Mengenang Letusan Gunung Krakatau 1883, Lebih Hebat dari Bom Atom dan Menyapu Bersih 163 Desa

Ade Sulaeman

Penulis

Letusan gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883, lebih hebat daripada bom atom. Selain itu juga menyapu bersih 163 desa di sekitarnya.

Intisari-Online.com – Anak Gunung Krakatau kembali menjadi sangat aktif pada Rabu (3/10/2018).

Hanya dalam satu hari gunung tersebut sudah meletus sebanyak 422 kali, dengan getaran mencapai pos Pemantau yang terletak di Pasuruan, Serang.

Tentu saja aktivitas ini membuat banyak orang waswas mengingat 135 tahun lalu 'ibunya' Gunung Krakatau pernah meletus hingga menyapubersih 163 desa seperti diceritakan dalam artikel berjudul Letusan Gunung Krakatau Lebih Hebat dari Bom Atom, yang dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1983.

---

Baca Juga : Gunung Anak Krakau Erupsi: Dulu, Gunung Krakatau Pernah Meletus 10.000 Kali Lebih Dahsyat dari Bom Hiroshima

Tanggal 27 Agustus nanti akan genap seratus tahun letusan dahsyat Krakatau yang sempat menggoncangkan seluruh dunia.

Pada tanggal 27 Agustus 1883, bertepatan dengan hari Ahad dentuman pada pukul 10.02 terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina dan Jepang. Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.

Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai Palembang), tidak menimbulkan korban.

Pada letusan tanggal 27 Agustus itu batuan disemburkan setinggi 55.000 m dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163 desa.

Baca Juga : Dibanding Letusan Gunung Tambora dan Gunung Krakatau, Letusan Gunung Berapi Ini Dianggap Lebih Dahsyat: Juga Bikin Ribut Masyarakat Internasional

Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom Hidrogen terkuat dalam percobaan.

Dikira meriam apel

Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikiranya suara guntur di tempat jauh.

Setelah pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut barat.

Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Benarkah Hewan Mampu Memprediksi Terjadinya Gempa?

Juga di Batavia gemuruh itu dapat didengar, juga di Anyer, sedang di Serang dan Bandung mulai pukul tiga.

Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.

"Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada Batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es.

Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orang pun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa.

Baca Juga : Walau Alami Erupsi Setinggi 1.000 Meter, Tapi Status Gunung Anak Krakatau Tidak Membahayakan

Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat kepada Gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah istirahat selama dua abad.

Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: 'Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.' Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer."

Pukul lima sore gemuruh itu rhakin menghebat, tanpa terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam-berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng, Red) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya.

Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik Hendrik, sekarang Masjid Istiqlal, Red) ditembakkan meriam sebagai isyarat, disusul oleh tanda terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi.

Baca Juga : Menggali Tenggelamnya Atlantis: Kunci Jawaban di Gunung Krakatau dan Teori Waktu yang Bertentangan

Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu.

Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet.

Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sungguh-sungguh menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!

Betawi jadi dingin

Sementara itu 'penembakan' berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorang pun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana.

Baca Juga : Tak Disangka Lukisan Karya Seniman Norwegia Ini Miliki Kaitan Erat dengan Letusan Krakatau

Hampir tak ada orang yang berani tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu.

Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: "Ada gunung pecah," kata mereka.

Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di masjid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya.

Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh bertebaran di tanah, kaca etalase toko pada pecah, penerangan gas di banyak rumah padam: Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, sekalipun dari arah barat masih terdengar suara gemuruh.

Baca Juga : Gunung Meletus Tak Pengaruhi Gunung-gunung di Dekatnya

Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam beberapa jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sehingga saya gemetar kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Betawi udara sedingin itu.

Waktu saya melihat ke luar ternyata bahwa seluruh kota diliputi oleh kabut tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya lihat lagi, meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih menyala.

Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa, melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama lewat tengah malam — mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal.

Pada pukul enam pagi, menurut peraturan, semua lampu hams dipadamkan, tetapi ... matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh nampaknya seperti fajar akan menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang.

Baca Juga : Inilah Io, Satelit Planet Jupiter yang Memiliki Banyak Gunung Berapi

Hawa makin menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada berkeputusah. Abu itu ke mana-mana, juga bangsal jaga dilapisi oleh serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan.

Prajurit jaga yang saya lihat dari jendela sedang mondarmandir, kelihatannya seperti boneka salju kelabu yang bergerak secara mekanis.

Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala apa. Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama bakal runtuh!

Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya memuat sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan itu. Kawat itu berbunyi: Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas.

Baca Juga : Maksud Hati Ingin Membuat Pompa, Petani Anggur Ini Justru Menemukan Kembali Pompeyi yang Hilang Terkubur Gunung Berapi

Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus. Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak nampak, gelapnya seperti pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang di sini sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar.

Lewat pukul dua belas, ketika di Betawi masih gelap gulita dan sangat dingin, tersiar berita gawat dari Pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung Priok. Suatu gelombang pasang telah membanjiri sebagian kota bawah. Permukaan air dua meter di atas garis normal.

Kapal uap Prinses Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang cerobong asapnya merusakkan atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan perahu terdampar secara acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur dan abu tebal.

Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan mcmbawa harta benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang pasang, tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama kalinya.

