Find Us On Social Media :

Yang Selamat dari Tragedi Trisakti: Kubur yang Sudah Digali Ditutup Lagi

By Ade Sulaeman, Jumat, 12 Mei 2017 | 14:00 WIB

Mun'im Idries Saksi Korban Trisakti

Intisari-Online.com – Tragedi Trisakti 12 Mei 1998, 19 tahun lalu, membawa luka mendalam tidak hanya bagi keluarga korban, melainkan juga rakyat Indonesia secara umum.

Untuk mengenang peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia tersebut, Intisari memuat artikel tentang korban Tragedi Trisakti yang ditulis Tumpak Sidabutar di Tabloid Nova Edisi 537 – XI – 14 Juni 1998.

--

Di atas ranjang yang sedang didorong beberapa perawat RS Sumber Waras itu tampak terbaring Sofian Rahman (25).

"Tolong bantu doa biar saya segera sembuh," pintanya pada NOVA, Senin (1/6/1998) lalu. Saat itu, ia sedang dipindahkan dari ruang ICU ke ruang hemodialisa untuk menjalani cuci darah.

Wajahnya memang lebih cerab ketimbang hari sebelumnya. Namun selang masih tertanam di hidungnya. Tubuhnya pun makin kurus.

"Ini cuci darah yang ke-13 sejak Sofian masuk rumah sakit," ujar Saleh, teman Sofian, sesama mahasiswa Universitas Trisakti (Usakti).

Sofian termasuk salah satu korban tertembak dalam tragedi di Usakti yang menewaskan empat mahasiswa itu, Selasa (12/5/1998).

"Tadinya kami kira dia juga tewas. Syukurlah dia terselamatkan, meski sebutir peluru bersarang di dadanya," tambah Akhmad, teman Sofian lainnya.

Biaya Dibebaskan

Membaiknya kesehatan Sofian sejak Jumat (29/5/1998) disambut syukur oleh teman-teman dan keluarganya.

Ayah Sofian, H. Abdul Rahman Idris (51), mengatakan, "Sebelumnya kami sempat kehilangan harapan karena keadaan Sofian sangat kritis."

Kini upaya tim dokter tertuju pada pemulihan ginjal Sofian. Pasalnya, ginjal mahasiswa geologi ini sempat tak berfungsi.

"Sekarang jumlah urinenya terus meningkat. Kalau hari-hari sebelumnya cuma beberapa tetes, hari Jumat mulai meningkat drastis 800 cc bahkan hari berikutnya 1375 cc, sudah mendekati urine orang sehat, 1500 cc sehari," papar Idris yang sehari-hari bekerja sebagai petugas kamtib di kantor Wali Kota.

Dengan demikian, lanjut ayah 4 anak ini, "Kemungkinan Sofian tak perlu menjalani cuci darah seumur hidup, atau cangkok ginjal, seperti yang kami khawatirkan. Yah, mudah-mudahan saja dia bisa diwisuda Oktober nanti sesuai rencana."

Masih penuturan Idris, sedianya ia sudah berancang-ancang membawa Sofian ke RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk menjalani transplantasi atau cangkok ginjal.

"Malah, sudah ada tiga orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya pada Sofian jika dokter menilainya cocok. Syukurlah itu tak terjadi," kata Idris sembari menarik napas lega.

Idris juga berterima kasih pada Direktur RS Sumber Waras yang telah membebaskan semua biaya perawatan Sofian di RS tersebut.

"Kalau tidak, dari mana saya dapat uang buat membayar semua ini," ujar Idris yang juga terharu melihat solidaritas teman-teman Sofian.

"Mereka sampai bikin jadwal piket untuk menjaga Sofian. Semua itu membuat kami merasa lebih tenang dan kuat karena tak sendirian menghadapi cobaan ini."

Sempat Pesan Liang Lahat

Masa-masa penantian keluarga Sofian makin terasa berat ketika sempat terjadi peristiwa yang mengecewakan sekaligus membingungkan.

Entah kenapa, saat Sofian masih kritis, datang seseorang mengabarkan berita mengejutkan.

"Kalau tak salah Rabu 27 Mei lalu, ada wanita yang mengaku dari RS Sumber Waras. Dia menelepon saya di rumah. Dia mengabarkan Sofian sudah meninggal dan kami diminta segera menyiapkan keperluan pemakaman."

Kebetulan, ketika itu Sofian sedang dalam masa kritis. Maka, tanpa pikir panjang, Idris dibantu beberapa kerabat langsung menyiapkan berbagai hal.

Dari menyingkirkan perabot di rumah, mengabarkan ke kantor, sampai memesan pada petugas pemakaman agar segera membuat liang lahat.

