Penulis
[ARSIP Intisari]
Santet, terlepas apakah kamu percaya atau tidak, ternyata di zaman Majapahit sudah ada undang-undang antiteluh dan di zaman Hindia Belanda tukang teluh juga beberapa kali diajukan di depan pengadilan.
Pertama tayang di Intisari pada Mie 1981
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Santet adalah istilah khas Jawa Timur sebab itu banyak orang bukan Jawa Timur baru mendengar istilah ini untuk pertama kalinya.
Meski begitu, "barang"-nya bukan baru, hampir semua daerah mengenalnya dengan nama yang bermacam-macam. Jadi apa, sebenarnya yang dinamakan "santet" itu, pada pokoknya tak lain dari membuat orang sakit atau mati secara magis.
Serbuk kuningan
Seorang dari Jawa Timur pernah bercerita. Dulu ayahnya sendiri pernah "kena santet". Dia merasa sakit tetapi sukar dirasakan bagian mana tubuhnya yang sakit. Yang jelas fungsi pembuangan alamiahnya terganggu.
Dia tak bisa melakukan hajat besar. Berobat ke sana kemari, termasuk dokter, tidak membawa hasil. Akhirnya keluarganya mengambil kesimpulan bahwa ia kena santet. Maka dicarilah seorang dukun ahli penolak santet.
Setelah membakar kemenyan dan menggumamkan doa serta mantra, pak dukun itu menegakkan sebilah keris di atas sebuah piring putih biasa. Keris itu katanya bisa tegak sendiri, lalu setengah matanya seperti berpijar. Melihat gejala ini, dukun itu mengatakan bahwa keadaan bapak itu belum sangat mengkhawatirkan.
Selanjutnya dia mengerjakan tindakan-tindakan yang maksudnya menyembuhkan korban. Sebelumnya ia bertanya, apakah penyakit kiriman itu akan "dikembalikan" kepada alamat pengirimnya atau dibuangkan saja.
Si sakit kebetulan bukan orang yang pendendam, jadi dia minta agar dibuang saja, sehingga habis perkara. Menurut kepercayaan rakyat, dukun penyembuh itu umumnya juga bisa mengembalikan barang kiriman itu sehingga senjata bisa makan tuan.
Dalam kisah ini ternyata apa yang disebut kiriman itu berupa "gangsa" atau serbuk kuningan, yang dikeluarkan oleh pak dukun dari tubuh penderita.
Sejak itu menurut yang empunya cerita, penderita sembuh dan akhir kisah orang yang menjadi pengirim santet itu minta maaf karena menyesal dan juga karena dia masih termasuk kerabat korban.
Dosa ditanggung sendiri
Menurut sementara orang, pengiriman santet itu dilakukan di antaranya dengan sebilah keris milik si tukang santet.
Yang dikirimkan biasanya benda-benda logam yang tajam, seperti jarum, paku kawat atau pisau, juga pecahan gelas, serpihan kayu dan sejenisnya, tetapi kadang-kadang juga benda tumpul seperti batu.
Serbuk kuningan atau perunggu dan bulu bambu dulu sering dijumpai dalam kasus-kasus usaha peracunan, tetapi tidak pernah terbukti membahayakan kesehatan calon korban.
Jadi memang ada orang-orang tertentu dalam masyarakat yang secara diam-diam menjalankan profesi sebagai tukang santet alias dukun teluh yang mengaku bisa membuat orang lain sakit atau mati.
Menurut tradisi, tukang santet itu sebelum melakukan pekerjaannya selalu memperingatkan kepada calon pemakai jasanya bahwa segala akibat dan dosa ditanggung sendiri, artinya, si dukun mencuci tangan dan tidak bertanggung jawab akan tindakan yang akan dilakukannya.
Motif untuk menyantet seorang musuh bermacam-macam. Pada umumnya pembalasan dendam atau karena merasa dirugikan oleh perbuatan atau tindakan korban. Ada kalanya juga untuk menyingkirkan orang yang dianggap menghalangi suatu tujuan atau keuntungan pribadinya.
Menurut seorang sarjana antropologi cara semacam itu digunakan untuk menghukum orang-orang yang tak dapat diadukan ke pengadilan (adat, misalnya) sebab tak dapat membuktikan perkaranya atau tak diketahui pelakunya, misalnya orang mencuri ternak atau memperkosa anak gadis seorang penduduk desa.
Paus yang disantet
Kepercayaan akan ilmu hitam ini sebenarnya tak terbatas pada negeri kita saja, malah boleh dikatakan dikenal atau pernah dikenal di seluruh dunia dengan macam-macam wujudnya.
