Konflik di Semenanjung Korea Bukan Keinginan Warganya, Tapi Gara-gara Ulah Empat Negara Ini

Ade Sulaeman

Penulis

Pada awalnya Korea adalah salah satu bangsa dan menjadi salah satu negeri tertua di dunia.

Intisari-Online.com - Pada awalnya Korea adalah salah satu bangsa dan menjadi salah satu negeri tertua di dunia.

Sejarah tertulisnya berasal dari dua abad SM, tatkala Dinasti Han dari China mengalahkan kerajaan kesukuan pimpinan Wiman, lalu mendirikan koloni Nangnang di bagian utara Semenanjung Korea, yang berkembang selama 400 tahun dan menyebarkan budaya China ke Korea dan Jepang.

Namun koloni bentukan China lainnya gagal, karena perlawanan bangsa Korea yang menentang keberadaan asing di negerinya.

Dalam perkembangan berikutnya, Korea terpecah dalam tiga kerajaan: Kogoryo di bagian utara Sungai Han, Paekche di hilir Sungai Han, dan Silla di tenggara semenanjung.

Dengan bantuan Dinasti Tang dari China, Silla pada tahun 660 dan 668 berhasil menaklukkan Paekche dan Koguryo, serta mempersatukan seluruh Korea.

(Baca juga: Semenanjung Korea Memanas: Inilah Perbandingan Kekuatan Militer AS, China, Korsel dan Korut)

Persatuan Korea ini terus berlangsung 1.290 tahun, sampai terpecah menjadi dua Korea tahun 1945.

Selama lebih dari 1.200 tahun itu, Korea pernah dikuasai Mongolia.

Tatkala Dinasti Ming dari China mendepak keluar kekuasaan orang Mongol di China tahun 1356, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Jenderal Yi Song-gye untuk memerdekakan Korea.

Ia mendirikan Dinasti Yi, yang berkuasa di Korea hingga 1910.

Ibukota pun dipindah dari Songdo (kini Kaesong) ke Hanyang, sekarang bernama Seoul.

(Baca juga: (FOTO) Jomplang! Inilah 5 Perbedaan Kehidupan Antara Korea Selatan vs Korea Utara)

Tahun 1592 dan 1598, Korea mengalami invasi Jepang yang dipimpin Jenderal Toyotomi Hideyoshi.

Jepang bermaksud menjadikan Korea sebagai batu loncatan menyerang China.

Patut dicatat, dalam masa itu laksamana Korea, Yi Sun-sin berhasil membuat kapal perang “kura-kura” dari besi, yang berhasil membinasakan banyak kapal Jepang dan merusak jalur suplai mereka.

Menjadi lemah karena perangnya dengan Jepang, Dinasti Ming di China jatuh oleh invasi Manchuria.

Penguasa baru ini lalu mendirikan Dinasti Manchu atau Ching tahun 1644 yang berkuasa hingga 1911.

(Baca juga: Rentan Terlibat Perang Nuklir, di Korea Utara Stasiun Kereta Api juga Berfungsi Sebagai Bungker)

Korea yang juga diserbu, tunduk kepada penguasa Manchu di Peking.

Sejak itulah Korea menjadi terisolasi dari dunia luar dan selalu curiga serta menolak segala apa yang datang dari luar.

Korea pun lalu dikenal sebagai “Kerajaan Pertapa” atau “The Hermit Kingdom”.

Sekalipun demikian, orang luar tetap berusaha masuk ke Korea.

Misalnya Kongres AS tahun 1840-an mengeluarkan resolusi untuk membuka hubungan dagang dengan Korea.

Baru tahun 1866 kapal dagang Amerika General Sherman membuang sauh di S. Taedong, dekat Pyongyang.

Hasilnya? Kapal itu diserang orang Korea yang membunuhi para awak kapal nahas ini. Usaha penyelidikannya oleh kapal perang USS Wachusett gagal.

Akhirnya tahun 1871 satu skadron yang terdiri dari lima kapal perang AS berhenti di mulut S. Han.

Didahului tembakan meriam kapal, satuan Marinir AS mendarat dan menguasai perbentengan yang menuju ke Seoul.

AS yang merasa kehormatannya telah dipulihkan, kemudian menarik mundur kapal dan pasukannya.

Tahun 1894 kekuatan asing semakin masuk ke Korea, tatkala pemerintah Korea minta bantuan China untuk memadamkan pemberontakan.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Jepang, yang takut akan dominasi China di Korea.

Jepang pun mengirim tentara dalam jumlah besar dengan alasan “melindungi kepentingan Jepang”.

Dalam perang 1894-1895 berhasil mendesak China keluar dari Korea. Rusia yang telah menjadi kekuatan di Pasifik, juga melirik Korea.

Dia mendapatkan hak penebangan hutan dan pertambangan, lalu tahun 1903 mencoba mendapatkan izin menggunakan pelabuhan Mokpo dan Masan untuk kepentingan AL-nya.

Rusia tahun 1903 bahkan mencoba menawarkan pembagian Korea menjadi dua di garis lintang ke-39, dengan bagian selatan sepenuhnya untuk Jepang dan bagian utara buat “buffer” atau “penyangga” bagi Rusia.

Jepang tak suka dengan manuver Rusia, sehingga pecah perang tahun 1904-05 yang dimenangkan oleh Jepang.

Kemenangan ini membuka jalan bagi Jepang untuk menganeksasi Korea sebagai koloninya tahun 1910.

