Find Us On Social Media :

Cerita 94 Jawa Pertama yang Injakkan Kaki di Tanah Suriname, Ada yang Diculik Ada yang Disirep

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 12 Oktober 2024 | 14:41 WIB

Pada Oktober 1890, 94 orang Jawa untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Suriname. Mereka adalah kloter pertama buruh-buruh Jawa yang dikirim Belanda ke sana.

Usaha mencari buruh di Jawa yang bersedia diangkut ke Suriname rupanya bukan pekerjaan mudah. Selama setahun, mereka akhirnya baru mampu mengumpulkan 61 pria, 31 wanita dan 2 anak-anak. Jadi cuma 94 orang.

Rombongan buruh Jawa pertama ini diberangkatkan pada 9 Agustus 1890 dengan kapal laut. Mereka tiba di perkebunan di Marienburg sekitar Oktober 1890.

Rombongan awal ini sesungguhnya merupakan uji coba, apakah buruh Jawa cocok dipekerjakan di Suriname atau tidak. Baru setelah empat tahun, kompeni rupanya menganggap mereka cukup memuaskan. Sehingga tahun 1894, diberangkatkan lagi rombongan kedua dengan jumlah hampir enam kali lipatnya.

Mulutnya komat-kamit

Sejak itulah dimulai arus imigrasi tenaga murah Jawa ke Suriname. Puluhan ribu buruh Jawa kemudian diangkut ke sepetak noktah kecil di daratan Amerika Selatan yang amat luas itu.

Untuk mendapatkan tenaga murah itu, di Jawa, Belanda menyebar sejumlah werek, calo tenaga kerja, untuk menjaring calon kuli kontrak sebanyak mungkin.

Upah para werek ditentukan berdasarkan banyaknya kuli kontrak yang berhasil dikumpulkannya. Karena itu tidak aneh kalau mereka lalu menggunakan segala cara untuk bisa mengumpulkan calon kuli kerja sebanyak mungkin.

Caranya bisa berupa tipuan, rayuan gombal, penculikan atau bahkan dengan menggunakan ilmu sirep. Seperti yang pernah dialami seorang wanita Jawa di Suriname.

"Pada suatu hari, saya sedang berjalan kaki pulang dari kota ke desa saya. Di tengah jalan saya berjumpa dengan seorang pria asing dan lalu kami mengobrol. Mula-mula dia bertanya soal hasil sawah sampai soal apa yang saya kerjakan di kota. Lalu dia bertanya, apa saya mau punya uang banyak? Pria itu mengaku bisa mengurus supaya saya bisa diterima bekerja di 'tanah sabrang' selama dua tahun dengan upah yang besar."

"Tapi saya bilang, saya tidak bisa meninggalkan keluarga saya di desa. Lalu tiba-tiba dia menginjak kaki saya dan mulutnya komat-kamit melafalkan mantera berbahasa asing. Sesudah itu tiba-tiba saya tak ingat lagi kepada keluarga. Sehingga saya menyetujui tawarannya untuk pergi ke 'tanah sabrang'. Orang asing itu membawa saya ke sebuah barak yang sudah penuh dengan orang-orang Jawa."

"Setelah jumlah kami dianggap cukup, kami lalu dibawa ke kapal. Setiap orang diberi kartu pengenal dari logam yang bertuliskan nomor kami. Kartu pengenal itu digantungkan di leher. Kapal pun berangkat. Ketika kapal mulai beranjak beberapa meter saja, saya tiba-tiba tersadar. Pengaruh sihir itu rupanya cuma berlaku di tanah Jawa. Saya lalu menangis, begitu pula orang-orang yang ikut bersama saya juga pada menangis. Namun, semuanya itu sudah terlambat...."

Itu adalah pengakuan seorang wanita Jawa di Suriname pada antropolog Belanda, Prof. De Waal Malefijt, tahun 60-an.