Baca Juga : Awas! Selain Merapi, Inilah 4 Gunung Berapi Paling Aktif di Pulau Jawa

Di scbclah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang, sehingga matahari mulai nampak scbagai bercak merah kotor pada langit yang kelabu. Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk segcra menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkan ke daerah yang terkena musibah di Sumatra Selatan.

Pada saat itu Betawi tidak seorang pun yang tahu dengan tepat apa sebenarnya yang terjadi di sebelah barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka terputus.

Serang sunyi mencekam

Kalau di Jakarta air pasang itu tak mengambil korban terlalu besar, daerah pantai sebelah barat Jawa Barat yang lebih dekat dengan gunung yang sedang murka itu akibatnya cukup mengerikan. Di Tangerang, pantai utaranya digenangi sampai sejauh satu hingga satu setengah km dengan meminta korban manusia cukup besar.

Sembilan buah desa pantai musnah. Korban di daerah ini tercatat 1.794 orang penduduk asli dan 546 orang Cina dan Timur Asing lainnya.

Baca Juga : Fotografer Pemberani Abadikan Danau Lava Gunung Berapi Aktif yang Penuh Risiko

Di Serang suara gemuruh mulai tcrdengar pada pukul 3 siang, hari Minggu. Malamnya terus menerus tercium bau belerang dan guruh serta kilat terlihat dari arah Krakatau. Hari Seninnya langit di sebelah barat berwarna kelabu, lalu hujan abu turun tanpa hentinya.

Pukul setengah sebelas hari mulai kelam, dan makin menggelap, sehingga hampir tak terlihat apa-apa. Lewat pukul sebelas dikawatkan dari Serang bahwa terjadi hujan kerikil batu apung; tak lama kemudian hubungan telegram dengan Jakarta terputus.

Setelah hujan kerikil menyusul hujan lumpur, yakni abu basah melekat pada daun-daun dan dahan-dahan pohon sehingga kadang-kadang runtuh karena beratnya. Sekitar pukul 12 hujan lumpur ini terhenti, tetapi abu kering tetap turun.

Anehnya, selama itu di Serang tak terdengar letusan-letusan, bahkan suasana sangat sepi mencekam, yang membuat banyak orang makin gugup dan tertekan. Juga hewan peliharaan makin gelisah, mereka ingin sedekat mungkin dengan manusia di dalam rumah, di dekat lampu.

Baca Juga : Foto-foto Mengerikan dari Luapan Lava Gunung Berapi Kilauea di Hawai, Jalanan Beraspal pun Terbakar

Dengan kekerasan sekalipun hewan-hewan itu tak berhasil diusir. Setelah pukul dua siang mulai terlihat agak terang di sebelah timur, ayam-ayam jantan mulai berkokok. Suara gemuruh mulai terdengar lagi, sedang hujan abu turun terus-menerus dan abu belerang menusuk hidung. Pada pukul empat sore lampu-lampu masih dinyalakan.

Surat-surat kabar yang terbit di Betawi bertanggal 28, 31 Agustus dan 4 September penuh dengan berita-berita tentang malapetaka yang menimpa daerah Banten. Tetapi jarang sekali ada kisah saksi mata, sebab tempat-tempat yang letaknya di tepi pantai seperti Merak, Anyer dan Caringin hancur luluh dan hanya beberapa orang Belanda yang kebetulan melarikan diri pada saat yang tepat tertolong.

Ketika siuman semua gelap

Di Merak seoning pemegang buku pada perusahaan pelabuhan bernama E. Pechler merupakan satu-satunya orang Belanda yang lolos. la sedang bertugas membawa telegram atasannya untuk dikirimkan ke Batavia lewat Serang.

Berita ini merupakan yang terakhir yang dikirimkan dari Merak. Isinya laporan kepada Kepala Jawatan Pelabuhan di Betawi, bahwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus dan keesokan harinya sebagian Merak yang rendah letaknya, Pecinan, jalan kereta api, tergenangi; jembatan berlabuh dan teluk tempat pengambilan batu untuk pelabuhan rusak; jembatan dari derek-derek masih di tempat saat itu, tetapi gerbong-gerbong sudah masuk laut.

Baca Juga : (Video) Hebat, Cerebral Palsy Tak Menghalangi Komedian Ini untuk Berpetualang Naik Gunung Berapi

Sekitar pukul sembilan pagi Pechler berada di kaki sebuah bukit di luar Merak. Tiba-tiba ia ditimpa hujan lumpur dan badai. Ia melihat gelombang air mendekat, sehingga ia lari tunggang langgang ke atas bukit, tetapi sebelum ia mencapai puncaknya ia sudah terkejar air pasang.

Apa yang terjadi setelah itu ia tak tahu lagi. Keesokan harinya ia baru siuman kembali. Tempat sekitarnya sudah kering, tetapi ia tak dapat mengenali sekelilingnya karena sangat gelap. Pada hari Selasa ia baru bisa berjalan kembali ke Merak.

Di tengah jalan ia melihat sebuah lokomotif yang rusak parah, sekitar 500 m dari tempat berhentinya. Di Merak ia tak menemukan apa-apa lagi. Bahkan mayat pun tak dijumpainya ... semuanya telah dihanyutkan ke laut.

Di antara petugas pemerintah di Merak hanya Pechler dan seorang insinyur bernama Nieuwenhuis yang selamat, karena sedang bepergian ke Batavia. Waktu insinyur itu kembali ke Merak, rumahnya yang dibangun di atas bukit setinggi 14 m tinggal lantainya saja.

Baca Juga : 7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi

Artikel Terkait