Penjajahan Jepang ini berlangsung 35 tahun dengan diwarnai kebrutalan serta eksploitasi terhadap negeri dan bangsa Korea.

Sehingga ketidaksukaan orang Korea, baik Utara maupun Selatan terhadap Jepang, tetap tinggi hingga sekarang.

Berbagai upaya dan unjuk rasa untuk memerdekakan diri, dihajar dengan kejam dan menimbulkan banyak korban.

Banyak orang Korea lari dari negerinya. Kaum nasionalis Korea tahun 1919 membentuk pemerintahan pengasingan di Shanghai, dipimpin Syngman Rhee yang berpendidikan di AS.

Sebagian orang Korea lainnya yang berhaluan kiri, seperti Kim Il-sung ikut berjuang melawan Jepang di pihak China atau pun Soviet Rusia, baik sebelum maupun dalam PD II.

Soal kemerdekaan Korea yang telah tertutup dengan aneksasi oleh Jepang, akhirnya dibuka kembali oleh Deklarasi Kairo pada Desember 1943.

Negara-negara Sekutu menegaskan bahwa sesudah Jepang dikalahkan, maka Korea akan menjadi bebas dan merdeka.

Pernyataan ini ditegaskan lagi pada Konferensi Postdam bulan Juli 1945, dan disetujui oleh Uni Soviet tatkala menyatakan perang terhadap Jepang pada 8 Agustus 1945.

Pada waktu itu, AS dan Uni Soviet sepakat menjadikan garis paralel ke-38 sebagai garis pembatas dalam pelucutan senjata tentara Jepang di Korea.

Setelah Jepang takluk dan meneken kekalahannya pada 2 September 1945 di geladak USS Missouri di Teluk Tokyo, Jenderal Douglas MacArthur mengeluarkan pedoman mengenai tatacara penyerahan tentara Jepang di Asia.

Dalam kasus di Korea, digariskan pasukan Jepang yang berada di utara garis lintang ke-38 akan menyerah kepada pasukan Soviet, sedangkan yang di selatan garis kepada pasukan AS.

Rumusan ini serupa dengan yang digunakan di tempat lain, seperti Indochina.

Di sini pasukan China Nasionalis menerima penyerahan tentara Jepang di utara garis paralel ke-16 di Indochina, sedang di selatannya tugas pasukan Inggris.

Tugas dilakukan dengan cepat dan kedua pasukan segera undur diri setelah tugas mereka rampung.

Namun di Korea, kenyataannya tidaklah semudah itu. Tatkala MacArthur menerbitkan pedomannya, pasukan Soviet sudah bercokol di utara garis ke-38 selama beberapa hari setelah memasuki Korea sejak 11 Agustus.

Sedangkan pasukan AS masih dalam proses pengangkutan ke Korea.

Panglima Korps XXIV Letjen John R. Hodge adalah perwira lapangan yang tidak dibekali tugas politik memimpin pemerintahan militer di selatan garis ke-38.

Apalagi keinginan AS hanyalah keluar secepatnya dari Korea, mengingat hasil studi Kepala Staf Gabungan AS tahun 1947 menyimpulkan, Korea tidak begitu penting buat AS. Sikap ini pun diamini oleh Deplu AS.

Di pihak lain, Soviet tahu sekali apa yang diinginkannya. Seperti pada tahun 1903, kini pun Rusia menghendaki adanya “buffer state”, negara penyangga yang bersahabat di perbatasan Asia Timur-nya.

Moskwa paham betul, pemerintahan seperti apa yang paling sesuai buat kepentingannya.

Karena itu tanpa membuang waktu, pada 3 Oktober 1945 dia mengenalkan Kim Il-sung sebagai pemimpin Korea Utara yang akan membentuk pemerintahan komunis sesuai pola Soviet.

Para kader yang telah berpengalaman dalam pengasingan di China atau Rusia, dimanfaatkan dengan cepat.

Sehingga pada 9 September 1948, Republik Rakyat Demokratik Korea (Korut) sudah dapat diproklamasikan sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Berlainan dengan proses politik di utara, maka di selatan AS mencoba memasukkan kemerdekaan Korea dalam agenda PBB.

Namun PBB tidak memperoleh kerjasama dari pihak Korea Utara. Karena itu di Korea Selatan pada Mei 1948 diadakan pemilu, yang memilih Majelis Nasional dan Syngman Rhee sebagai presiden pertama Republik Korea.

Negara ini memproklamasikan kemerdekaannya pada 15 Agustus 1948, bersamaan dengan berakhirnya pendudukan tentara AS di Korsel.

Kini Semenanjung itu pun resmi terbelah menjadi dua negara, walau mereka sesungguhnya betul-betul satu bangsa yang homogen, dengan bahasa dan budaya yang sama serupa.

Mereka sesungguhnya punya idealisme sama, ingin mempersatukan bangsa dan tanah airnya.

Namun ideologi dan berbagai kepentingan lainnya, telah menjauhkan cita-cita itu.

Mereka kini bukan hanya terpecah, namun juga saling bermusuhan dengan sikap antipati, saling siap membunuh dan menghancurkan satu sama lain.

Perang saudara telah mereka alami dengan hebat dan penuh kesengsaraan tahun 1950-53.

Namun perang ini resminya belum berakhir, karena mereka tidak mencapai persetujuan damai, hanya sekadar gencatan senjata, yang setiap waktu dapat meletup lagi.

Bahkan kini dengan eskalasi yang luar biasa, karena masuknya ancaman senjata nuklir.

Artikel Terkait