Advertorial

Peci, Topi Kecil yang Sempat Bikin Bung Karno Takut Ditertawakan Namun Justru Jadi Lambang Nasionalisme

Ade Sulaeman

Editor

Namun ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa dirinya harus menjadi pemimpin, bukan pengikut. Jadi harus berani memulai sesuatu yang baru.
Namun ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa dirinya harus menjadi pemimpin, bukan pengikut. Jadi harus berani memulai sesuatu yang baru.

Intisari-Online.com – Kita sering melihat peci dikenakan oleh para pejabat pemerintahan ketika menghadiri acara-acara kenegaraan.

Dipadu dengan jas, terlihat begitu serasi dan mewakili identitas nasional kita sebagai bangsa Indonesia.

Dalam keseharian, peci juga terlihat dipakai pria dari kaum muslim saat pergi bersembahyang di masjid.

Akibat pemakaiannya terlihat di tempat ibadah, peci sering diartikan orang sebagai simbol dari agama tertentu.

Padahal sejarahnya tidak menjelaskan demikian. Awalnya peci yang disebut songkok dalam bahasa Melayu, memang dibawa oleh pedagang Arab yang masuk ke Semenanjung Malaysia.

(Baca juga: Meski Sudah Jadi Presiden, Ternyata Bung Karno Pernah Beberapa Kali Meminjam Uang)

Namun jauh sebelum masa itu, bentuk penutup kepala seperti songkok sudah ada di bagian lain dari Asia.

Dalam artikelnya "The Origin of the Songkok or Kopiah" yang dimuat di The Brunei Times (2007), Rozan Yunos mengatakan bahwa songkok berasal dari pedagang Arab yang memperkenalkan budaya mereka.

Memakai songkok sudah menjadi pemandangan umum di Semenanjung Malaysia pada abad ke-13, saat Islam mulai masuk dan mengakar di kawasan itu.

Bentuk penutup kepala seperti songkok juga ditemukan di berbagai daerah di Nusantara, seperti misalnya songkok recca, di Bone, Sulawesi Selatan.

Songkok recca biasanya dibuat dari serat pelepah daun lontar. Menurut sejarah nya, songkok ini menjadi penanda bagi pasukan Bone saat berperang melawan pasukan Tator pada tahun 1683.

(Baca juga: Bung Karno di Mata Wanita: Doyan Pencitraan, Tapi Selalu Sopan dan Hormat pada Wanita)

Penutup kepala dengan berbagai nama, memang ditemukan di wilayah Asia Tengah dan Asia Selatan.

Dalam tradisi Yahudi, terdapat topi kecil yang dinamakan kippah atau yarmulka, yang dipakai saat peribadatan.

Hukum Yahudi menyatakan seorang laki-laki diwajibkan untuk menutup kepalanya selama melakukan ibadat.

Pemakaian kippah yang awalnya hanya sebuah kebiasaan, belakangan dipakai untuk membedakan orang-orang Yahudi dari masyarakat lain.

Di kawasan Asia Selatan seperti India, Pakistan, atau Bangladesh, pemakaian songkok juga membudaya. Bukan hanya masyarakat muslim saja yang memakainya, namun juga masyarakat Hindu di India.

(Baca juga: Jika Bung Karno sedang Marah Besar, Pasukan Cakrabirawa Andalkan Wanita Cantik untuk Meredakannya)

Harus diakui pemakaian songkok di Nusantara dipopulerkan oleh Soekarno.

Awalnya saat rapat Jong Java tahun 1921 di Surabaya, ia menegaskan tentang pentingnya sebuah simbol dari kepribadian Indonesia.

Saat itu Belanda sempat mewajibkan mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA untuk berpakaian sesuai daerah asalnya.

Akibatnya banyak tokoh pergerakan yang tidak memakai penutup kepala sebagai bentuk perlawanan terhadap bangsa Belanda yang ingin memecah belah persatuan mereka.

Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno mengakui bahwa pada awalnya ia malu dan takut ditertawakan.

Namun ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa dirinya harus menjadi pemimpin, bukan pengikut. Jadi harus berani memulai sesuatu yang baru.

Karena itu ia memperkenalkan songkok yang disebutnya dipakai oleh pekerja-pekerja bangsa Melayu. "Dan itu asli kepunyaan rakyat kita," katanya di depan forum Jong Java.

Soekarno kembali menegaskan pentingnya pemakaian lambang Indonesia Merdeka itu dalam rapat Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927.

Usul itu akhirnya disetujui dan menjadi identitas resmi kader-kader PNI. Belakangan songkok itu lebih dikenal sebagai "peci", yang menurut Soekarno berasal dari bahasa Belanda pet (topi) dan je yang artinya kecil.

Rakyat lebih akrab menyebutnya sebagai peci Bung Karno.

Tapi menariknya, ada sebuah catatan, bahwa dalam pengasingan di Belanda tahun 1913, dr. Tjipto Mangunkusumo juga sempat terlihat mengenakan peci saat menghadiri rapat partai SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij).

Dalam forum itu dr. Tjipto bicara tentang semangat pergerakan nasional di Tanah Jawa, bersama Douwes Dekker dan Soerjadi Soerjaningrat.

Popularitas Soekarno yang kemudian menjadi Presiden Pertama Rl, membuat peci juga memasyarakat di Indonesia.

Pemakaiannya sempat bertahan selama puluhan tahun, sebelum akhirnya semakin pudar. Kini peci hanya digunakan sebagai busana pada kegiatan resmi kenegaraan. (dari pelbagai sumber/Bram)

(Diambil dari Majalah Intisari edisi Maret 2011)

Artikel Terkait