedung MPR/DPR dalam setahun paling tidak diramaikan oleh dua peristiwa penting. Di bulan Januari, saat Presiden menyampaikan Nota Keuangan RAPBN dan di bulan Agustus, ketika Presiden membacakan pidato kenegaraan sehari sebelum hari kemerdekaan RI.

Sebagai gambaran saja, tanggal 16 Agustus 1991 undangan yang diedarkan berjumlah 2.600. Yang hadir memenuhi ruang rapat di gedung utama sekitar 1.500 orang, plus para teladan dari seluruh tanah air yang kali itu berjumlah 960.

Akbatnya, para teiadan terpaksa ada yang mengikuti pidato kepala negara di lobi.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1991)