Find Us On Social Media :

Pesawat yang Tiba-tiba Hilang dari Radar saat Melintasi Kalimantan Timur, Mungkinkah Disembunyikan Hantu?

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 26 September 2018 | 21:15 WIB

Intisari-Online.com – Pikiran itu pernah timbul ketika pesawat Twin Otter MNA Flight 416 hilang dalam penerbangan di Kaltim 30 Desember 1987. la membawa 13 penumpang dan 3 awak.

"Kebetulan saya terbang beriringan dengan pesawat naas itu. Pesawat itu hanya 12 menit di belakang saya," tulis Capt. Gunardjo.

Pengalamannya itu dikisahkan dalam tulisan Ternyata Bukan Disembunyikan Hantu, seperti dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1988.

Tengah hari tanggal 30 Desember 1987 tampaknya tidak ada yang istimewa di Pelabuhan Udara Temindung, Samarinda. Pesawat-pesawat MNA dan Bali Air (anak penisahaan Bouraq) yang melayani jalur penerbangan di kawasan itu sibuk bongkar muat dan mengisi bahan bakar.

Baca Juga : Pesawatnya Ditembak Jatuh Israel, Rusia Langsung Gelontorkan Sistem Pertahanan Udara Tercanggih untuk Suriah

Temindung ini walaupun lapangan terbang sebuah ibu kota provinsi, cuma memiliki landasan pacu sepanjang 900 m. Tempat parkimya cuma muat delapan pesawat. Itu pun berdesak-desakan.

Siang itu saya tinggal landas lebih dulu dari pesawat MNA Flight 416. Saya kenal pilotnya, Capt. Slamet, sejak masa konfrontasi dengan Malaysia tahun 1967. Waktu itu ia menerbangkan pesawat MIG-17 buatan Rusia.

Dalam pesawat Trislander  yang saya bawa hari itu ada tempat duduk untuk 16 orang. Dua di antara penumpang sebetulnya sudah memesan tempat di MNA, tetapi dibatalkan karena pesawat MNA 416 itu dikatakan sudah habis daya angkutnya.

Baca Juga : Ternyata Banyak Hal Konyol Selama Perang Dunia II: Ketika Pesawat Kayu Nazi Dilawan Bom Kayu Sekutu

Salah seorang dari mereka yang batal naik MNA itu saya kenal sebagai pemilik sebuah penginapan di Berau.

Hari itu saya terbang tanpa co-pilot. Cuaca cukup cerah. Mendekati garis khatulistiwa, kira-kira di sebelah barat Tanjung Santan, saya lihat tanda-tanda cuaca akan buruk. Di depan terdapat Garis Badai Guntur atau Aquall Line berupa benteng-benteng awan raksasa berwarna kelabu kehitaman.

Puncak-puncaknya tinggi sekali, lebih dari 40.000 kaki. Jelas tidak terdaki oleh pesawat kami yang saat itu terbang di ketinggian 7.000 kaki.

Kilat menyambar-nyambar seperti ribuan lampu blitz. Saya lihat angin bergerak dari Barat Daya menuju ke Timur Laut, ke arah Selat Makassar. Garis pantai selat itu terletak kira-kira 20 mil dari pesawat kami.

Baca Juga : Sudah Beli Tiket Penumpang Ini Tak Kebagian Kursi di Pesawat, Begini Tanggapan Lion Air

Karena gelombang-gelombang awan raksasa yang ditiup angin kencang itu membawa hujan besar dan geledek, hati saya kecut. Daripada diterkam badai, saya putuskan untuk menghindar ke kiri (Barat) sampai di kompas terbaca 270.

Untuk menghadapi cuaca buruk, ada beberapa cara. Yang bisa dilakukan ialah: bertahan pada ketinggian tertentu, mengurangi kecepatan untuk mengurangi bantingan aliran vertikal, lalu menghindari daerah aktif menuruti sinyal-sinyal di layar radar.

