Find Us On Social Media :

Kopiah Walan dan Irlan yang Bisa Dipakai Saat Puasa Sekaligus Saat Menghadiri Undangan Pernikahan

By K. Tatik Wardayati, Senin, 21 Mei 2018 | 03:00 WIB

Intisari-Online.com – Kedengarannya lucu, tetapi efeknya bisa mengalangi kemajuan ekspor nonmigas kita.

Bulan puasa tahun lalu saya terpesona pada peci seorang kawan yang dibelinya di Bandung. Saya memang senang berganti-ganti model kopiah yang saya pakai.

Kalau ke Bukit Tinggi saya pasti menyempatkan diri berkunjung ke Pasar Batingkek, dan di Medan saya tidak lupa berkunjung ke Pasar Ikan Lama.

Itu hanya untuk berusaha mendapatkan persediaan baru kopiah model Sumatra Barat dan model Deli, pengganti kopiah yang sudah tak tentu lagi warnanya.

Baik di Bukit Tinggi, Padang, atau Medan, penjual kopiah itu matanya jeli sekali. Dengan sekali melayangkan pandangan ke berbagai bentuk kepala orang, ia langsung dapat memilihkan ukuran kopiah yang tepat.

Baca juga: Sejarah Peci: Bukan Simbol Agama, Justru Lambang Nasionalisme

Untuk kopiah Bukit Tinggi saya memakai nomor 9 dan untuk kopiah Pasar Ikan Lama nomor 23,5. Sampai sekarang saya masih tetap tidak paham bagaimana perbedaan cara mengukur kepala yang dilakukan orang di-Sumatra Barat dan di pantai timur Sumatra Utara.

Nomor sama, ukuran beda

Kembali ke permasalahan peci Bandung, saya belum berpengalaman membelinya, apalagi datang ke toko penyalurnya.  Akan tetapi dengan mengadakan pengamatan perilaku penjual peci, saya mengira bahwa apabila saya mencoba membeli dari jauh, pasti akan saya peroleh juga kopiah yang cocok untuk dipakai.

Karena itu saya mohon bantuan kawan saya yang sekali seminggu pasti pergi ke Bandung untuk membelikan sebuah peci seperti yang selalu dikenakannya dan membuatnya semakin tampan saja kelihatannya.

Tentu saja ia menanyakan ukuran, kopiah saya. Setelah mengetahui bahwa ukurannya nomor 9 kalau dibeli di Padang dan nomor 23,5 apabila dibeli di Medan, seminggu kemudian dibawanya bungkusan yang berisi dua kopiah ukuran nomor 9 dikemas dalam kemasan karton manila biru panci.

Tidak salah lagi itulah kopiah yang saya idam-idamkan. Ternyata bahwa cara menomori ukuran kepala sama saja baik di Bandung ataupun di Padang. Mungkin sekali karena kedua tempat itu adalah ibu kota provinsi yang sama-sama berakhiran Barat.

Baca juga: Peci, Topi Kecil yang Sempat Bikin Bung Karno Takut Ditertawakan Namun Justru Jadi Lambang Nasionalisme

Kalau saja Bandung terletak di Jawa Utara, mungkin sekali nomor kepala saya di Bandung menjadi-23,5 juga.

Segera saja kedua kopiah bernomor 9 itu saja coba. Alangkah kecewanya saya karena yang satu terasa sempit dan yang lainnya terasa longgar di kepala.

Sewaktu teman saya itu membawa kembali kedua kopiah itu ke toko penyalurnya, penjualnya mengomel. Katanya, kalau ingin membeli kopiah datanglah sendiri, jangan gunakan jasa-jasa orang lain.

Agaknya ia mengira bahwa masalah memadankan kopiah dengan kepala hanya dapat dilakukan atas dasar kepakaran matanya menduga lingkar kepala orang. la tidak sadar bahwa di luar negeri sering sekali jual-beli dilakukan oleh dua pihak hanya melalui surat-menyurat.

la juga tidak sadar bahwa dengan mewajibkan pembeli datang sendiri ke tokonya, ia langsung kehilangan banyak sekali calon pelanggan.

