Intisari-Online.com - Tanya: Saya mau bertanya tentang permasalahan saya. Sebelum menikah saya dan istri membuat perjanjian kawin di depan notaris. Salah satu isi perjanjian tersebut ialah bahwa istri saya berhak melakukan perbuatan hukum secara pribadi atas segala bentuk harta yang beratasnamakan istri saya.Kemudian pada bulan Juni 2011, istri saya meninggal dunia. Sekarang rumah yang dulu kami beli setelah menikah dengan sertifikat atas nama istri saya, sudah menjadi hak milik adik kandung istri (adik ipar) saya. Menurut adik ipar saya yang membeli rumah, sebelum meninggal istri saya telah menjualnya dan telah dibayar lunas. Sekarang adik ipar saya menyuruh saya dan anak–anak untuk mengosongkan rumah tersebut, bahkan saya ditunjukkan sertifikat hak milik atas nama adik ipar saya itu. Terhadap perjanjian kawin tersebut kami tidak pernah mendaftarkannya pada Pengadilan Negeri setempat atau mencatatkannya pada Kantor Catatan Sipil pada saat melangsungkan perkawinan. Adakah upaya hukum yang dapat saya lakukan untuk mempertahankan rumah tersebut? Sepertinya setelah istri saya meninggal, semua harta kami diambil alih adik-adik ipar saya, sedangkan saya dan anak–anak kami tidak mendapat apa–apa. (Mario)
Jawab:
Perjanjian Kawin merupakanperjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua calon suami istri sebelum melangsungkan perkawinansebagaimana diatur dalam ketentuanPasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974(selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan),yang selengkapnya berbunyi demikian:
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ke tiga tersangkut.”
Adapun hal yang diatur dalam perjanjian kawin adalah mengenai adanya pemisahan atau persatuan harta kekayaan, hutang-piutang maupun untung-rugi antara si suami dan si istri sepanjang disepakati dan atas persetujuan bersama.
Berdasarkan uraianPasal 29 ayat (1) UU Perkawinan,perjanjian kawin dapat berlaku kepada pihak ketiga setelah perjanjian kawin yang tertulis disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan (Kantor Catatan Sipil). Hal senada diuraikan pula dalam ketentuanPasal 152 Juncto Pasal 147 KUHPerdata, yang selengkapnya berbunyi demikian:
Pasal 152
“Ketentuan tercantum dalam perjanjian perkawinan, yang mengandung penyimpangan dari persatuan menurut undang–undang, seluruhnya atau untuk sebagian, tak akan berlaku terhadap pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu dibukukan dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah dilangsungkan, atau, jika perkawinan berlangsung di luar negeri, di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukannya.”
Juncto,Pasal 147
“Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan; lain saat untuk itu tak boleh ditetapkannya.”
Dalam hal ini, perjanjian perkawinan Bapak mengandung unsur penyimpangan, karena pada prinsipnya segala harta yang diperoleh setelah perkawinan, terhadapnyaistri tidak dapat melakukan perbuatan hukum apa pun tanpa persetujuan dan sepengetahuan pihak suami. Oleh karena itu, perjanjian ini harus didaftarkan terlebih dahulu pada Pengadilan Negeri untuk dapat memiliki keberlakuan terhadap pihak ke tiga. Selain itu, sebagaimana ditentukan dalamPasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, perjanjian perkawinan baru dapat berlaku terhadap pihak ketiga setelah dicatatkan pada Catatan Sipil. Bilamana perjanjian kawin tidak pernah didaftarkan pada Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan dicatatkan oleh Catatan Sipil pada saat perkawinan dilangsungkan, makaperjanjian kawin tersebut tidak pernah disahkan.Dengan pengertian, oleh karena perjanjian kawin belum disahkan makapihak ketiga tidak dapat menerima peralihan hak dari salah satu pihak (si suami atau si istri saja), sebab perjanjian kawin hanya berlaku untuk si suami dan istrisecara internalterkait pengurusan harta masing-masing selama perkawinan berlangsung.
Jika terdapat salah satu pihak mengalihkan harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tanpa persetujuan dan sepengetahuan pihak lain, berakibat adanya ancaman kebatalan atas segala perikatan yang dilakukan dengan pihak ketiga. Upaya hukum yang dapat dilakukan adalahmenuntut pembatalannya dengan mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum atas Perjanjian Jual Beli melalui Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan pihak yang digugat (Tergugat) adalah adik ipar yang telah membeli rumah tersebut,dengan berdasar pada ketentuanPasal 1365 KUHPerdata,yang selengkapnya berbunyi demikian:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Demikian semoga membantu menyikapi permasalahan Bapak. (LBH Mawar Saron)