Intisari-Online.com -Istilah "G30S/PKI" sangat terkenal di era Orde Baru. Namun, istilah tersebut bergeser menjadi "G30S" saja setelah terjadi reformasi. Lalu sebenarnya, mana yang paling tepat? "Rasanya tidak ada ungkapan dalam bidang bidang pendidikan Indonesia yang seheboh istilah G30S," tutur Asvi Warman Adam dalam bukunya Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Di penghujung September 1965 terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal yang dilakukan oleh pasukan tentara melalui komando Gerakan 30 September. Selang 40 hari kemudian Departemen Pertahanan mengeluarkan buku berjudul 40 Hari Kegagalan "G-30-S". Saat belum muncul kata PKI dalam istilah itu. Meskipun sejak hari pertama percobaan kudeta, para pembantu Mayjen Soeharto seperti Yoga Sugama dan Soedharmono yakin bahwa peristiwa tersebut dilakukan oleh PKI. Sebenarnya saat itu muncul pula istilah lain. Semisal "Gestok" (Gerakan Satu Oktober) oleh Presiden Seokarno yang beranggapan peristiwa tersebut terjadi pada dini hari tanggal 1 Oktober. Ada pula istilah "Gestapu" (Gerakan September Tiga Puluh) dari pers militer. Namun sejak 1966, rezim Orde Baru sudah menggunakan istilah "G30S/PKI". Buku-buku lain yang diketahui memuat istilah yang berbeda harus rela direvisi atau dilarang terbit. Tentunya penyebutan istilah itu sangat tergantung pada pihak yang menamakannya. Maka dari itu, "Yang paling obyektif tentu saja menamakan peristiwa sebagaimana pelaku gerakan itu menyebut diri mereka yaitu Gerakan 30 September," tutur Asvi yang juga Ahli eneliti Utama pada PUsat Penelitian Politik LIPI. Istilah itu tertulis secara nyata dalam beberapa dokumen yang dikeluarkan oleh Letkol Untung pada 1 Oktober 1965 tentang "Pembentukan Dewan Revolusi" serta "Penurunan dan Penaikan Pangkat". Setelah reformasi, buku-buku yang pada Orde Baru dilarang terbit mulai bermunculan. Termasuk buku sejarah tentang Gerakan 30 September. Maka tidak heran pada kurikulum 2004, peristiwa itu disebut G30S, termasuk juga materi tentang beberapa versi dari peristiwa tersebut. Namun, pada kurikulum 2006, ditetapkan kembali istilah G30S/PKI. Kemudian Kejaksaan Agung mulai mempertanyakan terbitnya buku yang tidak menggunakan istilah G30S/PKI. Bahkan menteri pendidikan nasional meminta para penerbit menarik buku-buku mereka yang menggunakan istilah lain selain G30S/PKI. Asvi menganggap peraturan tersebut akan membingungkan masyarakat, terutama guru dan siswa. "Kebijakan ini semakin menjauh dari tujuan 'mencerdaskan kehidupan bangsa'," tulis Asvi.