Find Us On Social Media :

Imigran Kerap Dituding Sebagai Biang Keresahan Eropa, Padahal Belum Tentu Benar!

By K. Tatik Wardayati, Senin, 24 September 2018 | 10:45 WIB

Mereka seperti dipaksa memikirkan kembali kebebasan individu yang menjadi ciri Eropa, yang oleh pendatang justru dimanfaatkan. Para pendatang bebas menunjukkan budayanya sendiri karena tak ada orang lain yang melarang, apalagi negara.

Termasuk dalam kehidupan beragama. Eropa, lapor EU Times edisi 13 Juli 2010, menjadi kurang Eropa karena migrasi massal.

Dengan cepat jumlah pendatang mempengaruhi komposisi dan demografi penduduk, dan ujung-ujungnya adalah mengurangi kemakmuran. Gavin Hewitt, editor Eropa BBC menyatakan, di Italia pengangguran kaum muda mencapai 25%.

Baca Juga : Lewat 'Vespa Tank', Lulusan SMP Ini Mampu Menembus Pasar Eropa

Di seluruh Eropa, pengangguran mencapai 24 juta orang. Pemerintah dipaksa memikirkan ulang sistem kesejahteraan negara dan bangsa, juga harus merumuskan kembali kebijakan perpajakan dan distribusi kemakmuran.

Sebab banyak hal semacam biaya pendidikan dan kesehatan yang sampai tahun 1990-an masih gratis, kini tak bisa lagi.

Ya, orang berpikir bahwa semua itu akibat dari arus migrasi yang tidak terbendung. Di beberapa negara Eropa Barat dan Skandinavia imigran mencapai angka 11-14%, di Swiss mencapai 23%. Memang, yang dari Afrika maupun Asia, dan kebanyakan dari negara-negara Islam, hanya di bawah 5%.

Tapi itu dianggap meresahkan, apalagi dalam Islam budaya dan ritual keagamaan menjadi satu, sangat berbeda dengan konsep budaya dan agama kebanyakan orang Eropa. Bahkan dianggap bertentangan.

Baca Juga : Inilah Buku Pedoman Rusia untuk Mendominasi Dunia, Memecah Belah Eropa, dan Menumbangkan Amerika

Maka pemerintah Swiss melarang masjid menggunakan menara, pemerintahan Prancis melarang perempuan menggunakan burqa di tempat umum, dan Angela Merkel pada Oktober 2010 mengatakan bahwa multikulturalisme Jerman telah gagal.

Konsep multikulti, hidup berdampingan secara damai dan bahagia, kata Merkel, tidak bisa jalan karena kebanyakan imigran enggan menjadi bagian integral bangsa – termasuk belajar bahasa Jerman.

Kebanyakan imigran, ditambahkan oleh sebuah lembaga think-tank di bawah Friedrich Ebert Foundation, datang ke Jerman untuk mengambil keuntungan secara sosial belaka.