Find Us On Social Media :

Hari Perempuan Internasional: I’m Single and I’m Happy, karena Tak Menikah Bukan Lagi Hal yang Tabu

By Moh Habib Asyhad, Rabu, 8 Maret 2017 | 13:30 WIB

Perempuan karier

Berbeda dengan Veronica, Yoshiko Hikariati (46) melihat kehidupan menyendiri melahirkan satu bentuk keikhlasan yang tak pernah ia dapatkan saat menikah 23 tahun lalu. Bercerai setelah delapan tahun menjalani pernikahan, perempuan yang akrab dipanggil Ati ini menjalani 15 tahun kehidupan single-nya dengan rasa syukur.

Ati besar dalam keluarga Jawa aristokrat yang jarang memberinya kesempatan untuk mengambil keputusan. Apalagi ia anak tunggal. Orangtua mengatur setiap langkahnya.

Ketika menikah, ia mendapat suami yang juga dominan. Hampir semua aspek kehidupan Ati diatur. “Bahkan model rambutku, baju apa yang aku pakai, itu suami yang menentukan,” kenangnya.

Suami melarang Ati bekerja. Lulusan Institut Pertanian Bogor ini pun memendam segala potensi dirinya di balik dinding rumah, menjadi ibu rumah tangga biasa kendati tak segera dikaruniai keturunan. Setelah ibunya meninggal, perbedaan semakin terasa pada pasangan yang tak juga memiliki anak itu. Belakangan sang suami mengajukan cerai. Ati pun menerima dengan rela.

"Pernikahan itu seperti meja dengan dua kaki. Kalau satu sudah patah tidak bisa dipaksakan untuk berdiri,” kata Yoshiko Hikariati.

Ati yang selama hidupnya ditimang dalam pengasuhan orangtua dan perlindungan suami, tiba-tiba harus menjalani segala sesuatunya sendiri. Ayahnya meninggal hanya berselang empat tahun setelah ibunya wafat. Tak mau bergantung pada warisan, Ati pun mulai bekerja. Kariernya dimulai dari koperasi wanita di Jakarta.

Tapaknya kemudian berlanjut pada sebuah badan nasional yang juga berkaitan dengan koperasi. Di sini Ati mendapat banyak kesempatan untuk mendapatkan pelatihan di luar negeri seperti Jepang dan Jerman. Ia merasa ia harus mengejar ketinggalan selama delapan tahun terkungkung dan terbatasi pernikahan.

“Semua teman-temanku berkarier selepas lulus kuliah. Aku merasa harus mengejar ketertinggalanku,” katanya.

Karier Ati terus menanjak. Ia berpindah-pindah tempat kerja, menjadi konsultan untuk berbagai proyek ekonomi kecil dan menengah, ia juga bekerja sebagai Program Manager pada salah satu lembaga donor asing yang bergerak di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Agar pekerjaannya semakin berkualitas, Ati pun mengambil kuliah Magister Manajemen di salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka.

Selama lima belas tahun hidup sendiri, Ati telah merancang kehidupan hari tua yang sempurna. Berbekal warisan orangtua dan sedikit tabungan ia telah mendirikan Sekolah Tinggi Ekonomi di Sukabumi, Jawa Barat, bersama kawan-kawan masa kecilnya.

Setelah memasuki masa pensiun ia berencana mengajar di sekolah itu. Dalam rentang waktu ini pun, Ati sudah menjalani umroh dan naik haji. Ia merasa hidupnya right on track. “Orang sering menyangka aku ini jauh lebih muda dari umurku yang sebenarnya. Bagaimanapun itu suatu pencapaian, ‘kan? “ kata perempuan berkulit kuning langsat ini sambil tersenyum.