Find Us On Social Media :

Alasan Belanda Mendirikan STOVIA pada Awal Abad ke-20?

By Afif Khoirul M, Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:00 WIB

Mahasiswa STOVIA Pendiri dan anggota Budi Utomo. Artikel ini akan menguraikan secara singkat sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia dari tahun 1908 hingga 1942.

Pada awal abad ke-20, muncul gelombang pemikiran baru di Belanda yang menyerukan perlakuan lebih manusiawi terhadap penduduk jajahan.

Politik etis, yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Conrad Theodor van Deventer, menuntut pemerintah kolonial untuk "membayar hutang budi" kepada rakyat Hindia Belanda.

Pendidikan, irigasi, dan emigrasi menjadi tiga pilar utama politik etis. Pendirian STOVIA menjadi salah satu perwujudan dari pilar pendidikan.

Pemerintah kolonial berharap, dengan memberikan pendidikan kedokteran kepada pribumi, mereka dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Hindia Belanda.

Tentu saja, kepentingan Belanda tetap menjadi prioritas utama. STOVIA didesain untuk menghasilkan dokter-dokter pribumi yang terampil, namun tetap berada di bawah kendali pemerintah kolonial.

Para lulusan STOVIA diharapkan menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam bidang kesehatan, membantu menjaga stabilitas dan kelancaran jalannya pemerintahan.

STOVIA juga menjadi alat untuk menyebarkan pengaruh budaya dan ideologi Barat. Kurikulum STOVIA didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, dengan sedikit sekali ruang untuk pengetahuan medis tradisional.

Bahasa pengantarnya pun bahasa Belanda, yang secara tidak langsung mendorong proses westernisasi di kalangan pribumi.

Di balik niat awal pemerintah kolonial, STOVIA justru menjadi katalisator kebangkitan nasional Indonesia.

Di dalam gedung STOVIA, para pemuda pribumi dari berbagai daerah bertemu, bertukar pikiran, dan menjalin persahabatan.

Mereka menyadari nasib mereka yang sama sebagai bangsa terjajah, dan mulai memupuk semangat nasionalisme.

STOVIA menjadi tempat lahirnya organisasi-organisasi pergerakan nasional, seperti Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Soetomo.