Namun, pesawat kecil biasanya tidak dipasangi radar, jadi hanya mengandalkan keterampilan penerbang.

Saya turun terus sampai di bawah 1.000 kaki, yaitu sampai terlihat apa yang ada di bawah awan raksasa. Saya kenal betul medan di sini, sebab setiap hari dua kali saya melewatinya.  Rute kami yang biasa ialah: Tarakan-Berau-Samarinda-Berau-Tarakan-Tawau (Malaysia Timur)-Tarakan.

Baca Juga : Dijadikan 'Tameng' oleh F-16 Israel, Pesawat Rusia Jatuh Tertembak Rudal Suriah

Daerah yang bergunung-gunung masih kira-kira 100 km lagi ke arah utara, jadi tidak ada kekhawatiran akan menabrak bukit.

Kami kini berada di bawah awan-awan Charlie Bravo atau cumulo nimbus. Hujan deras turun disertai angin kencang sehingga  pesawat terombang-ambing. Saya mencoba terbang lebih rendah lagi untuk menghindarkan diri dari curahan air yang seperti air terjun. Saya terbang ke sebelah barat, kira-kira 15 mil dari lintasan yang betul.

Pesawat melintasi daerah sebelah timur Muara Wahau, melalui ratusan kilometer hutan belantara tanpa penghuni. Ada bekas-bekas kamp penebangan kayu yang telah lama ditinggalkan.

Selama itu saya memantau komunikasi pada SSB Frekuensi 6554 BERAU RADIO. Saya  mengetahui di Berau cuacanya bagus, tidak ada lalu-lintas pesawat dari arah yang berlawanan. Pemantauan saya lakukan terus-menerus sejak lima menit setelah lepas landas dari Temindung.

Baca Juga : Tak Melulu Tragis, Kecelakaan Pesawat Juga Bisa Punya Kisah Lucu, Salah Satunya Jatuh di Tengah Hajatan

Sekitar waktu itu saya dengar Merpati 416 memanggil-manggil BERAU RADIO, mengatakan pesawat itu bertahan pada ketinggian 7.000 kaki dan memberikan ancar-ancar kedatangan (ETA) di Berau pada pukul 0680 Z (GMT) atau waktu setempat pukul 14.08.

Saya memanggil-manggil Merpati 416 itu, untuk mengatakan bahwa cuaca di bawah sini agak lumayan, tetapi tidak ada jawaban. Barangkali saat itu pesawat itu sudah masuk ke dalam cuaca buruk, dibanting oleh aliran vertikal yang dahsyat.

Dari tempat itu pesawat saya tujukan lagi haluannya ke arah Berau. Jauh di sebelah utara sana saya lihat titik terang. Cahaya sekecil itu sudah lebih dari cukup untuk memberi harapan di dalam badai begini.

Bukit 2297 yang menandai "pintu masuk" ke lembah Sungai Kelai telah nampak jauh di kaki langit. Lembah ini biasa kami lintasi waktu cuaca buruk. Ketinggian medannya tidak melebihi 1.500 kaki.

Baca Juga : Cuaca Buruk dan Medan Bergunung, 'Hantu' yang Selalu Memicu Kecelakaan Pesawat Terbang di Papua

Kalaupun kami mengalami naas, umpamanya mesin salah satu mati dan tidak mampu mempertahankan ketinggian, kami akan tetap dapat terbang sepanjang lembah ini dengan aman menuju Berau.

Setelah terbang lebih dari 100 km di atas hutan kosong yang tidak berpenduduk, maka sampailah pesawat di tempat sungai bercabang atau di hulu Sungai Kelai. Di situ terletak sebuah kampung orang Dayak Puhan yang terletak jauh dari mana-mana.

Kalau kita terbang terus ke arah hilir, maka akan terlihat beberapa kampung orang Dayak itu, lalu sebuah kamp penebangan kayu. Kemudian sungai ini akan bertemu dengan induknya, yaitu Sungai Berau yang memiliki sebuah landasan kecil sepanjang 700 m. Itulah tujuan kami.

