Find Us On Social Media :

Ikan Asin, Antara Lekker dan Kanker, Tergantung Anda Mau Pilih yang Mana?

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 11 April 2017 | 20:00 WIB

Dengan sedikit upaya, olahan ikan asin bisa naik kelas.

Menurut penjelasan dr. Budi, setelah diteliti oleh para pakar di Tiongkok pencetus utama kasus kanker nasofaring di kawasan itu adalah ikan asin. Masih menurut dr Budi, virus Epstein-Barr sebenarnya banyak terdapat dimana-mana, bahkan di udara bebas.

Hanya saja tidak semua akan menjadi kanker, virus ini akan tetap “tidur” di nasofaring jika tidak dipicu faktor-faktor tertentu.

Variasi jenis makanan

Lalu apakah kita tidak boleh mengonsumsi ikan asin? “Sebenarnya kalau sekali-kali makan ikan asin ya enggak apa-apa. Ikan asin enak kok. Tapi ya jangan sering-sering. Jangan tiap hari juga.

Yang terpenting makan harus bervariasi dan makanan segar, jangan terlalu sering makan makanan awetan atau kalengan,” tutur dr Budi.

Saat ini sedang dikembangkan pemeriksaan imunologik dengan meneliti kadar antibodi dalam serum seseorang. Apabila terjadi peninggian kadar antibodi, itu merupakan indikasi untuk melakukan pemeriksaan pada daerah nasofaring secara teliti.

Siapa tahu ada kaitannya dengan gejala dini: kanker nasofaring. Seseorang yang mengeluh timbulnya pembesaran kelenjar pada leher, pendarahan pada hidung, penglihatan ganda sering disertai sakit kepala yang kronis, sebaiknya waspada.

(Baca juga: Awas, Sering Makan Ikan Asin Dapat Memicu Kanker!)

Karena struktur anatomis, nasofaring begitu sempit dan melekat erat dengan tulang di sekitarnya, tindakan sulit dilakukan. Pengobatan yang dilakukan pada daerah lig-sofaring serta kelenjar getah bening leher biasanya hanya dengan radioterapi, yang diharapkan dapat membasmi penyakit ganas ini.

Kombinasi pengobatan radio aktif dengan obat antikanker (kemoterapi) baru dilaksanakan apabila terbukti ada sel-sel kanker yang telah berada di luar daerah yang memperoleh radiasi.