Find Us On Social Media :

Santet, Sudah Ada Undang-undangnya dari Zaman Majapahit hingga Era Hindia Belanda

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:19 WIB

Terlepas kamu percaya atau tidak, urusan dukun santet ternyata sudah ada undang-undangnya sejak zaman Majapahit hingga Hindia Belanda.

Selanjutnya dia mengerjakan tindakan-tindakan yang maksudnya menyembuhkan korban. Sebelumnya ia bertanya, apakah penyakit kiriman itu akan "dikembalikan" kepada alamat pengirimnya atau dibuangkan saja.

Si sakit kebetulan bukan orang yang pendendam, jadi dia minta agar dibuang saja, sehingga habis perkara. Menurut kepercayaan rakyat, dukun penyembuh itu umumnya juga bisa mengembalikan barang kiriman itu sehingga senjata bisa makan tuan.

Dalam kisah ini ternyata apa yang disebut kiriman itu berupa "gangsa" atau serbuk kuningan, yang dikeluarkan oleh pak dukun dari tubuh penderita.

Sejak itu menurut yang empunya cerita, penderita sembuh dan akhir kisah orang yang menjadi pengirim santet itu minta maaf karena menyesal dan juga karena dia masih termasuk kerabat korban.

Dosa ditanggung sendiri

Menurut sementara orang, pengiriman santet itu dilakukan di antaranya dengan sebilah keris milik si tukang santet.

Yang dikirimkan biasanya benda-benda logam yang tajam, seperti jarum, paku kawat atau pisau, juga pecahan gelas, serpihan kayu dan sejenisnya, tetapi kadang-kadang juga benda tumpul seperti batu.

Serbuk kuningan atau perunggu dan bulu bambu dulu sering dijumpai dalam kasus-kasus usaha peracunan, tetapi tidak pernah terbukti membahayakan kesehatan calon korban.

Jadi memang ada orang-orang tertentu dalam masyarakat yang secara diam-diam menjalankan profesi sebagai tukang santet alias dukun teluh yang mengaku bisa membuat orang lain sakit atau mati.

Menurut tradisi, tukang santet itu sebelum melakukan pekerjaannya selalu memperingatkan kepada calon pemakai jasanya bahwa segala akibat dan dosa ditanggung sendiri, artinya, si dukun mencuci tangan dan tidak bertanggung jawab akan tindakan yang akan dilakukannya.

Motif untuk menyantet seorang musuh bermacam-macam. Pada umumnya pembalasan dendam atau karena merasa dirugikan oleh perbuatan atau tindakan korban. Ada kalanya juga untuk menyingkirkan orang yang dianggap menghalangi suatu tujuan atau keuntungan pribadinya.

Menurut seorang sarjana antropologi cara semacam itu digunakan untuk menghukum orang-orang yang tak dapat diadukan ke pengadilan (adat, misalnya) sebab tak dapat membuktikan perkaranya atau tak diketahui pelakunya, misalnya orang mencuri ternak atau memperkosa anak gadis seorang penduduk desa.