Find Us On Social Media :

Israel Sudah Terbiasa Meneror: Begitulah Cara Awal Mereka untuk Mendirikan Negara!

By Intisari Online, Minggu, 16 September 2018 | 16:15 WIB

Intisari-Online.com - Perang Dunia II yang sedang berkorbar sebenarnya secara tak sengaja “menyatukan” warga Yahudi dan Arab Palestina.

Banyak warga Yahudi yang bergabung dengan militer Inggris dan warga Arab yang tergabung ke dalam pasukan Legiun Arab bertempur bersama pasukan Sekutu dan Inggris untuk melawan Nazi Jerman.

Dalam PD II ini sekitar enam juta orang Yahudi telah menjadi korban pembunuhan massal (holocoust) oleh pasukan Nazi Jerman.

Pasca PD II kisah tentang holocoust kaum Yahudi itu telah membuat pasukan Sekutu merasa bersalah karena tidak bisa melakukan pencegahan.

Baca Juga : Selangkah Lagi Israel akan Jadi Negara Superpower Militer di Dunia, Ini Syaratnya

Negara-negara Eropa dan AS yang pasukannya tergabung dalam pasukan Sekutu menyadari jika peran orang Yahudi dalam PD II juga cukup besar.

Misalnya saja, sejumlah tokoh Yahudi merupakan perancang dan pembuat bom atom sehingga akibat ledakan bom atom di Jepang, PD II lebih cepat selesai.

Selain itu keberadaan warga Yahudi yang tercerai berai akibat PD II juga memusingkan negara-negara Eropa pemenang perang karena banyaknya warga Yahudi yang minta suaka.

Untuk mengatasi warga Yahudi yang domisilinya tak jelas itu, negara-negara Eropa kemudian mendukung berdirinya negara Yahudi di Palestina.

Sikap negara-negara Eropa itu merupakan langkah cuci tangan karena tak mau dipusingkan oleh keberadaan warga Yahudi lagi.

Jika mereka sudah memiliki negara yang jelas upaya untuk memulangkan warga Yahudi yang tercerai-berai pun menjadi lebih mudah.

Inggris yang masih menghadapi dilema dan masih kesulitan untuk melaksanakan Desklarasi Balfour, yang bertujuan menyelesaikan masalah kaum Yahui dan Arab secara adil jelas menjadi pusing.

Pemerintah Inggris di Palestina sendiri berusaha membatasi masuknya orang Yahudi ke Palestina karena khawatir terhadap reaksi keras warga Arab.

Tapi warga Yahudi tetap berusaha memasuki Palestina melalui jalur penyelundupan. Selain itu warga Yahudi yang berada di Palestina juga terlanjur bertambah pesat.

Baca Juga : Membunuh Tanpa Suara, Salah Satu Materi Sekolah Anti Terorisme dan Komunisme di Amerika Serikat

Jika pada tahun 1917 warga Yahudi baru berjumlah 80.000 orang pada tahun 1947 telah berubah menjadi 600.000 orang.

Sedangkan penduduk Arab di Palestina berjumlah 1000.000 orang. Inggris berusaha keras menahan masuknya warga Yahudi ke Palestina meskipun mendapat kecaman dari negara-negara Eropa dan AS.

Pemerintah Inggris bahkan menolak permintaan Presiden AS Harry Truman agar saat itu bersedia menerima 100.000 orang Yahudi yang kehilangan tempat tinggal setelah PDII.

Tak ada pilihan lain bagi warga Yahudi yang berniat menuju Palestina kecuali lewat jalur penyelundupan, khususnya lewat jalur laut.

Tapi Angkatan Laut Inggris ternyata makin memperketat penjagaan dan berkali-kali mengusir orang Yahudi yang terus berupaya menyelundupkan diri.

Sikap keras pemerintah Inggris di Palestina ternyata mendapat perlawanan yang keras pula dari para kelompok militan Yahudi seperti Haganah, Irgun Zvai Leumi (Gerakan Militer Nasional) yang dipimpin Menachem Begin, dan Lahamei Herat Israel (Pejuang Kemerdekaan Israel).

