Find Us On Social Media :

Hari Batik Nasional: Batik Bekonang, Lahir Karena Rakyat Tidak Boleh Memakai Batik Bermotif Sama dengan Keraton

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 2 Oktober 2018 | 21:20 WIB

Semua itu tak lepas dari pelbagai inovasi yang dilakukan oleh para pengusaha batik bekonang, termasuk Satrio. Satu inovasi yang saat ini gencar dilakukan adalah mengembangkan pewarnaan nyolet yang sebelumnya tidak pernah ada pada batik bekonang.

Baca Juga : Mengapa Tanggal 2 Oktober Dipilih Menjadi Hari Batik Nasional?

Nyolet adalah sebuah proses pewarnaan pada bagian tertentu pola yang dilakukan dengan menyapukan zat pewarna. Dengan nyolet, muncullah beraneka ragam warna, tidak lagi hanya warna sogan kemerahan seperti sebelumnya.

Batik bekonang dengan variasi nyolet dan warna-warna modern memang disukai masyarakat kelas menengah. Namun, masyarakat kelas atas dan mancanegara rupanya tetap lebih menyukai warna aslinya, sogan kemerahan.

Ada masalah besar yang kalau tidak teratasi akan menghambat kebangkitan batik bekonang, yaitu regenerasi pembatik.

Memang, dibandingkan dengan 10 tahun lalu yang jumlah pengusaha batik bekonang tak sampai 10 orang, saat ini cukup banyak wirausahawan yang tergerak membangkitkan kembali batik itu.

Baca Juga : 7 Promo Hari Batik Nasional: Dari Diskon Makanan hingga Voucher Service Motor

Masalahnya,  tenaga pembatiknya yang langka. Tidak hanya jumlahnya yang sedikit, usia mereka pun sudah tua, rata-rata di atas 70 tahun.

Mereka memang tidak kesulitan saat harus membatik berbagai motif batik bekonang asli karena sudah sangat hafal. Tetapi teknik menggambar mereka tidak bisa diarahkan seperti keinginan para pengusaha yang menuntut kerapian.

Selain itu, para pembatik itu kebanyakan  bekerja hanya ketika mereka merasa punya waktu. Sebagian besar, dan bisa dikatakan hampir semuanya, lebih mengutamakan kerja sebagai buruh tani saat musim tanam.

Baca Juga : Modal Uang Sumbangan Tamu Undangan, Pasangan ini Sukses Bangun 9 Showroom Batik di Seluruh Indonesia

“Ketika permintaan pasar tinggi, justru kita yang kesulitan memenuhi,” ujar Satrio yang mempekerjakan 14 pembatik dan enam orang yang bertugas menembok atau membubuhkan cairan malam serta merontokkannya ketika proses pewarnaan sudah selesai.

Regenerasi pembatik di Bekonang bukan hal yang mudah untuk direalisasikan. Karena itu berarti harus mengajarkan motif demi motif dari ratusan motif yang ada.

Adakah generasi muda yang berminat, atau dunia pendidikan, atau pemerintah ingin ikut melestarikan?

Semoga batik bekonang tak hanya bangkit kembali lalu mati, namun tetap lestari.

Baca Juga : Memanjakan Mata dengan Batik Solo, Jangan Lupa Borong Batiknya!