Jika Motivasi Terjun ke Parpol adalah Cari Uang, Korupsi adalah Keniscayaan

Ade Sulaeman

Editor

Lima pimpinan DPR RI usai pelantikan Ketua DPR RI Setya Novanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/11/2016)
Lima pimpinan DPR RI usai pelantikan Ketua DPR RI Setya Novanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/11/2016)

Intisari-Online.com - Motivasi setiap orang untuk bergabung dengan partai politik (parpol) seharusnya pengabdian kepada masyarakat bukan orientasi kepada kepentingan diri sendiri.

Apalagi orang bersangkutan bisa bergabung dengan parpol karena dipilih rakyat dan rakyat yang memilih mempunyai harapan agar suaranya di parlemen terwakili serta kesejahteraannya diperjuangkan.

Ketika orang yang sukses mengendarai parpol berhasil menduduki jabatan strategis tertentu di parlemen maka setiap langkahnya dan suara hatinya adalah tekad bulat memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan bukan diri sendiri serta keluarganya.

Pasalnya untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga, orang bersangkutan toh sudah mendapatkan gaji yang sebenarnya cukup.

Gaji yang nota bene dari uang rakyat karena asal usulnya dari pajak rakyat.

(Baca juga: Setya Novanto, Dulu Jualan Beras, Pernah Jadi Model, Lalu Jadi Pimpinan Golkar, Lalu Ketua DPR, Kini Jadi Tersangka Korupsi E-KTP)

Tantangan terbesar orang-orang parpol yang memiliki kedudukan di parlemen sesungguhnya datang dari diri sendiri karena motivasinya untuk mengabdi dan melayani masyarakat ternyata tidak murni.

Motivasinya menjadi bias karena upaya untuk mendapat kedudukan di parlemen ternyata untuk makin memperkaya diri sendiri.

Meskipun sebelum mendapat kedudukan di parlemen orang bersangkutan sesungguhnya sudah kaya raya.

Setiap personel yang menjadi anggota parlemen khususnya yang memiliki jabatan strategis tanda tangannya sangat dibutuhkan ketika pemerintah sedang melaksanakan proyek yang umumnya bernilai rupiah yang sangat besar.

Tanda tangan dari orang-orang di parlemen dibutuhkan karena tanda tangannya mewakili masyrakat luas bukan hanya mewakili diri sendiri sebagai pejabat atau anggota parlemen bersangkutan.

(Baca juga: Punya Kekayaan hingga Ratusan Miliar Rupiah kok Masih Korupsi Juga: Inilah Jumlah Kekayaan Setya Novanto)

Tanda tangan itu selain berfungsi untuk mengesahkan dana yang dikucurkan pemerintah juga merupakan wahana pengontrol dan monitoring proyek yang akan dikerjakan demi kepentingan serta kesejahteraan masyarakat luas.

Tapi masalah yang kemudian muncul dalam soal ‘’proses tanda tangan itu’’ adalah berlakunya sistem marketing ala perusahaan yang wajib memberkan komisi bagi para pihak terkait (stake holder) yang telah terlibat dalam goal-nya sebuah proyek.

Khusus bagi anggota parlemen seharusnya menjawab ‘’tidak’’ terkait komisi yang akan diberikan kepadanya.

Pasalnya sekali lagi, ia sudah digaji oleh negara, bekerja demi negara, dan bukan meminta bagian dari dana negara yang akan dikucurkan demi kepentingan rakyat banyak.

Penerimaan uang negara berapapun jumlahnya yang diaggap sebagai ‘’komisi’’ itu jelas merupakan korupsi.

(Baca juga: Setya Novanto Tersangka Kasus E-KTP: DPR Harus ‘Ngaca’, Pansus Hak Angket Juga Harus Bubar)

Pasalnya uang untuk biaya sebuah proyek yang seharusnya dikucurkan 100% demi kepentingan rakyat menjadi tersunat.

Efeknya juga menjadi berkepanjangan, selain proyek tidak berjalan lancar atau bahkan gagal, kepentingan rakyat jadi terhambat, dan pejabat atau anggota parlemen bersangkutan tersangkut masalah hukum karena menjadi tersangka kasus korupsi.

Jika motivasi untuk menjadi anggota parpol dan kemudian bisa menjabat di parlemen adalah untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat, seharusnya tidak seorang pun anggota parpol atau parlemen menjadi tersangka kasus korupsi.

Artikel Terkait