Penulis
Intisari-Online.com – Beban ekonomi yang makin berat menyebabkan Eropa tak sempat lagi menularkan nilai-nilai dasar kepada pendatang. Mereka dibiarkan mengembangkan sendiri nilai-nilai yang dibawa dari tempat asalnya.
Ketika pendatang makin banyak, benturan nilai makin terasa. Mereka yang merasa warga asli resah dan bahkan merasa terancam.
Tulisan Mayong Suryo Laksono ini menggambarkan ketika banyak kerusuhan terjadi di Eropa. Mari kita simak tulisannya, Eropa yang Kian Resah oleh Imigran, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 2011.
--
Sejak Uni Soviet bubar dan Eropa Timur tercerai-berai, arus migrasi ke Eropa Barat sudah dimulai. Bahkan di Italia dikenal istilah “Orang Roma” untuk menunjuk para imigran dari pecahan Yugoslavia dan beberapa negara Eropa Timur lainnya.
Baca Juga : Fakta Sejarah yang Disembunyikan: Hitler Secara Terbuka Lakukan Upaya Perdamaian di Eropa tapi Ditolak
Tapi yang belakangan makin terasa adalah arus imigran dari Asia (Barat-Tengah) dan Afrika (Utara), terutama negara-negara Islam seperti Maroko, Aljazair, Tunisia, Turki, Afghanistan, Pakistan, dll.
Semula dipahami sebagai upaya alamiah sebuah bangsa untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negara lain. Namun setelah bangsa-bangsa itu menganggap bahwa bermigrasi ke Eropa satu-satunya jalan menuju kehidupan yang lebih baik, yang terjadi adalah gelombang pengungsi dan pendatang. Negara-negara Eropa lantas merasa terbebani.
Orang-orang “Roma” di Italia yang bertahun-tahun tak masalah tinggal di permukiman liar, tiba-tiba menjadi gangguan. Kegiatan keagamaan pendatang dari Afrika Utara dan Timur Tengah, yang sebelumnya tidak masalah, tiba-tiba dipersoalkan karena jumlahnya makin banyak sehingga dianggap mengancam nilai-nilai Eropa.
Multikulturalisme gagal
Eurobaromoter Research yang diprakarsai Uni Eropa dalam laporan berjudul The European Citizens and the Future of Europe (2006) menyimpulkan, orang Eropa risau akan banyaknya imigran.
Baca Juga : 10 Kota dengan Orang Kaya Terbanyak di Dunia Dikuasai Amerika dan Asia, Bagaimana Nasib Eropa?
Mereka cemas akan kelangsungan negara mereka, cemas akan masa depannya. Dalam laporan itu juga dijelaskan, perdebatan negara-negara Eropa tentang imigran sudah ada sejak tahun 1990-an.
Mereka seperti dipaksa memikirkan kembali kebebasan individu yang menjadi ciri Eropa, yang oleh pendatang justru dimanfaatkan. Para pendatang bebas menunjukkan budayanya sendiri karena tak ada orang lain yang melarang, apalagi negara.
Termasuk dalam kehidupan beragama. Eropa, lapor EU Times edisi 13 Juli 2010, menjadi kurang Eropa karena migrasi massal.
Dengan cepat jumlah pendatang mempengaruhi komposisi dan demografi penduduk, dan ujung-ujungnya adalah mengurangi kemakmuran. Gavin Hewitt, editor Eropa BBC menyatakan, di Italia pengangguran kaum muda mencapai 25%.
Baca Juga : Lewat 'Vespa Tank', Lulusan SMP Ini Mampu Menembus Pasar Eropa
Di seluruh Eropa, pengangguran mencapai 24 juta orang. Pemerintah dipaksa memikirkan ulang sistem kesejahteraan negara dan bangsa, juga harus merumuskan kembali kebijakan perpajakan dan distribusi kemakmuran.
Sebab banyak hal semacam biaya pendidikan dan kesehatan yang sampai tahun 1990-an masih gratis, kini tak bisa lagi.
Ya, orang berpikir bahwa semua itu akibat dari arus migrasi yang tidak terbendung. Di beberapa negara Eropa Barat dan Skandinavia imigran mencapai angka 11-14%, di Swiss mencapai 23%. Memang, yang dari Afrika maupun Asia, dan kebanyakan dari negara-negara Islam, hanya di bawah 5%.
Tapi itu dianggap meresahkan, apalagi dalam Islam budaya dan ritual keagamaan menjadi satu, sangat berbeda dengan konsep budaya dan agama kebanyakan orang Eropa. Bahkan dianggap bertentangan.
Baca Juga : Inilah Buku Pedoman Rusia untuk Mendominasi Dunia, Memecah Belah Eropa, dan Menumbangkan Amerika
Maka pemerintah Swiss melarang masjid menggunakan menara, pemerintahan Prancis melarang perempuan menggunakan burqa di tempat umum, dan Angela Merkel pada Oktober 2010 mengatakan bahwa multikulturalisme Jerman telah gagal.
Konsep multikulti, hidup berdampingan secara damai dan bahagia, kata Merkel, tidak bisa jalan karena kebanyakan imigran enggan menjadi bagian integral bangsa – termasuk belajar bahasa Jerman.
Kebanyakan imigran, ditambahkan oleh sebuah lembaga think-tank di bawah Friedrich Ebert Foundation, datang ke Jerman untuk mengambil keuntungan secara sosial belaka.
