Find Us On Social Media :

Tidak Hanya di Dunkirk, Pasukan Gabungan Inggris-Perancis Juga Terpukul Mundur di Asia Tenggara

By Moh Habib Asyhad, Minggu, 23 Juli 2017 | 14:00 WIB

Pasukan gabungan Inggris

Intisari-Online.com - Tak hanya di Dunkirk, pasukan gabungan Persemakmuran Inggris dan Perancis juga terpukul mundur dalam pertempuran melawan pasukan Jepang di Asia Tenggara; di Indochina (Vietnam) dan Burma.

Pasukan yang terpukul mundur itu selain berhasil dikalahkan, ratusan ribu lainnya terpaksa mundur ke kawasan yang aman dengan jalan kaki dan menembus hutan belantara.

Tujuan Jepang menguasai Indochina adalah untuk memblokir bantuan logistik dan persenjataan AS yang setiap bulan mengalir ke China.

(Baca juga: Ingin Menonton Dunkirk? Inilah Semua Hal yang Perlu Kita Tahu tentang Dunkirk dan Pertempuran Perang Dunia II)

Tapi invasi Jepang itu juga mencerminkan bahwa ambisinya untuk menguasai Asia Tenggara makin jelas dan langsung mendapat kecaman keras dari AS.

Bantuan yang dikirim oleh AS mengunakan kereta api  melintasi kawasan Indochina selanjutnya menembus perbatasan China, yakni jalur Haiphong-Yunan.

Berkat bantuan yang dikirim secara regular ini, pasukan perlawanan China yang bertempur melawan pasukan pendudukan Jepang menjadi sangat terbantu.

Pasukan Jepang yang saat itu sedang bergerak ke kawasan Guangxi, sebuah kota yang lokasinya berdekatan dengan kawasan Indochina, lalu memutuskan untuk  sekaligus menguasai Indochina.

Untuk melancarkan invasinya, Jepang terlebih dahulu memberi tekanan militer kepada penguasa kolonial Indochina, yang masih dipegang oleh pemerintah Perancis atau Vichy Governmant.

Jepang yang kemudian menyiapkan kekuatan militernya di sepanjang perbatasan China-Indochina  meminta agar Vichy Government menutup jalur kereta antara Haiphong-Yunan.

(Baca juga: Sejak Perang Dunia I, Mobil Ini ‘Rutin’ Memicu Malapetaka Bagi para Pemiliknya)

Pada awalnya Vichy Government menyetujui permintaan Jepang itu, termasuk penempatan sekitar 6.000 pasukan Jepang di Indochina.

Tapi karena ambisi awal Jepang memang ingin menguasai Indochina secepatnya, pada tanggal 23 September 1940, tanpa diduga pasukan 5th Division di bawah pimpinan Letnan Jenderal Aketo Nakamura menyerbu masuk dan menutup jalur kereta di kawasan Lang Son.

Pasukan Vichy Government yang dimotori oleh Legiun Asing pun melancarkan perlawanan dan terjadi pertempuran sengit.

Namun akibat kalah kuat dan kemampuan, pasukan Vichy Government berhasil dipukul mundur dan pasukan Jepang terus bergerak maju menuju pusat kota Hanoi.

Untuk mempertahankan Hanoi, pasukan kolonial Vichy  sebenarnya masih cukup kuat.

Tapi setelah serangan udara Jepang dilancarkan, posisi pasukan Vichy, betul-betul terancam mengingat mereka tak mempunyai kekuatan udara.

Bombardemen  lewat udara yang disusul oleh  pendaratan amfibi ribuan pasukan Jepang dari pantai Haiphong pun tak bisa dibendung lagi.  

(Baca juga: Pasukan Elit Amerika Serikat Tak Selalu Hebat, Buktinya Mereka Pernah Babak Belur dalam Pertempuran Berdarah di Khe Sanh Vietnam)

Pada 26 September, tatkala pasukan Jepang kembali mendarat di pantai Dong Tac, yang berlokasi di sebelah selatan Haiphong, pendaratan ribuan pasukan itu membuat posisi pasukan Vichy makin tersudut.

Sebab pada pendaratan yang meskipun mendapat perlawanan sengit itu,  pasukan Jepang dibekali lusinan tank sehingga pertahanan pasukan Vichy bisa dengan mudah dipatahkan.

Pada malam harinya, pasukan Jepang malah sudah berhasil menumpas semua perlawanan pasukan Vichy dan Indochina pun jatuh ke tangan Jepang.

