Find Us On Social Media :

Tradisi Tiban dan Beringin Roboh yang Bangkit Kembali saat Satu Suro

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 5 September 2018 | 08:00 WIB

Sebuah patung diarak ke tengah kampung itu, dimana terdapat sebuah beringin besar. Di sana patung itu dimandikan, sesudahnya barulah senjata-senjata mengikutinya.

Pada saat itu beramai-ramailah orang memukul gamelan untuk mengiringi kuda lumping yang karena mantra-mantranya bisa "menjadi" hingga sanggup makan pecahan kaca, gabah, sambal  yang luar biasa pedasnya.

Baca juga: Sakralnya Tradisi 1 Suro di Cirebon: Benda Pusaka Disucikan, Sang Kerbau Bule pun Ikut Kirab

Jika kita makan secara biasa tentulah tidak mungkin, tetapi karena kekuatan mantra itu semuanya menjadi seperti nasi saja kelihatannya dan rasanya.

Tiban dimulai

Puncak upacara memandikan senjata dan patung adalah acara tiban yang selalu mendapat perhatian.besar dari masyarakat Ngadiluwih.

Sesungguhnya upacara atau atraksi tiban itu diperuntukkan mendatangkan hujan. Suatu upacara keagamaan nenek moyang kita jika musim kemarau terlalu panjang, sedang tanah-tanah  sudah retak-retak, dan tanaman mengering.

Baca juga: Mati Suri dalam Tradisi Jawa: Kematian atau 'Sekadar' Ketidaksadaran?

Peserta yang bertanding adalah mereka dibelahan timur  jalan dan sebelah barat jalan, jadi masih dalam kampung Ngadiluwih itu sendiri. Para pendekar selalu bersiap-siap  untuk menurunkan murid-muridnya.

Sedang pendekar Itu sendiri belum tentu sekali setahun mau turun, jika tidak dianggap perlu sekali. Jadi mungkin sekali bahwa mereka yang maju di arena hanyalah jagoan cilik yang tidak seberapa ilmunya.

Di sini, ilmu kejawen digunakan untuk memulai ataraksi itu dengan mantra-mantranya.

Setiap peserta membawa semacam cambuk yang dibuat dari lidi enau, dipintal kasar sekali, bahkan di zaman dulu orang selalu membubuhinya dengan paku atau barang tajam lainnya.