Find Us On Social Media :

Kisah Kamboja yang Terbagi Dua Akibat Perang di Negerinya Sendiri

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 11 Oktober 2018 | 11:00 WIB

Sebenarnya, yang dimaksud dengan negara Demokrasi Kamboja adalah rezim yang didirikan dari tahun 1975 - 1979.

Ketika orang-orang Vietnam mendesak Khmer Merah bersama pemimpin mereka, Pol Pot, pada tahun 1979 dan terus berperang selama enam tahun berikutnya, Pasukan Khmer Merah terdesak sampai ke perbatasan Muangthai.

Begitu Khmer Merah terdesak ke Muangthai terhimpunlah koalisi antara Vietnam dan Kamboja. 50.000 anggota Khmer Merah yang di perbatasan Muangthai pun bergabung dengan 15.000 pengikut Son San, perdana menteri Kamboja yang konservatif sebelum tahun 1970, dan 10.000 pengikut setia Pangeran Norodom Sihanouk.

Pangeran itulah yang diberi wewenang untuk memerintah negara Demokrasi Kamboja di pengasingan.

Baca Juga : 7 Fakta Menarik Kamboja, Negara dengan Raja yang Jago Menari Balet

Jadi, ada dua Kamboja. Kamboja yang diduduki orang Vietnam dan Kamboja yang berada di perbatasan Muangthai. Orang Kamboja yang berada di selusin kamp pelarian yang berada di Muangthai berjumlah 250.000 jiwa.

Perkampungan itu dibantu keuangannya oleh Amerika dan negara-negara ASEAN yang berorientasi Barat. Dalam hal perawatan kesehatan dibantu oleh organisasi internasional, sedangkan senjata dibantu oleh Cina Republik.

Perserikatan Bangsa-bangsa pun mengakui keabsahannya. Sedangkan Sihanouk terus menjalankan propaganda.

Kalau kita meninjau ke sana, kita akan melihat asrama massa. Di situ ada dua dokter dan 160 perawat Kamboja. Sedangkan tujuh orang dokter dari Palang Merah Internasional tinggal di luar kamp.

Baca Juga : Dari Bayi Buaya hingga Minuman Ular, Inilah Kuliner Ekstrem Kamboja, Berani Coba?

Kasus yang sering ditangani adalah amputasi kaki dan tangan yang rusak akibat terkena peluru,  TBC, penyakit perut. Masalah utama yang dihadapi di kamp: air minum yang tercemar.

Kamp itu sendiri terdiri atas seribu kemah terpal. Ada kuil Buddha dengan 20 orang biksu yang terjamin makannya dibandingkan dengan para pengungsi lain.

Yang hebat, di situ ada juga bioskop video yang sering memutar film-film kung fu dalam bahasa Cina. Namun demikian, di situ pernah di putar film The Killing Fields. Bagaimanakah reaksi orang Kamboja melihat film itu?

Bukankah mereka adalah korban dan sekaligus pelakunya? Ternyata mereka justru tertawa. Tertawa terbahak-bahak seperti menonton cerita Charlie Chaplin.

Rupanya, dalam hidup yang susah ini, mereka masih bisa tertawa. Harapan belum pudar untuk bisa kembali ke Kamboja. "Kami ingin mengusir orang Vietnam dari negeri kami. Namun kini, kami membutuhkan uang dan senjata lebih banyak untuk memperkuat diri," kata seorang  dokter kamp pengungsian.

 Baca Juga : Dubes RI untuk Kamboja Ini Justru Tahu dari Dubes China jika pada 1 Oktober 1965 Terjadi Kup di Jakarta