Bahkan di Eropa saja pada masanya pernah ada anggapan-anggapan serupa. Paus Yoannes XXII dalam suratnya di tahun 1303 menulis bahwa musuh-musuhnya mencoba membunuhnya dengan cara membuat boneka kecil lalu membaptisnya dengan namanya, kemudian dengan meminta bantuan iblis menusuknya dengan jarum.
Agaknya pada zaman itu cara-cara menyingkirkan musuh dengan ilmu gaib memang dikenal, walaupun sejarah tak pernah mencatat keberhasilannya. Di Inggris pengadilan terhadap orang yang dituduh menjadi ahli sihir atau tukang tenung terbanyak dalam abad ke 17.
Tukang sihir (witch, heks) yang tertangkap dihukum mati pada api unggun. Bagian terbesar pengadilan terhadap mereka merupakan tuduhan tak benar dan merupakan histeria massa saja.Jeanne d'Arc yang kemudian dianggap pahlawan nasional oleh Perancis dan orang suci oleh gereja katolik juga dituduh menjalankan ilmu gaib.
Pembunuhan dukun santet
Apa pun namanya namanya, santet, teluh, sihir guna-guna atau istilah lainnya, kepercayaan akan kekuatan gaib yang dapat menyakiti atau mematikan lawan dari jarak jauh meluas di seluruh wilayah Indonesia.
Dapat diduga bahwa kepercayaan dan praktik ilmu-ilmu gaib itu sudah berurat-akar dari masa sebelum sejarah, sebelum tibanya agama-agam dunia.
Di masa lampau, dalam zaman penjajahan, peristiwa-peristiwa yang mirip, dengan peristiwa persantetan itu tidak jarang terjadi.
Praktik teluh atau sihirnya sendiri tidak menimbulkan masalah apa-apa bagi pemerintah kolonial, sebab biasanya tindakan-tindakan itu dilakukan dengan penuh kerahasiaan sehingga sukar diketahui atau dibuktikan. Akibatnya yang tidak langsung sering berupa tindak pidana yang penyelesaian hukumnya memusingkan pengadilan setempat.
Misalnya pada 1895, pengadilan Sumenep (Madura) memeriksa perkara tertuduh bernama Kapa yang dituduh melakukan pembunuhan atas Pak Ibra atau Pak Haji.
Pada suatu sore ia menghadang korban sepulangnya dari bertamu, lalu menikamnya sehingga luka parah. Pak Haji meninggal keesokan harinya di rumah sakit. Dalam sidang pengadilan terdakwa mengakui terus terang perbuatannya.
Dia bilang, dia membunuh Pak Ibra karena ia yakin bahwa setahun yang lalu korban membunuh bapak mertuanya, Pak Jumanten dengan ilmu hitam atau santet.
Sebulan sebelumnya juga istri tertuduh dibuat sakit dengan cara yang sama. Lima belas hari setelah Pak Ibra dibunuh istri tertuduh ternyata menjadi pulih kembali. Pak Ibra memang dikenal orang di kampungnya sebagai dukun santet dan terdakwa yakin bahwa korban memang mempunyai kekuatan gaib untuk menyakiti orang, juga istrinya maupun saksi-saksi lain yang dihadapkan membenarkan hal itu.
Karena itu dengan pertimbangan bahwa tertuduh mengaku terus terang dan "keterbatasan kecerdasan" maka hakim hanya menjatuhkan hukum 15 tahun penjara.
Dalam perkara ini, ternyata dalam mengadili perkara pembunuhan, pengadilan masih mau mempertimbangkan faktor-faktor kepercayaan akan kekuatan gaib sebagai sesuatu yang meringankan.
Wabah dikira teluh
Yang lebih gawat dari kasus pembunuhan di atas terjadi dalam tahun 1909 di Sulawesi Tengah, ketika terjadi sederetan pembunuhan oleh rakyat atas orang-orang yang dianggap sebagai suanggi atau jadi-jadian.
Waktu itu terjadi suatu epidemi TBC paru-paru yang memakan banyak korban (tentu saja, sebab waktu itu penyakit itu belum ada obatnya). Menurut para pelaku pembunuhan itu mereka membunuh hanya untuk membela diri atau menyingkirkan sesuatu yang jahat dari masyarakat.
Mirip dengan kasus pertama, pengadilan di Segei di Sulawesi Tengah pernah menjatuhkan hukuman ringan dalam suatu kasus pembunuhan serupa. Seorang penduduk bernama Sanra Boa ditemukan mati terbunuh dengan luka bekas tikaman dengan benda tajam.
