Find Us On Social Media :

Petikan Peristiwa pada Awal Masa Kemerdekaan, Saat Orang -orang Justru Bangga Bisa Hidup Sederhana

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 11 Agustus 2018 | 11:30 WIB

Mutahar ini seorang bekas pelaut. Ketika India dan Cina membuka kantor konsulat mereka di Yogya, saya ingin menjamu mereka di istana.

Sebuah istana bercat putih dikelilingi dengan tembok tinggi yang dulunya pernah dihuni oleh Gubernur Belanda di zaman kolonial kemudian Komando Tinggi Jepang di masa Revolusi hanya merupakan gedung kosong.

Baca juga: Saat Bung Karno Terseret Mobil dan Tangannya Terjepit Pintu Mobil

"Bagaimana kita bisa mendapat piring?" tanya saya kepada Mutahar.

“Istana ini tidak mempunyai perlengkapan apa-apa. Jepang  merampok segalanya sebelum angkat kaki. Saya hanya mempunyai seperangkat cangkir plastik murahan berwarna hijau dengan tatakannya yang diselundupkan dari Manila."

Mudah saja, senyum Mutahar dengan tenangnya. Mutahar orangnya selalu tenang. "Saya akan pergi ke Toko Oen, restoran Cina di kota, untuk meminjam barang pecah belah berikut sendok garpu peraknya."

Kemudian ia berkeliling ke para tetangga untuk meminjam taplak meja. Waktu Fatmawati bertanya apakah dia tahu jenis mana yang harus dipakai, ia menjawab "yang putih saja."

"Pandai benar, rupanya kau tahu banyak tentang seni menata meja," pujinya. "Mengapa kaupilih yang berwarna putih saja?"

"Putih itu suci", jawabnya. "Putih melambangkan kemurnian, kebersihan, kekudusan. Lagi pula, ini warna yang paling mudah didapat." (Cindy Adams 240-241)

Baca juga: Bung Hatta Proklamator Sederhana yang Dipersatukan dengan Bung Karno karena Perbedaan, Berpisah pun karena Perbedaan