Find Us On Social Media :

Hari Batik Nasional: Batik Bekonang, Lahir Karena Rakyat Tidak Boleh Memakai Batik Bermotif Sama dengan Keraton

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 2 Oktober 2018 | 21:20 WIB

Intisari-Online.com – Batik bekonang pernah berjaya pada 1920-an, jauh sebelum batik lain khas Surakarta (Solo) dan sekitarnya terkenal. Awalnya diniatkan sebagai bentuk pemberontakan terhadap kekangan dan larangan yang diterapkan oleh Kasunanan Surakarta.

Mari kita simak tulisan Kusumasari Ayuningtyas tentang Batik Bekonang seperti dalam tulisan Bangkitnya Batik Bekonang, Batik Perlawanan Rakyat, yang dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2015.

Batik bekonang. Nama ini memang jarang terdengar dan tidak sepopuler batik-batik lain,  terutama jika dibandingkan dengan batik laweyan, batik bayat, juga batik solo yang merupakan adaptasi dari batik Keraton Kasunanan Surakarta.

Tapi siapa sangka, batik produk sebuah kecamatan di Surakarta yang lebih dikenal dengan industri ciu (minuman keras) rumahan itu pernah mencapai masa kejayaan pada 1920-an, 50 tahun lebih dulu ketimbang batik di Kampung Batik Laweyan yang mulai dikenal tahun 1970.

Baca Juga : Hari Batik Nasional: Selain Batik, Ini 5 Hal di Indonesia yang Dianggap Sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO

Batik bekonang lahir karena adanya berbagai larangan bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah untuk mengenakan batik dengan motif yang sama dengan batik keraton.

Kemunculannya didasari semangat pemberontakan untuk lepas dari kekangan kelas-kelas masyarakat yang pada saat itu diwujudkan dengan membedakan motif batik, antara yang dikenakan bangsawan dengan rakyat jelata.

Falsafah sederhana

Sebenarnya motif batik bekonang tidak jauh berbeda dari motif batik keraton yang saat ini masih diproduksi di Kampung Batik Laweyan. Batik bekonang memiliki ciri khas pada warna sogan yang lebih gelap dari umumnya batik dari Solo dan sekitarnya.

“Batik bekonang dan batik Solo sama-sama berwarna sogan, tetapi batik bekonang lebih ke merah sementara warna batik Solo lebih ke kuning,” ujar Satrio Joeli Wiyoto, seorang pengusaha batik bekonang.

Baca Juga : Hari Batik Nasional 2018: Ini Motif Batik yang Hanya Boleh Dipakai Oleh Raja, Rakyat Biasa Dilarang Pakai!

Soal motif, batik bekonang memang mengadaptasi batik Keraton Kasunanan Surakarta. Tidak mirip dan terlihat jelas bedanya. Motif batik bekonang tidak sehalus batik Solo. Misalnya dalam motif batik liris.

Motif batik liris pada batik bekonang diisi dengan bunga-bunga, sedangkan motif batik liris dari Keraton Surakarta hanya liris dan tidak ada bunga. Selanjutnya, dalam hal ceceg-ceceg atau isian titik-titik pada motif batik bekonang tidak serapat ceceg-ceceg dalam batik keraton.

“Motifnya memang mengacu pada motif Keraton, tapi tidak boleh sama sehingga diberi isian dan biasanya bunga karena ini mengarah pada alam,” ujar Satrio.

Satrio mencontohkan motif kawung. Motif kawung pada batik keluaran Keraton Kasunanan Surakarta bentuknya lonjong dan dihias dengan empat titik di tengahnya.

Baca Juga : Hari Batik Nasional: Pitung, Ondel-ondel, dan Monas dalam Corak Batik Betawi yang Sempat Menghilang

Ini sesuai dengan falsafah empat penjuru mata angin. Pada motif kawung batik milik Keraton Yogyakarta, misalnya, bentuknya lebih bulat dengan diisi dua motif menyerupai simbol “plus” yang menyatu. Dasar filosofisnya, setiap titik kehidupan yang dilalui manusia memiliki tujuan yang sama.

Sedangkan pada batik bekonang, motif kawungnya lebih menyerupai biji kopi, yaitu bulat dan seperti ada garis pemisah di tengahnya, menampakkan dua belahan lingkaran yang dijajarkan. Di dalam setiap belahan diisi satu titik. Falsafahnya adalah keanekaragaman alam.