Sejumlah teror pun makin gencar dilancarakan ke warga Arab dan pasukan Inggris sendiri.

Salah satu serangan teror yang membuat pasukan Inggris kelabakan adalah aksi peledakan Hotel King David yang merupakan markas pasukan Inggris di Yerusalem.

Baca Juga : Crazy Rich Surabayan Juga Suka Bersedekah, Ini Reaksi Kimia yang Terjadi pada Tubuh Saat Bersedekah

Sejumlah korban tewas dalam aksi peledakan itu adalah tentara Inggris dan warga sipil lainnya. Serangan mematikan ini sekaligus merupakan aksi teror yang spektakuler karena Markas Besar Pasukan Inggris yang dijaga ketat ternyata bisa diserang.

Pasukan Inggris pun bertindak tegas dengan cara menangkap para teroris Yahudi dan mengeksekusinya.

Tapi kelompok militan Yahudi ternyata membalas dengan cara yang sama. Mereka menculik dua tentara Inggris dan mengeksekusinya dengan cara digantung.

Kendati mendapatkan tindakan represif oleh militer Inggris, teror yang dilancarkan oleh militan Israel terus berlangsung dan makin tak terbendung.

Pemerintah Inggris di Palestina pun makin kewalahan dan akhirnya mengambil langkah politis yang secara tidak langsung sangat menguntungkan warga Yahudi.

Pada bulan Februari 1947 Menteri Luar Negeri Inggris, Ernest Bevin, mengumumkan bahwa Inggris akan menyerahkan persoalan Palestina kepada PBB.

Inggris bahkan akan mengembalikan mandatnya atas Palestina yang berakhir pada 14 Mei 1948. Pasukan Inggris di Palestina juga akan segera ditarik secara bertahap.

Setelah masalah Palestina diambil alih oleh PBB, langkah yang kemudian diambil PBB adalah membentuk komisi khusus untuk menyelesaikan masalah warga Yahudi dan Arab Palestina.

Komisi khusus itu pun kemudian memberikan rekomendasi yang materinya tidak berbeda jika dibandingkan dengan Deklarsi Balfour yang menyodorkan saran dibentuknya negara Israel dan Arab Palestina.

Baca Juga : Jai Singh, Raja India yang Gunakan Mobil Mewahnya untuk Mengangkut dan Membersihkan Sampah

Sementara Kota Yerusalem berada di bawah pengawasan perwalian internasional.

Rekomendasi itu pada bulan November 1947 disetujui oleh Majelis Umum PBB, termasuk disetujui juga oleh negara AS dan Uni Soviet, sedangkan Inggris sendiri menyatakan abstain.

Namun seperti dari awal, rekomendasi itu kembali ditolak oleh negara-negara Arab yang menentang pembagian wilayah Palestina tersebut karena dianggap tidak adil, khususnya bagi warga Arab-Palestina.

Akibat sikap tidak setuju dari negara-negara Arab itu potensi konflik antara warga Israel dan Arab Palestina jelas akan makin meningkat.

Apalagi sudah mulai dibentuk kelompok-kelompok perlawanan untuk menyerang warga Yahudi.

Usulan Komisi Khusus PBB yang sudah disetujui oleh Sidang Umum PBB pun mulai dijalankan dengan situasi yang mencerminkan semangat besar warga Yahudi untuk segera memiliki negara dan keengganan dari warga Arab Palestina.

Tapi proses pembagian dua wilayah yang akan dibatasi oleh tembok besar itu nantinya ternyata tidak berjalan mudah. Warga Yahudi sendiri mengalami kebingungan.

Pasalnya, kendati baik warga Yahudi maupun Arab Palestina tidak akur banyak yang tinggal dalam satu wilayah. Komisi khusus PBB jelas tidak bisa memberikan wilayah itu ke salah satu pihak saja karena dipastikan akan memicu konflik.