Berkembang menjadi xenophobia
Januari 2005, Joe Johnson sudah mengingatkan akan bahaya radikalisasi para pendatang, dan itu tidak hanya dalam kehidupan beragama. Radicalisation of Immigrants in Europe (2005) berisi tesis harapan yang besar para pendatang terhadap negara baru namun mereka tak memiliki kapasitas yang cukup untuk mencapai kemakmuran.
Baca Juga : Urung Taklukkan Eropa, Alasan Pasukan Mongol Pilih Mundur Akhirnya Terungkap
Di sisi lain, ekspresi keagamaan yang tak bisa dikekang oleh negara menyebabkan euforia berkelanjutan. Sementara dalam kondisi nyata, hidup memerlukan kompetisi dan di negara baru pun survivalitas juga bukan hal yang mudah. Faktor-faktor semacam itu bisa menyebabkan frustrasi dan memunculkan radikalisasi.
Sebaliknya, bagi mereka yang merasa sebagai warga asli, para pendatang bagaikan ancaman bagi dominasi mereka. Bahkan timbul ketakutan berlebihan bahwa mereka akan tergulung oleh arus kuat para pendatang.
Di Belanda ada Geert Wilders, pemimpin Freedom Party yang memusuhi imigran Islam. Di Norwegia ada Siv Jensen Iman tentara ke Afganistan. Ada pula individu sayap kanan seperti Paul Ray yang suka memanaskan suasana lewat tulisan-tulisan di blognya.
Itu semua, langsung ataupun tidak, kemudian memicu perilaku ekstrem. London Timur meledak oleh kerusuhan dan penjarahan karena dipanasi oleh pertentangan kelas antara pendatang dan penduduk asli.
Baca Juga : Walau Alami Krisis Ekonomi, Turki Masih Jadi Salah Satu Militer Terbesar di Eropa
Di Oslo, Anders Behring Breivik memberondong para pekemah dengan tembakan demi alasan pemurnian kembali nilai-nilai Norwegia. Atas fakta-fakta itu, Sigmar Gabriel, Ketua Partai Sosial Demokrat Jerman, mengatakan,
“Kekekerasan di Oslo meledak seiring dengan kuatnya materialisme sekaligus kecenderungan xenophobia karena orang merasa terancam oleh kuatnya arus pendatang. Dalam masyarakat yang terpepet oleh banyak masalah, selalu muncul ekstremis, yaitu seseorang yang merasa berhak menghukum siapa pun yang dianggap salah.”
Nilai-nilai Eropa
Kejadian-kejadian ekstrem seperti di London dan Oslo memang menyentakkan kesadaran dunia, memberi gambaran bahwa Eropa yang maju dalam peradaban bisa jatuh ke titik nadir.
Tapi itu sekaligus memberi bukti bahwa proses multikulturalisme bukanlah perkara sederhana, dan penolakan terhadap pendatang bisa mencapai tingkatan yang tidak masuk akal manusia normal.
Baca Juga : 'Hanya' Terima 1.000 Imigran Yahudi Asal Etiopia, Israel Dianggap Diskriminatif
Eropa harus berpikir ulang akan kebijakan menerima pendatang. Beberapa negara serius menangani hal itu meski rakyatnya sendiri ada yang tak setuju. Prancis, misalnya, menerapkan tes DNA bagi warga negara imigran yang akan mengajak bergabung kerabatnya dari negara asal.
“Imigrasi adalah masalah abad ke-21 Eropa,” kata Thierry Mariani, anggota DPR dari Uni Gerakan Populer yang juga pemrakarsa Undang-undang Tes DNA.
Tapi upaya itu, termasuk dibentuknya Kementerian Imigrasi dan Identitas Nasional oleh Presiden Sarkozy, ditentang oleh sejarawan Universitas Sorbonne Patrick Weil. “Kebijakan Sarkozy sangat diwarnai sentimen antikulit hitam dan anti-Islam. Padahal seharusnya hukum tidak berpihak, hukum tidak boleh mendasarkan pada asal-usul seseorang,” katanya.
Sinyalemen Weil cukup berdasar jika kita melihat kebijakan negara-negara lain Eropa membuat peraturan yang membatasi imigran. Menurut para ahli, target semua peraturan itu bukanlah imigran dari mana-mana, melainkan orang-orang dari Afrika dan Arab-Muslim.
Baca Juga : Kemenangan Perancis, Kemenangan Para Imigran: Saat Diskriminasi 'Dibalas' dengan Prestasi
Buku karangan Christopher Caldwell, Reflections and the Revolutions in Europe: Immigration, Islam, and the West (2009) juga memberi penekanan bahwa Islam memiliki potensi besar untuk menggusur nilai-nilai Eropa.
Apakah nilai-nilai Eropa itu? Sekularisme, toleransi, dan kesamaan derajat. Masalahnya, ketika para imigran datang, Eropa tidak memberikan nilai-nilai itu. Para pendatang dibiarkan mengembangkan sendiri nilai-nilai yang mereka bawa dari tempat asalnya, dan tidak ada satu pihak pun yang boleh membatasi.
Sekarang, ketika kehidupan makin sulit dan kemakmuran Eropa terancam, dengan entengnya jari ditudingkan kepada para pendatang itu. Tak sepenuhnya benar, tentu saja.
Baca Juga : Disebut sebagai Negara Imigran, Inilah 5 Fakta Amerika Serikat yang Perlu Diketahui