Find Us On Social Media :

Konflik di Semenanjung Korea Bukan Keinginan Warganya, Tapi Gara-gara Ulah Empat Negara Ini

By Ade Sulaeman, Jumat, 18 Agustus 2017 | 11:00 WIB

Sehingga ketidaksukaan orang Korea, baik Utara maupun Selatan terhadap Jepang, tetap tinggi hingga sekarang.

Berbagai upaya dan unjuk rasa untuk memerdekakan diri, dihajar dengan kejam dan menimbulkan banyak korban.

Banyak orang Korea lari dari negerinya. Kaum nasionalis Korea tahun 1919 membentuk pemerintahan pengasingan di Shanghai, dipimpin Syngman Rhee yang berpendidikan di AS.

Sebagian orang Korea lainnya yang berhaluan kiri, seperti Kim Il-sung ikut berjuang melawan Jepang di pihak China atau pun Soviet Rusia, baik sebelum maupun dalam PD II.

Soal kemerdekaan Korea yang telah tertutup dengan aneksasi oleh Jepang, akhirnya dibuka kembali oleh Deklarasi Kairo pada Desember 1943.

Negara-negara Sekutu menegaskan bahwa sesudah Jepang dikalahkan, maka Korea akan menjadi bebas dan merdeka.

Pernyataan ini ditegaskan lagi pada Konferensi Postdam bulan Juli 1945, dan disetujui oleh Uni Soviet tatkala menyatakan perang terhadap Jepang pada 8 Agustus 1945.

Pada waktu itu, AS dan Uni Soviet sepakat menjadikan garis paralel ke-38 sebagai garis pembatas dalam pelucutan senjata tentara Jepang di Korea.

Setelah Jepang takluk dan meneken kekalahannya pada 2 September 1945 di geladak USS Missouri di Teluk Tokyo, Jenderal Douglas MacArthur mengeluarkan pedoman mengenai tatacara penyerahan tentara Jepang di Asia.

Dalam kasus di Korea, digariskan pasukan Jepang yang berada di utara garis lintang ke-38 akan menyerah kepada pasukan Soviet, sedangkan yang di selatan garis kepada pasukan AS.

Rumusan ini serupa dengan yang digunakan di tempat lain, seperti Indochina.

Di sini pasukan China Nasionalis menerima penyerahan tentara Jepang di utara garis paralel ke-16 di Indochina, sedang di selatannya tugas pasukan Inggris.