Find Us On Social Media :

Santet, Sudah Ada Undang-undangnya dari Zaman Majapahit hingga Era Hindia Belanda

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:19 WIB

Terlepas kamu percaya atau tidak, urusan dukun santet ternyata sudah ada undang-undangnya sejak zaman Majapahit hingga Hindia Belanda.

Paus yang disantet

Kepercayaan akan ilmu hitam ini sebenarnya tak terbatas pada negeri kita saja, malah boleh dikatakan dikenal atau pernah dikenal di seluruh dunia dengan macam-macam wujudnya.

Bahkan di Eropa saja pada masanya pernah ada anggapan-anggapan serupa. Paus Yoannes XXII dalam suratnya di tahun 1303 menulis bahwa musuh-musuhnya mencoba membunuhnya dengan cara membuat boneka kecil lalu membaptisnya dengan namanya, kemudian dengan meminta bantuan iblis menusuknya dengan jarum.

Agaknya pada zaman itu cara-cara menyingkirkan musuh dengan ilmu gaib memang dikenal, walaupun sejarah tak pernah mencatat keberhasilannya. Di Inggris pengadilan terhadap orang yang dituduh menjadi ahli sihir atau tukang tenung terbanyak dalam abad ke 17.

Tukang sihir (witch, heks) yang tertangkap dihukum mati pada api unggun. Bagian terbesar pengadilan terhadap mereka merupakan tuduhan tak benar dan merupakan histeria massa saja.Jeanne d'Arc yang kemudian dianggap pahlawan nasional oleh Perancis dan orang suci oleh gereja katolik juga dituduh menjalankan ilmu gaib.

Pembunuhan dukun santet

Apa pun namanya namanya, santet, teluh, sihir guna-guna atau istilah lainnya, kepercayaan akan kekuatan gaib yang dapat menyakiti atau mematikan lawan dari jarak jauh meluas di seluruh wilayah Indonesia.

Dapat diduga bahwa kepercayaan dan praktik ilmu-ilmu gaib itu sudah berurat-akar dari masa sebelum sejarah, sebelum tibanya agama-agam dunia.

Di masa lampau, dalam zaman penjajahan, peristiwa-peristiwa yang mirip, dengan peristiwa persantetan itu tidak jarang terjadi.

Praktik teluh atau sihirnya sendiri tidak menimbulkan masalah apa-apa bagi pemerintah kolonial, sebab biasanya tindakan-tindakan itu dilakukan dengan penuh kerahasiaan sehingga sukar diketahui atau dibuktikan. Akibatnya yang tidak langsung sering berupa tindak pidana yang penyelesaian hukumnya memusingkan pengadilan setempat.

Misalnya pada 1895, pengadilan Sumenep (Madura) memeriksa perkara tertuduh bernama Kapa yang dituduh melakukan pembunuhan atas Pak Ibra atau Pak Haji.

Pada suatu sore ia menghadang korban sepulangnya dari bertamu, lalu menikamnya sehingga luka parah. Pak Haji meninggal keesokan harinya di rumah sakit. Dalam sidang pengadilan terdakwa mengakui terus terang perbuatannya.