Menurut orang yang didakwa membunuh, dia melihat Sanra sedang makan sampah dan kotoran lain di kolong sebuah rumah orang.
Menurut kepercayaan setempat, penghuni atau pemilik rumah akan menjadi sakit, akan mendapat musibah oleh tindakan itu. Tertuduh konon bermaksud menyergap Sanra dengan maksud menangkap basah dalam perbuatannya, tetapi ia membalikkan diri lalu berubah menjadi seekor babi.
Waktu babi itu lari dia menombaknya. Kemudian mayat Sanra Bao ditemukan tak jauh dari tempat itu. Pembunuhnya hanya divonis 1 tahun kerja paksa, sebab menurut pendapat hakim dia yakin benar bahwa yang ditombak bukan manusia tetapi babi jadi-jadian.
Mengguna-guna anak dara
Dalam kasus berikut ini pelaku guna-guna dihadapkan ke pengadilan dan mendapat ganjarannya. Dalam tahun 1921 seorang pria muda dituduh membuat sakit seorang gadis dengan cara guna-guna. Gadis itu anak seorang kepala desa yang mempekerjakan pria itu sebagai jurutulis.
Dalam pemeriksaan, tertuduh terbukti memperlihatkan sejenis limau kepada seorang anak sekolah dan menyatakan kepadanya bahwa dia akan membuat sakit gadis yang bersangkutan. Ternyata dara itu memang jatuh sakit dan konon tidak dapat disembuhkan dengan jamu maupun obat.
Di bawah tempat tidurnya kemudian ditemukan sebuah jeruk limau yang konon biasa dipergunakan untuk maksud-maksud itu, ditusuk dengan tiga buah jarum.
Pemuda juru-tulis itu dijatuhi hukuman 2 tahun penjara oleh pengadilan setempat, karena "melakukan pelanggaran adat dan penghinaan berat atas atasannya". Jadi dia dihukum bukan karena mengguna-gunai orang lain sehingga jatuh sakit.
Karena dalam KUHP tidak ada pasal yang menyebutkan guna-guna, teluh, santet dan lain-lainnya sebagai tindak pidana, sehingga perbuatan semacam itu tak dapat dikenakan hukuman. Paling-paling yang bisa dihubungkan dengan klenik adalah Pasal 545 yang mengancam pidana tukang ramal atau nujum dan ps. 546 para penjual atau pembuat jimat.
Dari zaman Majapahit
Lain halnya pada zaman Majapahit. Mencelakakan orang dengan cara magis, hukumannya berat. Pasal 173 Kuthara Manawa Dharmasastra, kitab undang-undang yang berlaku di zaman itu, mengancam pidana mati bukan saja pada pelaku sendiri, tetapi juga seluruh keluarganya dan seluruh harta miliknya disita.
Tetapi teluh dan sejenisnya dilakukan dengan diam-diam dan penuh kerahasiaan, bagaimana caranya untuk mengetahui atau menangkap basah pelakunya?
Menurut ps. 173 kitab undang-undang itu, barang siapa yang menuliskan nama orang lain di atas kain kafan atau di atas peti mati, atau atas kain yang berbentuk boneka, atau menanam, boneka tepung bertuliskah nama orang di kuburan atau menyangkutkannya pada pohon, di tempat angker atau di perempatan jalan, orang itu dianggap menjalankan sihir berbahaya (angleh anluh arane) dan harus dihukum berat.
Demikian pula orang yang menuliskan nama musuhnya pada tulang, pada tengkorak dengan arang, darah dan trikatuka (tiga bahan pedas: jahe, merica, lombok) lalu merendamnya di air atau menguburkannya di tempat penggantungan.
Jadi dalam zaman Majapahit itu usaha mencelakakan orang dengan ilmu hitam sudah diancam hukuman berat, tanpa melihat akibat perbuatan itu. Tapi awas kalau tak berhasil membuktikan! Itu lalu namanya fitnah. Dan ini juga ada hukumannya, seperti kita baca dalam pasal 178.
"Bila seorang yang tak bersalah dituduh mengerjakan teluh dan menyebarkan berita ini di antara orang-orang, padahal tidak ada buktinya, mereka yang menyebarkan kabar yang tak sesuai dengan kebenaran, akan didenda oleh raja sebanyak 40.000."
Demikianlah pula ps. 180 menyebutkan bahwa orang yang hampir mati dibunuh karena didakwa melakukan teluh dan si penuduh mencuri surat utangnya (jadi memfitnah orang untuk menghindari pembayaran utang), orang itu (si tukang fitnah) harus didenda 80.000 dan utangnya harus dibayar dua kali lipat.