Selain berhasil memblokade China secara total, pasukan Jepang juga menguasai rute strategis untuk meneruskan invasi berikutnya menuju Burma.

Burma merupakan sasaran Jepang berikutnya karena negara yang subur itu kaya akan minyak dan padi.

(Baca juga: Hiroo Onoda, Tentara Jepang yang Sampai Ajal Menjemput pun Tak Sudi Menyerah kepada Tentara Sekutu)

Selain itu, dengan menguasai Burma, Jepang juga akan terhindar dari serbuan balik pasukan Sekutu yang saat itu masih menguasia Malaya dan Hindia Belanda.

Untuk menguasai Burma, Jepang menggerakan kekuatan dari 15th Army yang saat itu sudah berada di Thailand. Didukung oleh militer Thailand yang bergabung pasukan Jepang, 15th Army yang dikomandani oleh Letnan Jenderal Shojiro Iida segera menggerakkan pasukannya dari Thailand Utara.

Serbuan menuju Burma lewat hutan belantara itu berlangsung pada bulan Januari 1942.

Setelah menerobos hutan, kawasan strategis Burma, Tenasserim pun berhasil dikuasai pasukan Jepang.

Dari posisi itu, pasukan Jenderal Shojiro yang hanya terdiri dari dua divisi Infantri segera bergerak menuju Selatan dan berhasil menguasai jalur strategis, Kawkareik Pass.

Lewat jalur strategis yang berkelok-kelok itu, pasukan Jepang kemudian sukses menguasai kawasan seberang Salween River,  Moulmein.

(Baca juga: Diam-diam, Rusia Siapkan ‘Kereta Hantu’ dan ‘Rudal Nuklir Setan’ untuk Hancurkan AS dan Sekutunya)

Pasukan Sekutu yang bertahan di seberang sungai dan berusaha keras mempertahankan jembatan akhirnya memilih mundur setelah terlebih dahulu meledakkan jembatan.

Gerak mundur pasukan Sekutu dari satuan Indian 18th Division  tergantung dari kecepatan mereka mencapai jembatan yang membentang di atas Sittang River.

Tapi sebelum pasukan Sekutu mencapai jembatan itu, Sittang River ternyata telah berhasil dikuasai oleh pasukan Jepang.

Agar terhindar dari  nasib yang lebih buruk, pasukan Sekutu kemudian mengirim tim khusus untuk meledakkan jembatan Sittang River. 

Gerak maju pasukan Jepang kini makin mendekati posisi ibukota Burma, Rangon.

(Baca juga: Siapa Sangka, Kota yang Kini Sangat Megah Ini Pernah Jadi Ajang Pembantaian Pasukan Jepang Pada PD II)

Komandan Sekutu, ABDA Command, di Rangon, Jenderal Wavell kemudian memerintahkan pasukannya untuk sebisa mungkin menahan gempuran Jepang sambil menunggu bantuan pasukan tambahan dari Timur Tengah.

Perlawanan sengit pasukan Sekutu ternyata tak membawa hasil. Jenderal Harold Alexander yang baru saja menggantikan Wavell lalu memerintahkan semua pasukan Sekutu untuk meninggalkan Rangon sambil melancarkan aksi bumi hangus.

Sekitar 60 ribu pasukan Sekutu, khususnya satuan India dan Inggris,  terpaksa berjalan kaki menembus bukit dan hutan untuk mencapai perbatasan Burma-India.

Proses pengunduran diri pasukan gabungan Persemakmuran Inggris ini  mirip dengan proses pengunduran diri di Dunkrik.

Tapi pengunduran diri puluhan ribu pasukan dengan berjalan kaki ini jelas lebih susah dan beresiko dibandingkan dengan menggunakan kapal laut.

(Baca juga: Kisah Tragis Kapal Perang Pembawa Bom Atom: Tenggelam dan Para Awaknya Diserang Kawanan Hiu Ganas)

Gelombang berikutnya, sebanyak  100.000 pasukan China yang dipimpin Jenderal Joseph  Stiwell menyusul upaya evakuasi besar-besaran itu juga dengan jalan kaki.

Di sepanjang perjalanan banyak sekali personil yang jatuh sakit atau meninggal karena desentri atau malaria.

Kota Rangon yang ditinggalkan oleh Sekutu akhirnya dengan mudah jatuh ke tangan Jepang.