Advertorial

Mati Suri dalam Tradisi Jawa: Kematian atau 'Sekadar' Ketidaksadaran?

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Intisari-Online.com- Kabar bahwa ada orang mati hidup lagi nampaknya bukan hal asing bagi perbincangan sehari-hari orang Jawa.

Seperti misalnya kisah Mbah Hartini pada 1987, sebagaimana tertulis dalam Menemui Ajal: Etnografi Jawa Tentang Kematian,buku karya Y. Tri Subagya (2004).

Mbah Hartini yang telah dikelilingi tangis sedih sanak saudaranya tiba-tiba bangun ketika jenazahnya hendak disucikan.

Dalam fenomena yang disebut sebagai mati suri itu, Mbah Hartini kemudian dapat menceritakan pengalamannya.

Baca Juga:Nurbuat Meninggal Dunia, Inilah Golongan Darah yang Rawan Terkena Serangan Jantung

Awalnya Mbah Hartini merasa sedang mandi di kolam sebelah selatan rumahnya yang sejuk.

Di tengah asyiknya mandi, dia kemudian kebingunan karena kehilangan kain jariknya yang diambil oleh wanita cantik.

Namun, tak lama kemudian wanita itu kembali membawa kain baru seraya berkata:

"Jangan marah-marah saya tidak ingin mencuri kainmu, tetapi akan menggantinya dengan yang baru karena yang lama ini sudah rusak."

Baca Juga:Beginilah Suasana Mudik Lebaran di Bangladesh, Bikin Geleng-geleng Kepala!

Pengalaman atas pemberian kain baru ini pun lantas ditafsirkan oleh Mbah Hartini sebagai pemberian/ perpanjangan usia.

Apakah pengalaman itu dapat dikatakan perjalanan roh dalam kematiannya yang tertunda?

Mati suri cenderung diduga sebagai kekeliruan menangkap tanda-tanda kematian secara fisik oleh orang di sekitarnya.

Mengapa demikian? Karena jika ditilik dari segi sains dan medis, kematian yakni tidak bekerjanya sistem otak secara total diikuti jantung yang berhenti berdetak.

Baca Juga:Tak Perlu Obat, Ini Cara Alami dan Manjur Atasi Mabuk Kendaraan

Sedangkan menurunnya aktivitas di otak menyebakan ketidaksadaran atau koma.

Orang yang mengalami masa koma panjang sebenarnya tidak dapat mengatakan suatu pengalaman akan kematian.

Hal itu dikarenakan dirinya sediri belum mati.

Sehingga ketika Mbah Hartini mati suri sesungguhnya dia belum mati melainkan hanya tenggelam dalam ketidaksadarannya.

Baca Juga:Punya Fitur Mewah dengan Harga Sejutaan, Redmi 6A Bikin Nangis Pemilik Redmi 5A

Maka, pengalamannya bertemu wanita cantik dan menerima kain baru muncul secara tidak sadar manakala dinyatakan mati.

Pengalaman yang terlintas dalam ketidaksadaran itu tidak sama dengan pengalaman di alam kematian.

Karena kematian merupakan lenyapnya segala aktivitas kehidupan yang dialami semua manusia tanpa kecuali.

Meski demikian, nyawa bagi orang Jawa hanya dianggap sebagai penyangga tubuh yang dilahirkan menjadi manusia bersama 4 saudara gaibnya: sedulur papat kalimo pancer.

Baca Juga:Menurut Sains Kecepatan Berjalan Bisa Mempengaruhi Umur Seseorang

Yakni kakang kawah, adi ari-ari, darah, pusar, dan pancer atau diri kita sendiri sebagai pusat kehidupan.

Sementara tubuh yang mati dipandang akan kembali menjadi 4 campuran anasir yang membentuknya: api, tanah, air, udara.

Misalnya kulit, daging, dan ulang berasal dari zat makanan yang semula berasal dari tanahDarah dan keringat dari air yang diminum.

Nafas dari udara yang dihirup, serta api dari matahari.

Nyawa dipandang tidak turut binasa bersama tubuhnya melainkan menyatu dalam wujud asal menuju alam keabadian.

Baca Juga:Jangan Jijik Dulu, 5 Kebiasaan Jorok Ini Justru Baik untuk Kesehatan

Artikel Terkait