Find Us On Social Media :

Kisah Nyata Seorang Pilot yang Mempertaruhkan Nyawa dengan Terbang Buta di Malam Hari, ‘Hanya’ Demi Satu Nyawa

By Ade Sulaeman, Kamis, 7 September 2017 | 14:00 WIB

Selain beberapa anjungan produksi, di sana juga ada kegiatan eksplorasi pengeboran oleh anjungan pengeboran WD Kent.

Anjungan seperti kapal inilah yang kami tuju. Tapi sebelum ke situ, kami harus ke tanker Kakap Natuna dulu untuk menambah bahan bakar, baru ke Singapura.

Laporan cuaca di Kakap menunjukkan baik. Awan menutiip 5/8 bagian dan tingginya 1.000 kaki.

Hampir celaka

Mendarat di helipad seluas setengah lapangan tenis di kapal yang bergerak turun-naik cukup sulit.

Di malam hari kemampuan diafragma mata kita menyesuaikan dengan cahaya luar menurun sehingga mengurangi kemampuan memperkirakan ketinggian dan kecepatan mendekati helipad.

Batas pandangan akan berubah jadi minim sekali.  Pilot helikopter sangat mengandalkan kemampuan visual ketika approach.

Instrumen-instrumen pembantu tidak akurat lagi pada kecepatan rendah. Kalau saja masih hujan, kami pasti mengurungkan rencana.

Ternyata, semakin dekat ke Kakap makin berkurang hujannya. Sepuluh menit sebelum sampai di Kakap, kami terbang lebih rendah dari 4.500 kaki.

Operator  radio memberitahukan arah dan kecepatan angin. Juga pitch and roll (derajat goyang-goyangnya kapal) serta tinggi-rendahnya naik turun kapal atau helipadnya.

Kami bersiap-siap mendarat. Kapten Eko membacakan landing check list dan mengecek instrumen.

Saya kemudian mem-briefing Kapten Eko, memberitahukan rencana pendaratan dan antisipasi bila terjadi masalah dalam pendaratan.