Begitu sederhananya batik bekonang, baik dalam motif maupun falsafah, sehingga batik ini juga memiliki nama lain, yaitu batik sri gunung. Idiom Sri Gunung digunakan untuk menunjuk sesuatu yang indah kalau dilihat dari jauh.

Padahal dari dekat kelihatan sangat bersahaja. Dibandingkan dengan batik lain, apalagi batik keraton, batik bekonang sangatlah sederhana. Baik dalam corak, motif, atau proses pewarnaannya.

Baca Juga : Hari Batik Nasional: Ini Alasan UNESCO Mengakui Batik Sebagai Milik Indonesia, Bukan Malaysia

Langkanya pembatik muda

Lama terbenam, kini batik bekonang kembali diangkat ke permukaan, kembali dipopulerkan. Diungkapkan oleh Satrio yang juga seorang desainer yang konsisten mengangkat dan melestarikan batik bekonang, 28 Februari 2012 menjadi awal bangkitnya batik itu dengan digelarnya sebuah kegiatan bertajuk “Eco-life Batik Bekonang”.

Sejak itu batik bekonang mulai dikenal lagi dan banyak dicari. Dituturkan oleh Satrio, dibandingkan dengan saat pertama kali berkecimpung dalam industri batik bekonang sekitar satu dekade lalu, sekarang batik bekonang mengalami banyak perubahan yang menggembirakan.

Bahkan tidak hanya di pasar batik lokal dan nasional, saat ini batik bekonang sudah merambah Malaysia, Singapura, dan Dubai.

Semua itu tak lepas dari pelbagai inovasi yang dilakukan oleh para pengusaha batik bekonang, termasuk Satrio. Satu inovasi yang saat ini gencar dilakukan adalah mengembangkan pewarnaan nyolet yang sebelumnya tidak pernah ada pada batik bekonang.

Baca Juga : Mengapa Tanggal 2 Oktober Dipilih Menjadi Hari Batik Nasional?

Nyolet adalah sebuah proses pewarnaan pada bagian tertentu pola yang dilakukan dengan menyapukan zat pewarna. Dengan nyolet, muncullah beraneka ragam warna, tidak lagi hanya warna sogan kemerahan seperti sebelumnya.

Batik bekonang dengan variasi nyolet dan warna-warna modern memang disukai masyarakat kelas menengah. Namun, masyarakat kelas atas dan mancanegara rupanya tetap lebih menyukai warna aslinya, sogan kemerahan.

Ada masalah besar yang kalau tidak teratasi akan menghambat kebangkitan batik bekonang, yaitu regenerasi pembatik.

Memang, dibandingkan dengan 10 tahun lalu yang jumlah pengusaha batik bekonang tak sampai 10 orang, saat ini cukup banyak wirausahawan yang tergerak membangkitkan kembali batik itu.

Baca Juga : 7 Promo Hari Batik Nasional: Dari Diskon Makanan hingga Voucher Service Motor

Masalahnya,  tenaga pembatiknya yang langka. Tidak hanya jumlahnya yang sedikit, usia mereka pun sudah tua, rata-rata di atas 70 tahun.

Mereka memang tidak kesulitan saat harus membatik berbagai motif batik bekonang asli karena sudah sangat hafal. Tetapi teknik menggambar mereka tidak bisa diarahkan seperti keinginan para pengusaha yang menuntut kerapian.

Selain itu, para pembatik itu kebanyakan  bekerja hanya ketika mereka merasa punya waktu. Sebagian besar, dan bisa dikatakan hampir semuanya, lebih mengutamakan kerja sebagai buruh tani saat musim tanam.

Baca Juga : Modal Uang Sumbangan Tamu Undangan, Pasangan ini Sukses Bangun 9 Showroom Batik di Seluruh Indonesia

“Ketika permintaan pasar tinggi, justru kita yang kesulitan memenuhi,” ujar Satrio yang mempekerjakan 14 pembatik dan enam orang yang bertugas menembok atau membubuhkan cairan malam serta merontokkannya ketika proses pewarnaan sudah selesai.

Regenerasi pembatik di Bekonang bukan hal yang mudah untuk direalisasikan. Karena itu berarti harus mengajarkan motif demi motif dari ratusan motif yang ada.

Adakah generasi muda yang berminat, atau dunia pendidikan, atau pemerintah ingin ikut melestarikan?

Semoga batik bekonang tak hanya bangkit kembali lalu mati, namun tetap lestari.

Baca Juga : Memanjakan Mata dengan Batik Solo, Jangan Lupa Borong Batiknya!