Navigasi udara dengan menuruti sungai ini sering diledek navigasi kampungan IFR (I follow the river). Tetapi berpuluh kali saya lepas dari bahaya dengan cara ini.

Baca Juga : Ini yang Harus Dilakukan agar Bertahan Hidup ketika Terjadi Kecelakaan Pesawat di Daerah Terpencil

Saya mendarat dengan mulus di Berau.

Ternyata pesawat MNA 416 yang seharusnya datang dua belas menit di belakang saya, tidak kunjung tiba.

Cuaca di daerah perbukitan kira-kira dari 1° Lintang Utara dan seterusnya sampai Berau betul-betul bagus. Tidak lama kemudian saya berangkat menuju Tarakan.

Malam itu, waktu sedang istirahat di mess Bouraq di Tarakan, saya diberi tahu lewat telepon dari Samarinda. Siang tadi pesawat MNA dengan nomor penerbangan 416 telah hilang.

Baca Juga : Alami Kecelakaan Pesawat 50 Tahun Lalu, Jasad Tentara India Ini Ditemukan di Himalaya

Petang tadi telah dikirim pesawat lain untuk memeriksa landasan-landasan terbang sepanjang jalur Samarinda — Berau, yaitu Tanjung Santan, Bontang, Sangatta, Bungalon, Sangkulirang dan Berau, tetapi tidak dijumpai pesawat itu di sana.

Lama saya terpaku di situ tanpa bisa berkata apa-apa. Pikiran saya hanya satu: Pesawat itu pasti jatuh ketika siang tadi bersama kami menerjang badai guntur yang hebat sekali ....

Tempatnya juga pasti di antara garis khatulistiwa dan 1° Lintang Utara. Di sebelah utara 1°, di bukit-bukit cuacanya baik. Kata-kata saya mengenai posisi ini direkam oleh TVRI dua hari kemudian.

Saya berharap agar hari lekas siang. Sebelum pukul 08.00 keesokan harinya saya sudah terbang lagi menuju Berau dan Samarinda.

Baca Juga : Ngeri, Ini 5 Kecelakaan Pesawat Paling Tragis di Indonesia, Salah Satunya Karena Pilot Sengaja Bunuh Diri

Di sepanjang jalur terbang itu saya terbang rendah sambil mencoba melihat tanda-tanda kehidupan di bawah sana dan memantau 121.5, yaitu International Distress Frequency, untuk mendengar-dengar sinyal yang dipancarkan oleh CRASH BEACON (ELT).

Yaitu suatu alat yang memancarkan sinyal secara automatis setelah terempas, waktu pesawat jatuh. Bunyinya mirip raungan sirene mobil ambulans. Tetapi sepi-sepi saja. Dugaan saya ELT di pesawat itu tidak berfungsi karena baterainya habis atau di pesawat itu tidak dipasang ELT.

Beberapa menit sebelum tiba di Samarinda saya dengar pesawat pencari yang pertama lepas landas. Dengan membawa seorang paranormal, pesawat itu terbang menuju ke Gunung Nyapa, yang terletak di pintu keluar lembah Sungai Kelai.

Kabarnya pesawat yang hilang itu disembunyikan oleh hantu-hantu di sana. Masya Allah!  Setahu saya Gunung Nyapa itu cuacanya terang benderang kemarin siang, pilot mana yang mau menabrak gunung begitu.

Empat bulan kemudian pesawat malang itu diketemukan secara kebetulan. la sudah hancur berkeping-keping, tidak jauh dari garis lintang 1°. Karena kecilnya kepingan itu sulit dilihat dari udara!

Akan hal saya, masih tetap terbang di situ-situ saja, terbanglah sesekali bersama kami ....

Baca Juga : 3 Hari Sebelum Kecelakaan Pesawat DC-10, Seorang Pria Sudah Melaporkan ‘Ramalannya’ ke Petugas Bandara