 Untuk mengatasi wilayah yang masih tumpang tindih itu Komisi Khusus akhirnya memutuskan pembagian wilayah Israel sebagai negara Yahudi itu meliputi wilayah dari utara ke selatan jaraknya kurang dari 400 mil.

Baca Juga : Pasukan Israel Menembak Mati 3 Orang Palestina, Termasuk Seorang Bocah 12 Tahun

Wilayah itu terdiri dari kawasan Galilea yang berbatasan dengan Suriah dan Libanon, jalur sepanjang pantai tengah tengah termasuk kota besar Tel Aviv yang kemudian jadi ibukota Israel, kota Jaffa, dan Haifa, serta gurun Najev yang cukup luas di wilayah selatan.

 Di wilayah itu masalah langsung timbul karena terdapat pemukiman warga Arab Palestina.

Di wilayah yang menjadi bagian warga Arab Palestina pun seperti Gaza, tepi barat sungai Yordan, dan kawasan utara yang berbatasan dengan Lebanon muncul masalah pelik.

Kawasan Arab ini mengelilingi Yerusalem, tempat sekitar 100.000 orang Yahudi tinggal sehingga warga Arab Palestina maunya juga mendapatkan kota Yerusalem yang sudah bersih dari orang Yahudi.

Tapi pada prinsipnya warga Arab Palestina yang mendapat dukungan dari negara-negara Arab tetap tidak menginginkan wilayah Palestina dibagi dua dan tidak mau mengakui berdirinya negara Israel.

Menyadari jika perseteruan bersenjata sewaktu-waktu bisa pecah, apalagi setelah pasukan Inggris meninggalkan Palestina, kedua belah pihak kini makin memperkuat pasukan-pasukan tempur yang dimiliki.

Dalam skala lokal kekuatan tempur baik warga Israel maupun Arab Palestina pun sudah sering bentrok dan menimbulkan korban jiwa.

Untuk mendapatkan persenjataan warga Israel berusaha meminta kepada pasukan Inggris yang memiliki banyak depo senjata .

Cara ini cukup efektif dengan perhitungan jika pasukan Inggris ditarik dari Palestina tidak semua persenjataan akan dibawa maka milisi Israel pun mendapat persenjataan yang memadai.

Sedangkan warga Arab Palestina mendapatkan persenjataan dari negara-negara Arab meskipun datangnya persenjataan yang sangat dibutuhkan perlu waktu cukup lama.

Baca Juga : Pertikaian Arab–Israel: Lahirnya Negara Israel dan Terjadinya Perang Arab-Israel

Warga Arab Palestina juga membentuk kelompok pertahanan seperti Najadu dan Futuwa serta pasukan-pasukan gerilya yang sudah berpengalaman dalam PD II.

Salah satu pimpinan kelompok gerilyawan yang kemudian menjadi tokoh besar dan menjadi buruan orang-orang Israel adalah Hassan Salameh.

Negara-negara Arab berkomitmen tidak hanya membantu warga Arab Palestina dalam bentuk bantuan persenjataan tapi juga dalam bentuk pengiriman pasukan tempur dalam jumlahnya besar.

Misalnya, Yordania menyiapkan sebanyak sepuluh ribu pasukan dan dukungan tank lapis baja, Mesir menyiapkan lima ribu pasukan, Irak menyiapkan sepuluh ribu pasukan dan batalyon lapis baja serta dukungan pasukan dari Arab Saudi.

Sementara negara Arab lainnya yang akan mengirimkan ribuan pasukan, ratusan tank dan sekaligus kekuatan udaranya adalah Suriah.

Serbuan negara-negara itu tinggal menunggu waktu yang tepat. Yakni, ketika semua pasukan Inggris sudah ditarik mundur dari bumi Palestina.

Perang Arab dan Israel akhirnya pecah, meskipun PBB berusaha mendamaikannya, konflik Arab-Israel terus saja berlanjut hingga saat ini mengingat warga Arab Palestina belum mendapatkan negara yang merdeka. (Agustinus Winardi)