Namun begitu Idris mengontak istrinya yang sedang menjaga Sofyan di rumah sakit, "Ternyata kabar itu tidak benar. Istri sampai kaget dan menanyakan dari mana berita itu muncul. Soalnya, saat itu Sofian masih di ruang ICU. Tim dokter juga menegaskan, Sofian tidak meninggal."

Apa boleh buat. Liang kubur yang sudah digali di pemakaman Tegal Alur pun terpaksa ditutup kembali atas permintaan Idris, "Saya pun sudah minta maaf kepada para penggali kubur, para keluarga, dan atasan saya yang tentu sudah sempat ikut direpotkan," tutur Idris.

Kendati peristiwa ini sempat merepotkan banyak pihak, namun Idris menyatakan tak mau mengusut siapa yang menyebarkan berita kematian palsu itu.

"Kami tak ingin memperpanjang masalah. Cukup kami jadikan pelajaran saja agar lebih berhati-hati. Teman-teman Sofian pun memperketat penjagaan."

Terancam Cuci Darah Seumur Hidup

Sofian termasuk satu dari sekian mahasiswa Usakti yang selamat setelah tertembak, meski mengalami shock akibat perdarahan hebat.

Demikian diungkapkan dr. Anthio Kuswanto, anggota tim dokter di Bagian ICU RS Sumber Waras.

"Hasil rontgen terhadap Sofian sesaat setelah kejadian, menunjukkan adanya penimbunan darah di paru-paru kanan. Kemungkinan akibat pembuluh darah besar ke paru-paru terkoyak peluru," jelas Anthio.

Dengan tertimbunnya darah di paru-paru, Sofian kesulitan bernapas. Tak lama keinudian nadinya melemah dan napasnya mulai berhenti.

Namun, melalui berbagai upaya medis yang dilakukan tim dokter, Sofian dapat melewati masa krisis.

"Jumlah darah yang ditransfusikan ke tubuh Sofian sudah sekitar 8.000 CC. Jadi bisa dibilang, darah yang sekarang mengalir di tubuh Sofian sekarang semuanya darah teman-temannya yang beramai-ramai jadi donor."

Setelah perdarahan di paru-paru dan shock Sofian teratasi, tugas tim dokter belum selesai.

Pasalnya, rinci Anthio, "Sofian mengalami kerusakan fungsi ginjal. Kemungkinan penyebabnya ada dua. Pertama, karena ia mendapat transfusi massive, yaitu transfusi darah serentak lewat tiga jalur yang terpaksa ditempuh agar secepatnya darah tergantikan. Kalau hanya transfusi biasa, pasien bisa keburu meninggal."

Kemungkinan kedua, lanjut Anthio, "Akibat shock yang ia alami sebelumnya. Karena kekurangan darah. jumlah darah yang masuk ginjal sudah berkurang. Ini memang bisa berakibat rusaknya fungsi ginjal."

Rusaknya fungsi ginjal Sofian dipastikan melalui pemeriksaan ureum creatinin yang tinasi kadarnya.

"Sehingga kami segera melakukan cuci darah atau hemodialisa untuk menggantikan fungsi ginjal. Hasilnya, ureum creatinin sempat turun kadarnya. Namun esoknya naik lagi, dibarengi tidak adanya air seni. Kami segera melakukan cuci darah tiap hari. Namun air kencingnya masih saja beberapa tetes."

Jumlah air kencing terlalu sedikit, menurat Anthio, menunjukkan tidak adanya respon ginjal pada hemodialisa.

"Artinya, ginjal sudah tak mampu menjalankan fungsinya sehingga cairan kencing tertahan dan meracuni tubuh pasien. Kalau tidak segera diatasi, pasien bisa meninggal."

Situasi inilah yang membuat tim dokter sampai pada kesimpulan, perlu segera dilakukan pencangkokan ginjal. Karena jika tidak, Sofian harus menjalani cuci darah di sepanjang usianya.

"Untuk itu, kami berencana memindahkan Sofian ke RSCM yang lebih lengkap peralatannya. Syukurlah, setelah dua minggu, berangsur air seninya keluar makin banyak dan terus mendekati normal," papar Anthio.

Perkembangan ini disambut gembira. Meski demikian, sementara ini Sofian tetap harus menjalani cuci darah rutin.

"Untuk mempertahankan kadar ureum creatininnya tetap di ambang normal," cetus Anthio. Biaya cuci darah saat ini memang mahal. Mencapai Rp 500 ribu untuk sekali proses.

"Namun semua biaya itu sudah ditanggung negara. Jadi keluarga Sofian tidak perlu memikirkannya," tandas Anthio.