Baca juga: Dari Soekarno Sampai Si Unyil, Bagaimana Peci Menjadi Ikon Nasional

Cuma muat di awal bulan

Hikmah memiliki dua kopiah nomor 9 yang tidak sama besarnya ada juga. Kopiah yang sempit saya khususkan memakainya sewaktu saya baru memangkas rambut, sedangkan kopiah yang longgar saya pakai sewaktu rambut saya sudah seharusnya dipangkas, akan tetapi bulan baru belum tiba.

Karena itu kopiah sempit saya namakan kopiah 'walan' karena dipakai pada awal bulan, sedangkan kopiah longgar terpaksa saya namakan kopiah 'irlan' karena hanya dapat dipakai pada akhir bulan.

Kalau ada pembaca yang kebetulan namanya Walan atau Irian, saya mohon maaf, karena saya tidak bermaksud meminjam nama. Kedua nama julukan kopiah saya itu terpaksa berbunyi demikian, karena harus mengikuti tata cara pembuatan akronim yang memang sudah ada eskanya.

Berbicara mengenai eska saya jadi bingung, mengapa justru untuk soal yang penting seperti ukuran kepala, ukuran kemeja, ukuran celana, dan ukuran sepatu kita belum mempunyai eska yang wajib ditaati dan menentukan cara-cara kita menomori kopiah, kemeja, celana, dan sepatu buatan Indonesia.

Sewaktu pada akhir tahun yang lalu saya sempat mencuci mata di berbagai toko swalayan dan di sekitar kampus Universitas Wisconsin Madison, sempat saya perhatikan beragam busana yang dijual di sana, akan tetapi dibuat di Korea, Taiwan, Muangthai, dan Malaysia.

Baca juga: Panmunjom, Lokasi Paling Berbahaya di Dunia yang Justru akan Jadi Simbol Perdamaian Kim Jong-Un-Donald Trump

Kemeja buatan Indonesia kebetulan tidak sempat saya lihat. Yang saya lihat cuma keranjang rotan kasar untuk menyimpan koran dan majalah.

Pada setiap kemeja siap pakai yang dipajang terdapat keterangan tentang negara asal. Juga diberikan daftar nomor ukuran baku yang diberi keterangan apa artinya. Pada balik label kemeja itu tercantum bahwa lingkar leher, lingkar bahu dan lingkar perutnya ada di antara sekian sentimeter.

Buat bulan puasa

Sepatu olahraga merek-merek terkenal yang dibuat dengan lisensi di Korea dan Muangthai mencantumkan nomor sepatu itu atas dasar standar Eropa, Inggris dan Amerika. Seorang teman di Indonesia yang memerlukan sepatu ukuran besar dan susah dicari di Indonesia meminta saya membawakan sepasang sepatu olahraga ukuran nomor 11 menurut standar AS.

Sewaktu sampai di kakinya, ternyata sepatu itu memang seakan-akan dibuat untuk kakinya.

Baca juga: 5 Sepatu Unik yang Terinspirasi dari Makanan, Rasanya Enggak Tega Memakainya karena Terlihat Manis

Saya bertanya-tanya di dalam hati apakah  sepatu Cibaduyut dan celana jengki Pasir Kaliki juga sudah dapat dibeli atas dasar pemesanan dari jauh, ataukah nasib orang yang memesan celana jengki ukuran tertentu juga akan sama dengan nasib saya yang mempunyai dua kopiah bagus tetapi tidak  pas di kepala?

Mungkin sekali orang itu juga harus menamakan celana jengkinya yang sempit celana Ramadan karena hanya dapat dipakai selama bulan puasa, sedangkan celananya yang kebesaran terpaksa dinamakannya celana Rajab atau celana Maulud, karena hanya dapat dipakai dengan enak pada bulan-bulan itu sewaktu ia sering sekali harus makan enak di berbagai undangan pernikahan.

Minta maaf juga kepada Bung Ramadan, Pak Rajab, dan Ananda Maulud. Bukan maksud  hati meminjam nama, tetapi kebetulan saja semua lahir di bulan-bulan itu.

(Ditulis oleh Andi Hakin Nasoetion. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1989)

Baca juga: Pasukan Khusus Sepatutnya Memang Tak Mengenal Kata Lengah, Apalagi Masuk Jebakan Teroris