Find Us On Social Media :

Nasi Uduk, Mau yang Asli atau Imitasi?

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 15 Oktober 2016 | 10:08 WIB

Nasi Uduk Kebon Kacang

Tamu-tamu yang datang ke kedai "Puas" bukan lagi "orang sembarangan". Sebagian besar bermobil dan berpenampilan keren. Rata-rata mereka sudah jadi langganan. "Tapi jangan salah, biar yang parkir di depan ruko banyak mobil mewah, harga nasi uduk saya tetap harga warung," sergahnya. Untuk amannya, siapkan dana antara Rp 10.000,- - 20.000,- per porsi nasi uduk. Itu angka standar, alias kalau tidak "kebablasan".

Bukan hanya nama besar dan sejarah masa lalu yang mereka jual. Kualitas nasi uduk pun harus tetap dijaga, seperti juga tradisi mengemas nasi dalam cungkup-cungkup kecil berbalut daun pisang. Selain unik dan terlihat eksotis, percaya atau tidak, cara seperti itu konon ikut andil memperlezat cita rasa nasi. Jika warung "Babe Saman" kini sudah harus mengandalkan anak-cucunya dalam meracik bumbu yang pas, kedai "Puas" kadang masih memaksa Zainal turun tangan.

"Untuk menjaga kualitas, sampai sekarang saya masih suka ngegoreng atau bikin sambel" bilang Zainal sembari membanggakan sambal kacangnya yang "enggak ngambang". Ketika ditanya rahasia kelezatan nasi uduknya, Zainal malah menyerahkannya pada mood. "Ngegoreng dan bikin sambel itu udah ada feeling-nya. Kalau mood lagi enak, hasilnya juga enak. Karena bumbunya 'kan sama aja. Beda lo, hasil gorengan orang yang atinya lagi seneng sama yang lagi marah," ujar "tukang ulek" yang sering terlihat ngobrol akrab dengan tamu-tamu kedainya ini.

Oh ya, buat yang ogah mampir ke bilangan Kebon Kacang, tetap banyak pilihan untuk menikmati nasi uduk yang tak kalah lezat.Tapi ya itu, jangan pedulikan apakah mereka mengikuti "pakem" betawi seperti yang dibilang Sun'ah Andries. Banyak juga kedai nasi uduk yang dikelola oleh bukan orang Betawi, tapi tetap diminati. Lagi pula, siapa bisa mengatur selera? (Ditulis oleh Muhammad Sulhi, dimuat dalam buku Yok, Makan Enak di Jabodetabek)